Aditya pov
Di perjalanan menuju stasiun Lita menceritakan keinginan ibunya agar kami serumah. Padahal, keluarga besarku saja belum tahu kalau aku sudah menikah. aku tak keberatan kalau harus meresmikan pernikahan kami, tapi aku tak tahu pendapat Lita.
Dari stasiun, aku membelokkan mobil ke salah satu rumah makan. Aku sendiri belum makan malam ini, semoga mereka menyukai pilihan restoranku.
Ibu menyampaikan apa yang disampaikan Lita tadi. Lita sendiri sedari tadi makan sambil menunduk.
"Kalau saya sebenarnya tidak keberatan bu, tetapi masalahnya pernikahan kami belum legal Bu. Bagaimana baiknya menurut ibu dan Lita?"
Kepala Lita menunduk makin dalam. Kwetiauw yang sedang dimakannya seolah menjadi cacing yang menyedihkan. Kerongkongannya seolah menyempit, hingga beberapa kali ia kesulitan menelan, harus didorong air.
"Kalau itu sih tentu ibu setuju, kalau menurutmu bagaimana Lit?"
Dia melirik ke arah ibunya sambil pelan pelan mengangkat dagu. Saat dagunya telah lurus, ia memandang piring di hadapannya kembali.
"Apa pernah pendapatku diperlukan dalam hal ini Bu?" Ucapnya perlahan dan gemetar, ia kembali menyantap dengan sedih dan menunduk.
Demi mendengar jawaban itu, ibu meletakkan sendok garpunya.
"Kamu pikir, ibu tidak sedih dengan keadaanmu? Kamu pikir, ibu bahagia menjodohkanmu dengan orang yang tidak kamu cintai sebelumnya? Kamu pikir, apa yang ibu inginkan dari menikahkanmu kalau bukan kebahagiaanmu?"
Lita mulai menangis sesenggukan. Cacing itu seolah menjadi jarum-jarum. Tangannya menutupi wajah. Sepertinya aku tidak akan mampir kemari lagi, seluruh pegawai restoran kini memandangiku yang duduk di hadapan dua wanita yang menangis ini dan aku tidak tahu aku harus berbuat apa.
"Maafin Lita Bu,hiks Lita...Lita tahu ibu hiks ayah sayang sama Lita,hiks tapi ini hal yang hiks hal yang baru dan berat untuk aku. Dan...hiks...dan Lita nggak tahu harus cerita sama siapa. Hiks...Lita ngerasa jatuh dan sendiri bu...hu...."
Dua wanita itu lalu berpelukan. Aku berpura-pura menyantap makananku.
"Maafin ibu Lit, ibu juga sedang sangat rapuh karena ditinggal ayahmu, ibu tahu kamu juga akan rapuh, makanya ibu suruh kamu menikah agar kamu bisa sedikit bersandar pada suamimu Nak..."
Ibu menciumi kepala Lita. Lalu menegakkan tubuhnya dan menghapus airmatanya. Entah mengapa aku jadi semakin merasa bersalah karena telah menikahi Lita. Seolah aku makin memberatkan kesedihan yang harus ditanggungnya.
"Nak Aditya, ibu juga minta maaf karena telah memposisikan kamu pada keadaan yang serba salah. Tapi sesungguhnya baik ibu, dan mungkin Lita kelak, akan berterima kasih pada nak Aditya karena bersedia menikahi Lita. Sekarang ini, Lita sedang jatuh pada kesedihan yang sangat dalam, ibu mohon pada nak Aditya, untuk selalu mendampinginya agar Lita bisa bangkit ya Nak."
"Insya Allah Bu. Sementara ini, mungkin saya akan tinggal di rumah Lita dulu dengan ijin RT RW karena mereka yang sudah tahu pernikahan siri kami. Sambil saya akan mulai mengurus pernikahan negara, ...itu kalau ibu dan Lita setuju."
Ibu melirik ke arah Lita. Yang dilirik tampak mengangguk.
"Alhamdulillah kalau begitu. Emm... apa saya boleh melakukan pembayaran sekarang Bu? " ucapku melihat kedua wanita itu sudah tak bernafsu menghabiskan 'jarum-jarum'di piringnya itu.
"Iya silakan Nak, ibu sudah kekenyangan. Lita juga."
Dan mulai malam berikutnya, aku telah pindah ke rumah Lita. Tapi, tidak sekamar. Ibu 'mengijinkan' Lita tidur dengannya hingga setelah pernikahan resmi kami nanti.
Sementara itu, pada suatu malam aku membawa keluarga besarku mengunjungi rumah Lita. Beberapa sanak saudara Lita juga datang. Masakan telah dipersiapkan. Tanggal pernikahan kami malam itu ditentukan. Tidak terlalu lama, hanya sekitar sebulan ke depan.
Lita tak mau mengadakan resepsi, namun hanya syukuran. Sedangkan keluargaku ingin mengundang beberapa rekanannya. Akhirnya resepsi akan dilangsungkan sederhana saja di rumahku.
Kedua belah pihak telah setuju, aku dan Lita mulai mengurus administrasi dan tetek bengek pernikahan kami. Lita tetap sependiam sebelumnya saat ayahnya telah tiada. Namun air mata nampaknya mulai mengering. Matanya tidak lagi sebengkak dulu walau kantung matanya sedikit membesar.
Ijab kabul di rumah Lita berlangsung lancar walau sangat sederhana. Hanya ada beberapa orang tetangga, teman kantor Lita dan aku, serta beberapa sanak saudara Lita maupun aku.
Sorenya ibu memindahkan barang-barang Lita yang sudah beliau persiapkan ke kamar yang ku tempati. Malam itu aku mulai sekamar dengan Lita. Namun aku tidur di bawah dan Lita di atas ranjang persis seperti orang di rumah sakit. Aku tak keberatan. Karena aku sudah berjanji tidak akan menuntut apapun dari Lita atas pernikahan ini. Maka, walaupun ia masih tak mau membuka kerudungnya di hadapanku, aku tak pernah protes.
What a three-in- a-row #claphands. Gimana gimana ceritanya menurut kalian? Vommentnyaa....!
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Married!!
General FictionLita harus menikahi atasannya yang terkenal galak. Tak ada rasa cinta dari keduanya. Keadaan yang menyatukan mereka.