One : Deon

76 5 0
                                    

“Pak Tedi resign, Pak.”

Bapak Suwirno, atau lebih dikenal dengan panggilan Pak Wirno. Terus memijat keningnya yang terasa pusing. Bapak Kepala SMA Bina Unggulan Provinsi atau disingkat dengan Binusvi ini tidak habis pikir. Penjelasan Bu Pitaloka barusan nyaris membuatnya mati berdiri. Sudah berapa banyak guru yang mengundurkan diri setelah menjadi Wali dari Kelas 12-13? Jika dihitung-hitung, hampir tiap minggu kelas itu mengganti Wali Kelas.

Terdengar suara ketukan pintu dari luar dan suara keributan yang tidak begitu jelas. Pak Wirno pun segera membuka pintu ruang kerjanya. Pak Kasim, guru bidang olahraga telah berdiri di hadapan Pak Wirno dengan nafas yang tidak beraturan. Hendak berbicara tapi tersendat-sendat. Pak Wirno segera mengambil sebotol air mineral yang terletak di atas meja kerjanya dan mempersilahkan guru bertubuh sedikit gempal itu untuk lebih rileks. Dalam sekali tegukan, air itu telah habis.

“Makasih, Pak.” Pak Kasim tampak mengusap keringat yang terus mengalir dari keningnya.

“Sama-sama. Jadi, ada kepentingan apa? Kenapa Bapak begitu terburu-buru? Apa ada hal yang begitu penting?” nada bicara Pak Wirno yang begitu tegas memperlihatkan sisi pemimpinnya.

“Bukan cuman penting, pak. Tapi darurat. Deon, pak. Dia memukul anak kelas 12-5.”

Pak kasim menjelaskan dengan wajah paniknya, seperti baru pertama kali melihat kejadian seperti ini. Mendengar itu, pak wirno segera menutup ruang kantornya dan berjalan menuju pusat keributan. Diikuti pak kasim yang berlari. Lagi.

“Lo cuman ga tau kebenarannya.” Deon mengangkat kerah baju rivalnya itu.

Selama dia sesama jenis, deon tidak segan-segan untuk menghabisinya ketika telah menyinggung masalah hidupnya. Lingkaran kumpulan makhluk sok suci melihat kejadian itu dengan terperangah. Mengambil kesimpulan tanpa tau dulu kejadian sebenarnya, menghina orang tanpa tau latar belakang kehidupannya. Wajah Reval nyaris dihabisi oleh Deon jika saja Pak wirno datang lebih lama.

“Cukup, Deon.” Pak wirno berteriak dengan tegas. Deon menghela nafasnya. Kesal. Ketika dia ingin menghabisi seseorang, kenapa selalu aja ada sesosok orang yang berpura-pura menjadi malaikat(?)

Dengan sangat terpaksa, Deon melepaskan nyawa temannya itu bebas. Ralat. Nyawa rivalnya bebas. Deon kembali dengan gaya coolnya, merapihkan baju seragamnya yang berantakan dan menyisir rambut gondrongnya dengan tangan. Sudah tau akan dipanggil ke ruang BK, dia segera mencium tangan kedua gurunya itu lalu melongos pergi tanpa menghiraukan rintihan Reval yang sibuk mengusap darah segar dari wajahnya.

Pak wirno menghela nafas frustasi. Harus berbuat apalagi pada anak dihadapannya ini? Beliau mengusap wajahnya jengah. Jika perbuatan anak ini tidak ketahuan, sekali saja. Mungkin akan ada satu nyawa melayang disekolah ini.

“Saya bosan menanyakan pertanyaan yang sama kepada mu, Deon.” Ujar Pak Wirno, menatap lekat jauh pada manik mata Deon. Merasa risih ditatap seperti itu, Deon mengalihkan pandangannya pada jendela yang langsung menuju jalan raya. Sambil menopang dagu, ia menjawab “Saya juga bosan menjawab jawaban yang sama, Bapak Wirno.”

Sekali lagi Pak wirno menarik nafas panjang, lalu mengeluarkannya dengan perlahan.

“Jadi mau mu apa, nak Deon?” nada bicara Pak wirno merendah, layaknya seorang ayah.

“Tidak muluk-muluk, pak. Balikin nama baik saya.” Deon menjawab dengan nada yang sama. Pelan. Senakal-nakalnya dia, untuk menjawab orang tua dengan bentakan pun dia segan.

“Tapi itu bukan kesalahan pihak sekolah, Deon.”

“Tapi bapak adalah kepala sekolah, pak wirno. Kalau memang bapak tidak bisa memperbaiki nama baik saya, setidaknya bapak memberi tau kepada semua pihak sekolah bahwa berita itu tidak benar. Saya yakin bapak tau. Dengan segenap hati saya, dengan segala hormat saya kepada bapak selaku orang yang lebih tua dari saya. Saya mohon, pak.”
Ada jeda yang Deon berikan. “Saya kira cukup. Terimakasih banyak pak. Permisi.” Deon pamit dan keluar dari ruang BK.

Deon berjalan santai di koridor, di sepanjang koridor menuju kelasnya ini selalu sepi. Kenapa? Karena memang cuman kelasnya yang berada di koridor ini. Lantai paling atas. Lantai 3, dekat gudang, dekat kelas yang sudah tidak terpakai lagi. Dan paling ujung. Lengkap bukan? Jika mendung atau menjelang sore, koridor ini seperti tidak ada penghuninya. Sepi. Dan gelap. Seperti hidupnya. Ralat. Bukan hanya hidupnya saja, tapi juga hidup teman-temannya.

Langkah Deon telah melewati batas pintu.

Kelasnya begitu ramai, dengan anak-anak yang punya energi di atas rata-rata, hinggap kesana, hinggap kesini, loncat kesana, loncat kesini, lari kesana, lari kesini. Seperti keadaan kelas pada umumnya bukan?

“Runako Gideon Pratama.” Seru temannya, diikuti meriahnya tepuk tangan dari teman-teman kelasnya.

“Gue kek anjing laut yang abis pentas, segala ditepokin.” Deon tertawa. Keadaan menjadi hening. Garing.

“Hwasem. Nyesel gue, bilang kek tadi.” Umpatnya sambil menatap teman-temannya satu persatu dengan tatapan membunuh. Lalu dia duduk di bangkunya.

Selamat datang di kelas 12-13 …

“Engga usah dikenalin, thor. Biar mereka tau sendirinya, ini kelas apa.” Deon menatap authornya dengan tatapan tajam.

***

Langkah anak laki-laki berambut gondrong dengan seragam sekolah berlambang SMA Binusvi itu sangat berirama. Perawakannya yang seperti itu ditambah lagi dengan keadaan seragam yang sudah tidak beraturan, membuat kesan pertama bahwa anak itu adalah anak nakal. Sudah biasa Deon dipandang seperti itu. Bahkan ketika keadaannya tidak seburuk sekarang pun, dia sudah sering menerima itu. Jadi, kenapa ga sekalian aja? Pikirnya.

Bunyi benturan kaleng mengenai kepala seseorang, membuat langkah Deon terhenti. Kemudian seorang anak perempuan berseragam sama menghampirinya.

“Punya lo?” Tanya nya sambil mengangkat sebuah kaleng yang sudah rusak tepat didepan wajah Deon. Deon mengangguk dengan santai, lalu merintih kesakitan ketika anak perempuan tadi membenturkan kaleng itu ke kepalanya. Setelah itu anak perempuan tadi melenggang pergi.

“Woy!” deon segera menyusul langkah anak perempuan itu. Mereka berjalan beriringan.

Mereka berpisah pada pertigaan jalan dekat supermarket. Rumah Deon jauh dari pemukiman. Kanan kiri serta depan belakang rumahnya hanya sebuah tanah kosong yang sangat luas, entah milik siapa. Sejak dia pindah kesini, hingga sekarang. Deon tidak pernah tau siapa pemilik tanah itu.

“Deon pulang.” Dia segera melepas sepatu. Melihat keadaan rumah sangat berantakan dan tidak ada orang, dia yakin jika ayahnya habis mengamuk. Mencari barang yang dia yang mau, ketika tidak menemukannya, ayahnya akan pergi dari rumah.

Deon lelah, harus sampai kapan keadaannya akan terus seperti ini. Ibunya sudah tiada, dan beliau menitipkan ayahnya pada Deon. Deon tidak ingin menyerah pada keadaan. Dulu, deon kecil tidak mengerti apa-apa tentang lika-liku hidup yang akan ia terima. Sekarang, deon kecil telah berubah. Deon kecil telah beranjak dewasa. Masa-masa remaja yang ia impikan, tidak akan pernah ia rasakan. Dan sekarang, masa-masa itu hampir habis. Tanpa menyisakan kenangan manis, yang akan ia ceritakan pada anak cucunya nanti.

Ketika diluar sana. Ada orang yang telah memiliki kebahagiaan, dan menginginkan sedikit kekayaan. Ada pula orang yang telah memiliki kekayaan, dan ingin sekali mencicipi apa itu kebahagiaan. Tapi disini, seorang Runaka Gideon Pratama tidak memiliki keduanya. Lalu … bisakah ia memiliki kebahagiaan bersama ayahnya? Atau akan mendapatkan kekayaan untuk mengobati ayahnya suatu saat nanti?

Side of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang