Pertanyaan itu terus menerus menghantuiku. Dalam setiap perjalanan aktivitasku, dalam interaksiku dengan orang lain, dan dalam keyakinanku untuk memilih jalan dakwah yang panjang ini.
Pantaskah aku menyandang kata ‘Ukh’ di depan namaku?
Aku ingat sekali percakapanku dengan seorang ikhwan. Dia bilang “Wah, kalo akhwat itu sholat gak perlu bawa kayak gini ya.” Sambil menunjuk ke mukenaku.
“Lho, mas, aku kan juga akhwat.”
“Iya, ya.”
Itu dulu. Saat aku masih belum pada tahap ini. Saat hatiku belum terketuk untuk selalu memakai rok ke kampus. Jilbabku pun belum ‘selebar’ sekarang. Walaupun sekarangpun jilbabku tidak selebar jilbab ‘akhwat-akhwat’ itu.
Berarti…ukuran akhwat itu tergantung ukuran jilbabnya? Benarkah? Selebar apa? Apakah batas kelebaran itu sudah ditentukan? Apakah jilbab harus menyentuh siku dulu baru bisa dikatakan ‘akhwat’?
Selama ini, aku masih belum terbiasa untuk memanggil seorang ikhwan dengan kata ‘Akh.” di depan namanya, walaupun aku ingin, tapi ada rasa malu saat kata-kata itu keluar dari mulutku. Dan aku masih merasa nyaman dengan memanggil mereka ‘mas’ atau langsung menyebut nama mereka. Mungkin nanti saat aku berada di SKI, atau organisasi yang memang murni berbasis Islam, aku akan leluasa berkomunikasi dengan bahasa itu. Tapi belum sekarang, dalam organisasi heterogen ini.
Aku merasa seperti berada di tengah-tengah. Antara ‘cewek’ dan ‘akhwat’. Cewek, karena jilbabku belum menyentuh siku, dan akhwat, sebab aku selalu memakai rok sekarang.
Aku ingin bertanya pada seseorang, tapi siapa?
Banyak sekali yang ingin aku tanyakan. Sebab aku ingin mendapatkan suatu kepastian. Pantaskah aku menyebut diriku ‘akhwat’?
Ah….pentingkah itu? Label ‘akhwat’ tidak akan menghalangiku untuk menempuh jalan ini, jalan dakwah. Aku tidak perduli dengan orang-orang yang menilaiku. Seorang ‘cewek’ juga bisa ikut andil dalam jalan dakwah, setidaknya pakaian syar’i telah aku kenakan, sesuai dengan tuntutan Rosul, menutupi dada, dan tidak menampakkan bentuk tubuh. Seberti kata seorang ustadzah, yang penting jilbab itu menutupi dada, dan tidak tipis. Walaupun memang suatu saat aku ingin jilbabku lebih lebar, pasti.
Jadi, sekarang ini, aku tidak ingin mengklaim diriku adalah ‘akhwat’ dan menyuruh orang orang memanggilku ‘Ukhti..’, memanggil ikhwah dengan sebutan ‘Akh’ atau ‘Ukh’…
Sebab aku takut ada yang menertawaiku ‘Idih…jilbab masih segitu sudah sok pake Akh-Akh an..’
Biarlah. Semua pasti terjawab, banyak hal yang akan membantuku menemukan jawabannya.