prolog.

356 19 9
                                    

Aku melirik jam yang tertera pada ponselku, disana menunjukkan pukul 14:58.

"Sarah, aku harus ngomong sama kamu." Gadis berambut pirang sebahu di depanku menggigit bibir bawahnya, tahu dengan pasti apa yang menunggunya.

"Iya, aku juga udah tau. Hari ini... semuanya harus berakhir, kan?" Bibirnya bergetar pelan, membuatku mau tak mau merasa bersalah.

"Kamu jangan ngomong begitu, kita kan masih bisa jadi temen deket." Aku tahu ini tidak mungkin, tapi aku harus mengatakannya agar aku tidak merasa terlalu buruk.

Bagaimana pun juga, ini adalah batas maksimal yang bisa kutempuh. Ia hanya tampak sebagai sebuah wajah di antara ratusan lainnya yang pernah kukencani. Sebuah topeng yang dipoles sedemikian rupa -sebuah figur yang hanya berupa bayangan buram.

"Aku bersyukur bisa kenal kamu dalam satu minggu ini. Maaf, tapi aku engga bisa nerusin hubungan kita." Aku membungkuk pelan dan mengucapkan hal ini dalam nada monoton. Aku sudah lupa makna sebenarnya dari kalimat ini, seiring terlalu sering kuucapkan.

"Aku juga." Sarah maju dan memelukku. Kemeja putihku perlahan mulai basah karena air matanya. Aku hanya diam disana tanpa memeluknya kembali, tanganku menggantung di udara dengan canggung. Jika aku membalas pelukannya, bisa saja harapan kembali membuncah pada perasaannya.

Aku sudah cukup menyakitinya.

Aku kembali melirik jam ponselku yang telah menunjukkan lewat satu menit dari pukul tiga sore.

"Sarah, maaf, aku beneran harus pergi.." aku berucap sambil meringis, mendorong tubuh Sarah dengan halus.

Ia mengangguk mengerti sambil berusaha menghentikan air matanya yang tampak terus mengalir.

Sebegitu cintanya dia sama gue? Gue beneran berharap lu ketemu sama orang yang jauh lebih baik daripada gue.

"Bye." Aku melambai ke arahnya dan segera membuka pintu ruang kelas, pergi tanpa menengok ke belakang. Aku berjalan dengan cepat menuju lobby utama. Suara sepatu converse-ku membuat semua orang yang tadinya berkerumun menyingkir, memberiku jalan tanpa hambatan.

Kubuka kontak di ponselku dan mem-block segala kontak Sarah. Hanya sekadar antisipasi agar ia tak dapat menghubungiku lagi. Mulai dari facebook, twitter, line, bahkan nomor telepon.

Aku tidak suka berurusan dengan mantan. Mereka hanya terus mengingatkanku akan... penyakit anehku.

Semua orang beranggapan bahwa aku playboy. Memainkan setiap perempuan seolah itu tidak membuatku merasa rendahan. Walau faktanya, aku adalah seorang penderita gamophobia.

Jenis fobia dimana penderitanya tidak dapat meneruskan hubungan ke tingkat yang lebih serius. Memikirkan bahwa aku harus memperdalam hubungan lebih dari sekadar teman membuatku ketakutan. Aku bukan bermain-main dengan Sarah atau lainnya, aku hanya benar-benar tidak bisa.

Jadi aku terus mencoba dengan siapa saja yang menyatakan cinta pertama kali pada hari Senin, berusaha untuk terbebas dari fobia aneh ini.

Namun jika mereka berpikir aku hanya melakukan ini demi kesenangan pribadi, biarlah mereka berpikir seperti itu. Aku tak masalah membawa rahasia terkutuk ini sampai ke liang lahat.

Tyler, Zoe, dan Joe sedang bersandar pada lokerku, melempari satu sama lain sebuah kertas yang sudah diremas membentuk bola. Zoe yang pertama kali melihatku  berlari dan bergelayutan manja di tangan kananku.

"Troye, mau hang-out bareng kita abis ini?" Zoe memiringkan kepalanya, membuat kuncirannya ikut bergoyang menggemaskan. Kami berjalan menuju tempat Tyler dan Joe menunggu.

Deeper (Tronnor AU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang