Sejarah selalu membubuhkan cinta di setiap kisahnya. Karena tanpa cinta, tidak akan ada sejarah. Pepatah mengatakan bahwa cinta itu suci. Ya, cinta itu suci bila ia mampu diletakkan di tempat benar, yaitu hati. Cinta itu suci bila memerlukan pengorbanan yang tulus. Dan, cinta itu suci ketika ada hal yang harus dipertaruhkan. Seperti itulah cinta, berwarna-warni alasan untuk menjadikannya istimewa.
Dalam perjalanan hidupku, banyak kisah cinta yang telah hilir mudik ku rasakan. Semuanya berujung pada kesimpulan yang sama, bahwa cinta tidaklah melulu mengenai kisah Romeo-Juliet yang beradu dengan nasib untuk dapat hidup bersama tanpa memedulikan cinta yang lain (cinta keluarganya), akan tetapi lebih dari itu. Aku telah menemukan makna cinta yang sesungguhnya dari apa yang ku miliki sekarang, hingga akhirnya aku mampu memberikan cinta yang lebih.
Aku berusia delapan tahun ketika ibu melahirkan adikku, Rena. Kala itu aku harus menerimanya sebagai anggota keluarga baru meski akhirnya kasih ibu padaku akan terbagi untuknya. Rena tumbuh dengan sangat lucu. Begitu sayang aku padanya, hingga rasa iri itupun sirna. Ibu juga mampu menempatkan kasih sayangnya pada kami dengan rata. Ia mengasihi kami meski seorang diri, semenjak ayah telah tiada.
Pagi itu, setiap sudut rumahku rasanya sangat sesak dipenuhi dengan jeritan anak-anak kecil yang menggemaskan. Aku hampir tak dapat menemukan ruang yang luas untuk menyandarkan punggung meski sebentar. Ku perhatikan, sejak tadi ibu hanya keluar masuk dapur untuk mengambil bingkisan-bingkisan cantik. Ia mulai duduk bersila di dekat Rena dan mulai berbicara.
“.... Rasa syukur tak pernah henti kami panjatkan pada Tuhan yang selalu menyayangi kami dengan nikmat yang telah diberikan hingga sekarang putri kami, Rena telah menginjak usianya yang ke dua tahun.....”
Tanpa memedulikan ibu, Rena yang berdiri di samping kue tart malah dengan asyiknya mencolek-colek kue itu. Beberapa kali aku menariknya, ia akan kembali menuju ke kue tersebut. Itu membuat beberapa tamu tampak tersenyum geli padanya.
Di akhir acara, ibu sibuk membersihkan peralatan makan yang kotor, sementara aku membantu membersihkan tumpahan minuman di lantai. Rena masih tampak bergelut dengan kue yang sekarang entah menjadi bentuk apa. Ia tampak senang sekali mendapati banyak tamu di ulang tahunnya ini.
Ketika aku sedang masuk ke dapur untuk mengembalikan beberapa gelas, ibu berteriak histeris. Aku langsung berlari tunggang langgang, melihat apa yang terjadi. Ibu tampak panik melihat Rena berlari menyusuri jalan dengan suara klakson truk yang juga terdengar kerasnya. Saat aku menengok ke suara klakson tersebut, sebuah truk dengan muatan yang tak sedikit sedang melaju ke arah adikku! Tubuhku terkulai lemas melihatnya dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Aku berharap ini hanya mimpi, dan saat ini pula aku ingin terbangun. Tuhan, bangunkan aku!
"Renaa!!!!" teriak ibu semakin kalut.
Teriakan ibu cukup kuat mengembalikan kesadaranku bahwa ini bukanlah mimpi seperti keinginanku. Sekarang hanya keajaiban yang ku minta. Beberapa detik lagi, truk itu akan menyeret adikku. Tidak Tuhan, tidak! Aku meronta-ronta dalam sandaranku di pintu gerbang.
Di luar dugaanku, ibu malah berlari menghampiri Rena dengan sisa tenaga yang dimilikinya. "Renaa!!!!" jerit ibu.
Piiiimmmm... Bruk...
Tidak ada yang tahu bagaimana sebuah peristiwa bisa terjadi. Jika mampu diulang, mungkin manusia tidak akan melakukan sesuatu hal yang akan menyeretnya masuk ke dunia yang baru. Dunia yang dirasa sangat sulit, kejam, dan menyiksa. Namun sekali lagi, manusia bisa apa? Hanya mampu menyesal. Ya, menyesal. Aku pun menyesal, tapi tidak dengan ibu.
Kejadian itu membuat ibu harus merelakan satu kakinya untuk diamputasi. Serangkaian operasi ibu lalui untuk kembali hidup normal. Ya, hidup normal meski tak senormal dulu pikirku. Sayangnya untuk ibu, semuanya akan normal-normal saja karena ia masih memiliki aku dan Rena. Aku pun heran dengannya mengapa tak ada rasa sedih yang ia tunjukkan pada kami. Ia mengasuh kami seperti biasanya dan tak pernah menyalahkan takdir karena keadaan yang sudah Tuhan berikan. Bagi ibu, ia tidak akan pernah canggung dengan apa yang ada pada tubuhnya selama ia masih memiliki pesona yang lain, yaitu anak-anaknya.
Seiring berjalannya waktu, masalah datang dan pergi begitu saja. Yang membuatku sedih, semua muara masalah dikait-kaitkan dengan kondisi fisik ibu. Inilah hal yang paling tidak kusukai. Setiap permasalahan, Rena lah yang memulainya. Kini, adikku telah duduk di bangku SMP. Banyak hal yang kurang dapat ia terima dari ibu.
"Rena tidak ingin ibu yang mengambilkan rapor Rena, Bu!" ucap Rena keras.
Tanpa rasa kesal, ibu hanya mengangkat kedua alisnya mendengar perkataan putri kecilnya itu. "Lalu Rena ingin siapa yang mengambilkannya?" tanya ibu pelan.
Rena mendengus. "Terserah, yang penting jangan ibu." Ia kemudian berlalu.
Sungguh, hatiku hancur mendengar adikku berkata demikian pada ibu. Bagaimana sanggup ia melontarkan kalimat yang menyayat hati ibu? Perlahan, ku dekati ibu yang masih sibuk dengan tenunannya.
"Maafkan Rena yaa Bu?!" kepalaku bersandar pada bahu ibu.
Jemarinya mengelus kepalaku dengan lembut. Entah benar atau tidak, aku merasakan ada isak tangis. Begitu aku mendongak, air mata ibu sudah meluncur dengan derasnya. Aku pun gelagapan, dan langsung memeluknya. "Maafkan Rena tadi, Bu.."
Ibu menggeleng, "Tidak, Tari. Ibu hanya sedih." Ia mengatur napasnya. "Ibu tidak sedih dengan apa yang ibu alami sekarang, namun ibu hanya sedih jika kekurangan yang ibu miliki menutupi jalan kalian mendapatkan cinta dari orang lain."
Aku kaget mendengar jawaban ibu. Sekarang aku mengerti bahwa cinta ibu selalu ada sepanjang masa bagi anak-anaknya. Ibu selalu menunjukkan bahwa amarah, sedih, dan kecewa bisa dipadamkan dengan kasih sayang yang ia punya. Bahkan hingga ia menangis, tak ingin ditunjukkannya. Ah, bagaimana Tuhan bisa mengirimkan malaikat sedekat ini denganku?
"Jadi siapa yang akan mengambilkan rapor Rena minggu depan, Bu?" tanya Rena selesai makan malam.
Ibu meneguk teh hangat di depannya. Aku tahu ia sedang memikirkan jawabannya. “Kakakmu nanti yang akan mengambilkannya,”
Jawaban ibu membuatku bingung. Tidak. Aku tidak pernah mengajukan diri untuk mengambilkan rapor Rena. Jadi mengapa harus aku yang mengambilkannya? “Tidak. Aku tidak mau!” jawabku ketus. “Jika ia tidak ingin ibu yang mengambilkannya, biar saja rapornya menjadi koleksi sekolahnya. Lagian ibu kan wali kami, mengapa harus aku?” Aku berharap ibu mengerti maksud ucapanku.
“Ya sudah jika tidak ada yang mengambilkan, biar saja Rena berhenti sekolah juga.” Ia berlalu meninggalkan aku dan ibu dalam penuh gejolak batin.
“Rena!” panggil ibu. Seperti dugaaanku, Rena juga tak akan kembali meski dipanggil berulang-ulang. “Tari, tolong nak, jangan seperti itu. Dia adikmu.” Tutur ibu memohon.
“Tapi ibu kan orangtuanya. Jadi mengapa ia tak bisa menghargai ibu?” aku setengah berteriak kesal. Sungguh, aku benci situasi seperti ini. Akhirnya aku memutuskan pergi menemui Rena.
Gadis itu tampak murung dengan muka dilipat. Lututnya menopang dagu yang tengah bersandar diantara keduanya. Tubuhnya sedikit bergoyang terkena terpaan angin malam. Balcon rumah memang menjadi tempat istimewanya untuk pergi di malam hari.
“Rena..” panggilku.
Ia masih membisu. Sedetik kemudian, ia memalingkan wajahnya dari hadapanku. Aku mengerti jika ia tidak ingin aku di sini. Tapi aku tidak peduli, perasaan ibu jauh lebih penting daripada egonya.
Aku duduk di sampingnya. “Kau sudah dewasa,” kataku memulai pembicaraan. “Apa yang membuatmu malu dengan ibu? Ketidaksempurnaan fisiknya?”
Ia masih membisu, sekarang bahkan tubuhnya tak bergerak sama sekali.
“Rena?”
Wajahnya mendongak ke arahku. Ia tampak marah sekali sepertinya. “Apa?!” bentaknya. “Aku tidak ingin membicarakan hal itu. Tidak penting!”
Mataku menyipit, aku benar-benar akan memukulnya jika ia bukan adikku. “Tidak penting, katamu?” amarahku tertahan dalam dada. “Jadi benar, jika kau malu?”
“Jika iya, kenapa?!” matanya melotot kepadaku.
Aku tidak ingin kalah. “Sayangnya ia tak pernah malu memiliki anak durhaka sepertimu!” ujarku. “Jika kau ingin tahu sebuah peristiwa yang menyebabkannya menerima takdir seperti ini, itu semua karenamu! Jika bukan karena ibu yang menyelamatkanmu dalam peristiwa naas itu, aku jamin kau sudah tiada di dunia ini.”
Aku melihat dahinya berkerut saat mendengarkanku. Benar dugaanku, ibu tidak pernah mengatakan sepotong cerita apapun pada Rena mengenai peristiwa itu.
“Apa maksudmu?”
Aku menghela napas panjang, mengatur irama perasaanku agar tenang membawakan jawaban yang akan menampar adikku. “Dulu ketika ibu merayakan pesta ulang tahunmu yang kedua, sebuah peristiwa terjadi. Kau sedang berlari menyusuri jalan ketika sebuah truk datang dari arah yang berlawanan. Ibu memanggilmu, namun kau masih saja berlari. Aku pun hanya terduduk lemas dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Namun kau tahu, ibu malah berlari menghampirimu dan mendorongmu menepi, sementara ia jatuh terjerembab dan menyebabkan ia harus merelakan satu kakinya.” Aku berhenti sejenak. “Kau tahu bagaimana perasaanku saat itu? Aku sungguh membencimu, Rena. Tapi melihat ibu yang selalu tegar dan menanamkan ketulusan di setiap hidupnya, aku mulai mampu menerima keadaan. Meski ibu tak pernah mengatakannya, namun aku yakin itu sangat sulit baginya. Sadar atau tidak, setiap ucapanmu serasa membuat hidup ibu semakin sulit!”
Aku pergi meninggalkannya dalam kebisuan. Berlama-lama dengannya malah akan menaikkan amarahku. Aku tak tahu apa yang akan Rena rasakan setelah mendengar ceritaku. Yang penting, aku sudah memberitahunya. Dia sudah dewasa, saatnya ia paham dengan apa yang ia punyai saat ini.
Pagi harinya setelah aku mandi, ibu memanggilku setengah berteriak. Begitu kagetnya, aku berlari menuju ke sumber suara.
“Ada apa, Bu?” tanyaku.
“Rena sakit, nak. Badannya panas sekali.” Jawabnya. Ibu terlihat memegangi dahi Rena yang sedang meringkuk gemetaran di bawah selimut. “Tolong kau ambilkan air kompres.”
Melihat ibu begitu panik, aku langsung melaksanakan apa yang ia perintahkan. Aku kembali ke kamar Rena dengan separuh air dalam baskom tumpah di lantai. Selagi ibu mengompres Rena, aku membersihkan tumpahan air tersebut. Beberapa menit setelah itu, aku kembali ke kamar Rena dan sudah mendapati ibu tengah tidur memeluk Rena yang kedinginan. Aku tercengang. Ya Tuhan, mengapa Kau kirimkan malaikat sedekat ini dengan kami?
“Ini teh untuk ibu,” aku meletakkan secangkir teh di hadapannya ketika ia akan memulai tenunannya kembali. “Bagaimana keadaan Rena, bu?”
Ibu tersenyum. “Ibu kira ia sudah mulai membaik, semoga nanti sore keadaannya sudah pulih.”
Aku kemudian duduk di dekatnya, dan membisikkan kalimat yang membuatnya sedikit kaget. “Ibu mengapa sangat menyayangi kami? Bahkan meski penuh siksaan, ibu masih sayang.”
Ia menghentikan tenunannya, matanya menerawang sejauh ia bisa memandang. “Kalian kan anak ibu, kalian yang ibu miliki, dan hanya kalian yang bisa ibu banggakan.” Aku termenung. Ibu melanjutkan, “Alasan ibu hidup adalah kalian, jadi perlukah alasan lain mengapa ibu mencintai kalian?” kemudian seulas senyum mengembang. Aku mendekapnya erat.
Tak ada kata lain selain syukur yang bisa kukatakan sekarang. Dekapanku seakan mengisyaratkan Tuhan agar Ia tak pernah mengambil ibu dariku. Lama aku memeluk ibu, seseorang dari belakangku ikut mendekap ibu perlahan.
“Kami sangat menyayangi ibu,” suaranya merintih menahan tangis. “Maafkan Rena, bu..”
Kini Rena yang memeluk ibu dengan sisa tenaganya. Wajahnya yang masih pucat sudah bisa menampakkan semangatnya kembali. Ibu tak menjawab, berulang kali ia hanya tersenyum melihat kami sudah akur. Ia bahkan tak mengungkit setiap masalah yang berlalu. Bagi ibu, tidak ada masalah yang berarti selama masih memiliki kami. Emm, apakah seluruh ibu di penjuru dunia sebaik ibuku? Entahlah.
Setiap perjalanan hidup adalah sebuah proses. Pada hakikatnya manusia akan selalu melewati proses untuk mendapatkan kebahagiaan. Dari seorang ibu, aku selalu berproses menjadi dewasa. Hanya ibu yang mampu memadupadankan kesabaran dengan tanggung jawab, dimana ia melandaskan semuanya pada cinta. Karena bagi seorang ibu, cinta adalah sebuah pertaruhan. Untuk menjadikan cinta sebagai sebuah kebahagiaan, harus dengan pertaruhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pertaruhan Cinta
Short StoryBagi seorang ibu, cinta adalah pertaruhan. Untuk menjadikan cinta sebagai sebuah kebahagiaan, harus dengan pertaruhan