Diri ini memang perlu menghukummu. Dari segala jerat asa yang kau hujam di raga. Dari segala belenggu lara yang kamu terpa lewat nyawa. Aku sama sekali tidak suka bermain kata. Mereka memberi banyak makna di dalamnya. Termasuk yang berkaitan dengan masa. Tapi kamu? Entah karena kamu memang piawai bermain di tengah kemaknaan, tidak terjun langsung ke tumpukan kata itu sendiri. Sehingga sekali aku meredam lara, selamanya aku akan menganggap diriku terlunta-lunta.
***
"Ada apa?" tanyaku sambil tetap membaca buku saat Sherin masuk ke kamar.
"Nothing," jawabnya sambil nyengir.
"Kamu tahu? Setiap orang itu peka sama namanya sendiri. Dan tadi kamu menyebut Anir, namaku, saat sedang berbincang di telepon."
Sherin yang sadar tidak bisa mengelak lagi, langsung duduk di sebelahku. Ia mengambil buku yang aku baca karena aku sama sekali tidak beralih dari sana.
"Kecelakaan waktu itu tidak seharusnya menjadi musuhmu, Nir. Jangan bilang aku tidak mengerti. Aku pun tahu bagaimana sakitnya. Tapi kamu masih muda. Segala peluang terbuka lebar untukmu."
Aku tersenyum miris. "Kalau kecelakaan tempo lalu merenggut ginjalku, menyebabkan kerusakan pada kaki atau tanganku, aku pasti akan sangat bersyukur. Sekarang pun aku sangat bersyukur karena masih diberi kesempatan melihat dunia, tapi jangan salahkan aku jika aku hidup bagai mayat karena kecelakaan kemarin merenggut rahimku."
Tangan Sherin terangkat untuk membelai halus kepalaku, adik perempuan satu-satunya beliau.
"Masih banyak yang bisa kamu lakukan di usiamu yang masih dua puluh ini, Anir. Keadaan kamu yang seperti ini pun jauh lebih terhormat dari pemuda yang terjerat seks bebas."
Aku menarik napas, menahan air mata yang sekali waktu bisa saja keluar dari pesembunyian.
"Aku ingin jadi wanita seutuhnya, Kak. Dan rahim adalah satu-satunya organ yang bisa mewujudkan itu. Aku ingin memberikan keturunan untuk keluarga. Dan sekarang rahimku diangkat, tidak berfungsi sama sekali akibat kecelakaan itu."
"You are glowing, Anir. Banyak hal yang dapat kamu lakukan dan itu bisa membuatmu menjadi wanita seutuhnya. Buktikan pada dunia kalau kamu tidak aka bisa dipandang sebelah mata."
Awalnya aku merasa perkataan Sherin hanya pantas dibalas dengan kata nonsense. Namun seiring berjalannya waktu, otakku membentuk pola pikir yang tidak statis, aku merasa harus bergerak dan melakukan sesuatu. Sehingga aku selalu menerima segala ajakan dan tawaran Sherin yang frekuensinya bahkan jauh lebih banyak dari frekuensi makan dalam sehari.
Suatu sore, Sherin mengajakku ke sebuah restoran yang menyajikan berbagai macam steak dengan pasta sebagai pelengkap. Aku tercenung ketika pintu restoran berderik dan memunculkan sosok adam yang langsung melempar senyum ke arah kami, menghampiri meja kami.
"Hei, good evening, Ladies!" serunya menyapa kami.
Sherin langsung membalas senyumnya dengan hangat. "Good evening, Mr. Ardian. Don't you realize how rude you are because made us have to wait for twenty minutes?"
"Aku akan menjawabnya setelah kamu memperkenalkanku dengan gadis mungil di sebelahmu," katanya sambil tersenyum lebar padaku yang seperti anak kecil mengumpat pada induknya karena aku benar-benar berhimpit dengan Sherin.
"Dear sissy, please introduce a friend of mine in college, Ardian," ucap Sherin yang terlihat begitu antusias.
Kesan pertamaku? Jelas dia adalah sosok yang tidak peduli dengan siapa dia berhadapan asalkan dia bisa menjadi diri sendiri, asalkan dia leluasa untuk membuat orang sekitarnya benar-benar memasang mata yang hanya tertuju padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Pecundang Kepalsuan
Short StoryCerita pendek mengenai Kakak yang berusaha mengembalikan harapan hidup Adiknya, tetapi dengan cara yang salah.