Aira mulai mengetuk-ketuk kakinya pada lantai. Satu dari ketiga lelaki di depannya ini benar-benar menguji kesabaran hingga membuat Aira risi. Dia tak henti memandangi Aira dari atas-bawah-atas-kembali ke bawah. Tampan sih, tapi tengil. Aira sampai kesal dibuatnya.
"Lo masih SMA ya?"
Aira membuang pandangan kemudian mendengus kesal.
"Sudah, Kak?" Ini adalah pertanyaan kedua dari Aira yang ditujukan pada lelaki tersebut.
"Sekolah di mana?"
Aira memutar bola matanya dengan malas. Sejak ia mendatangi meja tersebut, lelaki di hadapannya ini tak berhenti menggoda dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan buku menu sama sekali.
Gadis itu menghela napasnya dengan pelan. Digoda seperti ini adalah salah satu duka yang ia rasakan sebagai pelayan kafe. Butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi pelanggan seperti lelaki yang ia hadapi kini.
"Kalau sudah tidak ada lagi yang dipesan, buku menunya boleh saya ambil, Kak?" Aira sedikit menunduk sopan, memasukkan buku catatannya pada saku bagian depan apron.
"E-eh. Jangan dulu. Gue kan belum pesen. Tunggu dulu dong."
Aira melirik sinis pada lelaki berjaket biru gelap itu. Kini dia sedang membolak-balik buku menu dengan serius. Aira mengeluarkan buku catatannya lagi dari dalam saku.
"Gue pesen apa ya enaknya," gumam lelaki tersebut.
Lagi-lagi membuat Aira menghela napas panjang. Waktunya sudah banyak terbuang demi melayani satu meja saja.
"Lo pesen apa, Bi?" Dia menoleh pada teman di sampingnya yang memiliki plester di pelipis.
Aira sempat melirik ke arah badge nama di seragamnya. Nama "Fabian" tertulis di sana.
Fabian berdecak pelan sembari menatap ke layar ponsel, tak menoleh sama sekali pada lelaki yang membuat Aira sebal sedari tadi. "Udah cepet ah. Kasian mbaknya lo kerjain melulu, Dik."
"Iya, Dik. Cepet. Gue udah laper ini." Satu teman Fabian yang lain ikut menanggapi.
Oh, namanya Dik. Aira membatin mengerti. Gadis itu mengulum senyum. Bersyukur karena dua di antara tiga lelaki ini memang masih waras.
"Yaudah deh saya pesen, Mbak."
Gadis berkacamata itu akhirnya bernapas lega. Dipaksakan senyumnya agar tersungging dengan alami meski pahit. "Mau apa, Kak?" Aira mulai bersiap-siap dengan catatan sekaligus pulpennya.
"Mau ...." Lelaki itu meletakkan buku menu di meja kemudian memandang Aira dengan usil. Sedari tadi lelaki itu mencari badge nama yang biasa terpasang di seragam kafe, tapi ia tak menemukannya. "Kenalan aja boleh?"
Di balik kacamata, Aira melotot lebar. Kekesalan di hatinya sudah menumpuk. Jika saja tak ingat sopan santun dan etika, tangannya pasti sudah melayang untuk memukul salah satu bagian tubuh lelaki di hadapannya ini.
Fabian berdecak. Diarahkannya buku menu pada Aira. "Udah, Mbak. Itu aja pesenannya. Mbak nggak usah ngeladenin temen saya. Dia ganteng tapi gila."
Aira mengangguk sopan. Setidaknya masih ada yang jauh lebih waras untuk menyelamatkannya dari situasi menjebak seperti ini.
"Makasih, Kak. Bisa ditunggu untuk pesanannya ya," ujarnya sopan kemudian melirik pada lelaki di sebelah Fabian yang masih memandanginya dengan seringaian jahil.
Ya Allah. Kenapa hidup terlalu seimbang begini sih? Dia ganteng, tapi bikin kesel, batin Aira mendumal. Hari ini ia sedang sial.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu dan Jelaga Rindu
Short StoryYang Aira tahu, ia cukup kesal dengan seringaian usil yang mengganggu dan menggodanya setiap kali mereka bertemu. Yang Aira tahu, dia hanyalah satu dari lelaki playboy: menyerahkan lengannya dengan sukarela untuk dijadikan objek gelayutan para gadis...