| S A M O V A R S |Tula Oblast, Rusia (Uni Soviet), 1941
Di sini, di Tula, kami dikenal baik karena Samovarnya.
Samovar adalah sebuah wadah yang terbuat dari metal digunakan untuk memanaskan air. Di sini, kami menggunakan Samovar bukan hanya untuk memanaskan air, tapi juga teh. Sama seperti orang Rusia lainnya.
Teh khas Tula tidak begitu manis. Rasanya pahit. Tapi, bagiku itu tetap rasa yang terbaik!
Beberapa tahun ini adalah tahun-tahun yang penuh perjuangan. Perjuangan, maksudku, perang. Di Rusia, semua orang pasti akan ikut berperang. Laki-laki, perempuan, tua, dan muda (termasuk anak-anak). Yang tidak ikut berperang kebanyakan adalah para perempuan yang sedang mengandung.
Di desa tempatku tinggal, kami mempunyai kebiasaan untuk mengadakan acara makan bersama sebelum para masyarakat yang akan berperang pergi keesokan harinya.
Dan pada saat itu, akan ada banyak hidangan yang akan disajikan. Semuanya adalah hidangan khas Rusia, terutama Pryaniki, makanan khas Tula, dan ditemani dengan buah cherry. Dan tentu saja, semuanya tidak akan lengkap tanpa teh yang disediakan dari Samovar!
Saat acara, selagi orang-orang sedang asyik bernyanyi bersama, aku justru asyik melihat-lihat makanan dan memikirkan mana yang akan kumakan lebih dulu. Itu selalu lebih menarik daripada bergabung di antara orang banyak dan bernyanyi (hal ini selalu membuat orang tuaku kesal karena mereka bilang aku tidak mau menikmati waktu bersama dengan mereka).
Aku memakan semua hidangan, masing-masing satu. Dan aku memakannya dengan cepat. Setelahnya, aku mengambil sebuah cangkir kecil dan berjalan menuju Samovar. Samovar itu memiliki badan bewarna putih dengan motif bunga dan cherry dan diselingi dengan warna-warna merah yang berani. Di atasnya terdapat sebuah teko kecil yang sedang dipanaskan oleh Samovar. Aku mengambilnya dan menuangkan teh ke dalam cangkir yang tadi kuambil.
Air teh, diikuti dengan uap-uap panas keluar. Aroma teh khas Tula yang pahit langsung keluar. Aku meminumnya sedikit, tidak ingin membuat lidahku terbakar. Dan kemudian, aku berlanjut mencari kue untuk dimakan.
"Aku sudah memanggilmu berkali-kali. Kau tak dengar? Kau keasyikan makan?" Tanya seseorang dari arah belakang. Aku tersenyum melihat sahabatku yang sedang berkacak pinggang dan memasang wajah kesal ke arahku. Tampaknya dia memang sudah memanggilku berkali-kali.
"Maaf. Aku tidak dengar. Di sini ribut sekali. Lihatlah mereka," aku menunjuk kerumunan orang-orang yang terdiri dari keluarga dan teman-teman yang sedang menyanyikan lagu Smuglyanka Moldovanka dengan nyaring. Lagu itu langsung terkenal di desa kami begitu diperdengarkan setahun yang lalu. Padahal lagu itu payah. "Tapi aku juga, memang, keasyikan makan."
"Bergabunglah, Lesya. Kau tidak tahu apakah waktu seperti ini akan pernah datang lagi."
Aku tertawa, "Huh? Kenapa, Nadya? Sudah kalah duluan sebelum perang?"
"Secara teknis, aku tidak --,"
"Hanya pesimis."
Nadya terdiam, "Hanya berjaga-jaga jika sesuatu terjadi."
"Itu hanya menyamarkan rasa pesimismu. Lihatlah, kau terlihat cemas. Kau takut pergi berperang?"
"Dan kau terlihat percaya diri sekali, seolah-olah kau sudah pernah pergi berperang berkali-kali."
"Kau harus pergi berperang dengan penuh percaya diri. Kita ini bangsa hebat. Kau harus percaya diri. Lagi pula, pandai besi Tula kita sangat hebat dalam membuat senjata."