0

32 2 2
                                    

"Kau ingin liburan musim dingin bulan depan?" Pria berusia kepala lima itu tersenyum kecut. Dia bahkan terkekeh, seakan menganggap ini gurauan. "Ku harap kau mengerti, jam kerjamu harus di atas yang lain, Kim Raekyo."

Oktober

Aku benci pencapaianku sekarang.


"Direktur Jung, tapi ... ini sudah tahun ke-tiga aku tidak kembali ke Jeju."

"Aku tahu, tapi apa kau mau menghancurkan kerja kerasmu membangun perusahaan ini 5 tahun kebelakang hanya dalam satu bulan kurang? Sedang ada banyak project besar yang harus kita rencanakan tahun depan.

"Kau sudah minta cuti dua minggu karena sakit kepalamu itu bulan kemarin. Dan kau tahu kan, bagaimana aturan di perusahaan kita?"

Raekyo tertegun, ucapan atasannya itu benar.

Tangan kanan pria itu berpindah. Yang tadinya menopang dagu, kini jari jemarinya diseling ke jari jemari tangan kirinya. "Siapa pun yang mengambil cuti lebih dari dua minggu, maka akan turun jabatan."

Dia menelan ludah. Sebuah tiket yang tersimpan di dalam saku kiri yang ia genggam sedetik kemudian berubah menjadi gumpalan kertas lecak. Dia tertegun, kemudian menunduk.

Desember

Aku ingin pulang.


Pria itu berjalan meninggalkan mejanya menuju jendela besar di sisi lain ruangan. Mengedarkan pandangan ke langit biru Seoul yang mulai mengabu, mengumpulkan butiran salju di atas sana.

"Akan ada banyak festival." Ia melanjutkan percakapan. Dihembuskannya asap rokok dari mulutnya menjadi bulatan-bulatan. "Kenapa kau tidak cari teman saja untuk menemanimu jalan-jalan di sini, hari Minggu?"

Maret

Aku kesepian, aku tidak punya teman.


"Aku terlalu tua untuk hal-hal kekanakan seperti itu, Sajangnim." Jawabnya sambil tertawa, miris.

Pria itu menoleh, menatapnya dengan tatapan penuh telisik. "Orang dekat yang menurutmu spesial?"

Dia tertawa lagi, namun kali ini pikirannya menerawang jauh.

September

5 tahun setelah hubunganku dengan pria itu, yang tidak tahu bagaimana kelanjutannya.

Dan kemarin sebuah undangan ku terima. Beberapa bulan lagi dia akan menikah.


Mulutnya kini mengatup rapat. Otot rahangnya samar menegas.

"Aku hanya ingin berkumpul dengan keluargaku." Tegasnya pelan.

Pria itu menghela nafasnya dan melengos ke sofa hitam besar di belakang meja kerjanya. Memijat sedikit kepalanya kemudian memandang dia yang diam menunggu, masih dalam egonya.

"Tidak, aku tidak mengizinkanmu." Ucapnya tegas.

Otot-otot tubuhnya yang sempat menegang kini seakan putus dari ligamen-ligamennya. ucapan Jung sajangnim bagai tamparan keras yang menghantamnnya. dia pasti akan jatuh tersungkur ke lantai dengan air mata yang bercucuran, berteriak-teriak gusar dan meracau. Andai saja dia bukan dia,

Kim Raekyo: Dewi Keberuntungan FineArt Company.

"Kau boleh kembali ke ruanganmu sekarang, Kim Raekyo."

*

November

Aku ingin mati saja.

***

"Dewi keberuntungan?" Dia tertawa. "Dewi keberuntungan macam apa yang ingin bunuh diri?"

Jurnal itu terbuka lembarannya karena tertiup angin. Melampirkan satu halaman yang tertulis di sana apa yang dia harus lakukan sekarang, seakan mengingatkannya. Namun dia tak meniliknya dan menatap kertas itu hanya sebatas kertas kosong. Dia sudah hafal betul apa yang tertulis di sana.

"Aku tahu, tapi sepertinya akan lebih menarik kalau aku bermain-main dulu,"

Ia bediri, kemudian beranjak dari sana sambil membaca berkas yang digenggamnya. Tertulis di sana,

Selamat atas diterimanya,

Nama : Kim Hanbin.

Posisi : Direktur Utama.

FineArt Company.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 12, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MESSENGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang