Three : Agam

22 4 0
                                    

Wajahnya begitu tenang. Dan ... dingin. Rahang kuatnya mempertegas kalau makhluk yang satu ini seakan tidak peduli pada sekitar. Tatapan matanya yang tajam bak mata elang, dengan pupil hazel coklat disana. Membuat siapapun yang ditatapnya akan menunduk. Ketakutan. Langkah anak laki-laki ini begitu percaya diri, kedua tangannya yang selalu berada di dalam saku celana dengan pandangan yang selalu ke depan.

"Lo yang apaan?" bentak anak laki-laki memegang erat kerah baju temannya. Mata anak laki-laki itu melirik sekilas lalu kembali berjalan.

"Agam."

Merasa ada yang memanggil namanya, dia pun menoleh pada sumber suara. Anak perempuan berambut panjang, dengan sebuah senyuman yang bertengger pada wajah cantiknya. Menghampiri Agam dengan setengah berlari.

"Lo dipanggil Bu Tika." Ujarnya. Agam hanya mengangguk, tanpa mengucapkan sepatah dua patah kata sekalipun. Meninggalkan anak perempuan tadi.

"Bilang makasih kek, atau pamit kek. Atau apa gitu. Abis nelen biji kedondong apa ya tuh anak?" dumel nya, melihat punggung Agam yang semakin lama semakin menghilang.

Agam memasuki ruang Konsultasi, seorang wanita paruh baya dengan kacamata bergagang tipis tengah duduk di kursi. Menatap kedatangan Agam dengan kening berkerut. Dengan rasa hormat, Agam mencium tangan guru bidang Matematikanya itu. Lalu duduk di kursi, tepat di hadapan Bu Tika dengan sebuah meja sebagai batas mereka.

"Ada masalah apa, nak Agam?" Raut wajah Bu Tika seketika menenangkan. Guru yang terkenal karena ke-killer-annya itu ternyata memang pada dasarnya adalah seorang ibu. Bu Tika menunggu jawaban dari Agam dengan harap-harap cemas. Semoga saja anak ini mau bercerita, pikirnya.

Agam membungkam mulutnya rapat-rapat. Tidak ingin berbicara sedikit pun. Kelakuan Agam yang seperti ini membuat seluruh guru frustasi. Bahkan sampai guru killer sekali pun.

"Baiklah, ibu tidak akan memaksa. Tapi ibu, sebagai orang tua mu di sekolah. Dan guru-guru yang lainnya. Merasa khawatir dengan nilai-nilai mu yang menurun drastis." Ada jeda sedikit, Bu Tika menghembuskan nafasnya pelan. Lalu tersenyum, "Kalau emang tidak ada orang yang bisa kamu percaya di sekolah ini. Kamu bisa mempercayai ibu, Gam."
Perempuan paruh baya itu mengusap puncak kepala Agam dengan lembut, lalu pergi meninggalkan Agam dengan pikirannya yang melayang entah kemana.

"Bullshit sama kalimat 'Percaya sama saya.' Gue udah denger itu berkali-kali tanpa ada pembuktian. Bangke lah sama yang namanya temen, sahabat, atau apapun itu namanya. Ga ada yang bisa gue percaya. Semua makhluk di bumi tuh sama. Para badut dengan berjuta topengnya. Berlomba-lomba menunjukkan atraksi terbaiknya untuk menarik perhatian semua orang." Umpat Agam mengepalkan tangannya erat.

Dia keluar ruangan. Memasang wajah tenangnya, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Dia benci menjadi pusat perhatian, dia benci ditatap makhluk-makhluk muna, dia benci ketika mereka seolah-olah simpati padanya.

***

Keramaian café membuat mood seorang waiter disana membaik, setidaknya keadaan disini lebih menyenangkan daripada disekolah. Hampir seluruh bangku telah dipenuhi oleh pengunjung, memesan pesanan favorit mereka dan berbincang-bincang dengan teman sebangkunya. Hingar bingar seperti ini telah lama sang waiter nikmati. Awalnya asing memang, karena belum terbiasa. Tapi setelah lama disini, makin lama suasana ini membuatnya nyaman.

"Mas, coffee americanonya dua ya. Yang satu panas, yang satunya lagi dingin." Ucap pembeli sambil mengambil dompet. Waiter itu tersenyum, jari jemarinya sangat terampil pada papan keyboard, mengetik pesanan. Tangannya begitu lihai ketika harus menyuguhkan pesanan-pesanan itu.

"Enam puluh empat ribu, mba." Waiter itu menyerahkan pesanan dan mengambil uang bayaran dari si pembeli.

Harus bersikap ramah pada selama ia bekerja, sedikit sulit. Karena wataknya yang memang jarang sekali tersenyum. Maka dari itu, ketika pulang kerja. Dia selalu memijat pipinya, merileks otot-otot yang tegang. Seperti sekarang, selama perjalanan pulang, waiter ini selalu memijat pipinya, bahkan sesekali ia memijat keningnya yang terasa pusing.

Tangannya melambai ke jalanan, memberhentikan sebuah taksi berwarna putih. Lalu dia masuk ke dalam dan memberitahukan pak supir, kemana tempat tujuannya. Seragam waiternya telah diganti dengan kaos merah lengan panjang, dibalut dengan jaket hitam favoritnya. Lalu lalang penghuni jalanan, ributnya suara klakson dari berbagai penjuru, laju kendaraan yang tersendat. Sudah tidak asing lagi bagi kawasan ini.

Taksi pun berhenti tepat didepan tujuan si waiter. Dia memberikan bayaran kepada sang supir lalu turun darisana. Sebuah bangunan besar, bercat putih tulang, dengan gapura sebagai penyambutnya, dilengkapi dengan lalu lalang banyak orang. Kalian bisa tebak ini tempat apa?

Dia masuk kedalam bangunan itu, langkahnya menuju sebuah kamar. Menemui seseorang. Seseorang yang sangat dia kenal. Seseorang yang memiliki ikatan dengannya. Seseorang yang telah lama menetap disini.

"Bagaimana kabarnya?" Tanya sang waiter. Orang yang dia ajukan pertanyaan itu hanya tersenyum.

"Maaf terlambat. Jakarta berubah. Jadi sedikit lebih ramai. Mungkin akan terus bertambah ramai." Dia membuka pembicaraan. Orang itu tersenyum lagi.

"Oh iya. Nilai ku menurun drastis, mungkin karena aku kelelahan dan lalai sama tugas sekolah. Tapi aku janji, aku akan memperbaikinya." Sang waiter menceritakan kejadian disekolah lusa kemarin. Lagi, orang itu tersenyum hangat. Tapi tidak lama, ekspresinya kembali berubah. Tergantung suasana hatinya.

Side of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang