Ibu dan ayahnya menjulukinya Ace, sementara ia benci panggilan itu, atau orang tuanya, atau daratan Asia. Sang empunya nama sedang disibukkan oleh gazpacho. Kedua tangan lihainya menyulap pasta tomat, paprika merah, cabai, bawang putih, cuka sherry, dan jus jeruk nipis sementara aku yang tidak berguna hanya memecah es batu dari tempatnya.
"Jadi, kau ingin membicarakan apa?" Pemecah es a la verbatim lurus prosais dan metafora.
"Tunggu sampai kita duduk dan makan, oke?" Asia bergumam, amat sibuk untuk menjawab pertanyaanku dengan baik dan benar.
Apalagi diatas meja kami menjadi monoton seperti, "Bagaimana kabarmu?"
"Baik, terima kasih." Balasan robot sembari berkemam, ia bahkan tidak melihat kearahku. "Dan kau?"
"Sangat baik." Dan aku mesti mengubah ini. "Kau mau pinot noir, Asia?"
"Tolong." Gelasnya praktis memohon akan dituangkan, namun matanya tidak ke mataku.
"Selalu lihat lawanmu kalau gelasnya berdenting," aku mengingatkan.
"Aku tahu." Akhirnya Asia luluh dan menatap lurus kearahku. Matanya yang seperti golek menggali jiwaku lebih dalam. "Tujuh tahun kesialan."
"Atau tujuh tahun seks yang buruk. Kau yang pilih."
Air mukanya beralih begitu kusebut kata itu. Sekarang wajahnya berubah boneka porselen. "Kau sudah bilang istrimu?"
"Soal?" Ceropongku sibuk menghisap masakan-masakan Asia. Dia memang anugerah dari Tuhan.
"Soal aku. Soal kita. Soal... Kehamilanku."
Aku tidak berdalih sewaktu kubilang tiba-tiba seluruh dunia runtuh. Tersedak makanan pedas tidak pernah baik untukmu. Seharusnya tadi tidak kubuat senang saja dia.
"Aku... Aku akan memberitahunya, setelah Oslo."
Sendok garpunya ditancapkan ke kenap dengan wajah senada dengan gazpacho. Oh tidak, ini dia datang.
"Kau bilang kau akan bilang minggu ini. Lalu minggu depan. Hari ini, lalu besok. Kapan, Diego, kapan?" Asia terbengkil-bengkil menahan sungai yang mendesak datang dan hampir saja ia mengelap matanya yang mulai membengkak dengan garpu.
Semua pencaharian yang layak untuk dimiliki butuh wawancara kedua. Semua cinta yang layak untuk dimiliki butuh cobaan kedua.
"Dengar, aku tahu aku terdengar kepinding, tapi memecahkan berita itu kepada istriku tidak mudah. Ke keluarganya yang sudah kuanggap keluargaku sendiri? Ya Tuhan."
Sesegukannya merebak seperti orang asma yang kambuh. "Kau bersumpah kau mencintaiku, bahwa kau sebenarnya tidak pernah mencintai istrimu. Kau berjanji akan meninggalkannya untukku, Diego."
Aku adalah pria yang terhormat; mencintaimu membuat kehormatanku sirna.
"Dan kalau kau tidak mau pusing dibuatnya, aku sudah sarankan untuk kita mengurusnya saja."
Asia membuat seluruh meja termasuk diriku yang malang tersentak karena dia mendadak berdiri, tangannya mengepal. "Tidak, Diego. Aku tidak mau mengaborsi."
Aku meraih kepalannya, mata membulat dan alis berkerut, memohon. "Asia, aku benar-benar tidak bisa melihat jalan keluarnya dari sudut manapun selain itu."
"Kenapa aku tidak bisa memilikinya saja? Dan kita bisa membesarkannya bersama."
"Tidak mungkin."
"Kenapa? Kau membenci pekerjaanmu, kau membenci istrimu, kau membenci hidupmu. Kukira ini mungkin pertanda, bahwa kau memang sebenarnya harus keluar."
"Kau gila ya?"
"Aku adalah anak yang bertanggung jawab; mencintaimu membuatku tidak memiliki tanggung jawab sama sekali." Dan tangisnya pecah. "Aku bersusah payah mencapai kemandirianku; mencintaimu membuatku bergantung padamu."
Lalu semuanya menjadi kacau sejak itu. Asia sengaja meneleponku di jam-jam yang ia tahu aku ada bersama keluarga besarku, menerorku setiap jam. Bahkan nekat menyambarku di depan kantor, ditengah banyak orang, demi Tuhan!
"Kau berbohong!" teriakannya praktis membangunkan semua orang untuk menoleh. Kutarik, dorong, apapun itu untuk membuatnya menjauh dari depan kantor. "Kau berbohong padaku kutu busuk dan aku mau menemui Ashley!"
Ya ampun, wanita, tidak bisakah kau diam?
"Kau mau kau yang beritahu Ashley atau aku yang beritahu?" Asia menarik tangannya dariku, matanya anggara dan tidak pernah aku melihat ia sekacau ini.
"Aku. Aku yang beri tahu nanti. Bisa kah kau diam?" Terus jalan yang jauh dari kantor, Diego, terus.
"Pengecut! Kau selalu bilang itu tapi kau tidak pernah melakukannya. Bedebah. Kau pikir ini mudah?"
"Kau pikir memberitahu istrimu bahwa kau sudah menghamili wanita lain padahal ia sendiri tidak bisa hamil terus mudah? Ini sama sulitnya seperti kau tidak menginginkan aborsi."
"Yah, bagaimanapun juga ia harus tahu, bukan?" Matanya yang bundar boneka sekarang terlihat menyedihkan, tubuhnya yang seksi dan mulus sekarang kurus kerontang, rambutnya sang mahkota terlihat awut-awutan. Kemana dirimu yang kucintai, Asia?
"Aku tidak bisa memberitahunya!"
"Baiklah, kalau begitu aku yang memberitahu kedurjanaan ini. Mudah kan?"
"Bangsat, berhentilah menjerit!" Namun kini aku yang meneriakinya. "Kau tahu, kau bisa memiliki anakmu dan aku bisa mendukungmu secara finansial."
"Hell no, Diego. Ini anak kita. Jahanam, itu tidak cukup."
"Kau gila ya? Coba masuk akal sedikit."
"Keparat, mencoba masuk akal membuatku berada di situasi ini." Awaknya berbalik dan ia menderap kearah datangnya kami tadi. "Aku harus beri tahu Ashley."
"Kau mengancamku, hah? Kalau aku tidak melakukan apa yang kau katakan kau akan beritahu istriku, begitu?"
Rautnya mencerminkan 'Berani-beraninya kau!', suaranya bergetar sewaktu ia berucap, "Apakah kau berbohong? Semua ucapan manismu itu, semua janjimu, semua yang kita habiskan untuk bercinta, kau berbohong padaku?"
"Aku tidak berbohong." Kedua tanganku praktis terlempar ke angkasa, secara harfiah angkat tangan menghadapinya.
"Kalau begitu katakan padanya."
Mulutku terkatup, sudah terlalu asam pembicaraan dengan wanita hamil yang gila ini. Tentu saja aku tidak bisa meninggalkan istriku, meninggalkan keluarganya, meninggalkan kehidupanku yang sudah mapan untuk... Untuk Asia Liu. Untuk apa? Untukku bisa menjadi gelandangan? Menjadi bukan siapa-siapa, tanpa tempat?
Dan di lubuk hatiku pun orang tolol pasti akan melakukan ini. Jawaban dari semua penat ini sangat mudah, aku hanya harus menghapus Asia Liu beserta kandungannya. Dari keberadaan, dari dunia ini. "Tentu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Derau
Short StoryKisah-kisah yang ditulis bersama derau Yang membuat jarak antar dua insan sejauh satu au; Saling mempertimbangkan atau; Menunggu kalau; Merindu engkau; Tidak menghiraukan yang alam sebelumnya himbau; Hanya agar jiwa ini hijau