"Nggak usah keluar malam ini." Terdengar suara dari seberang.
"Emang kenapa?"
"Aku capek, di kantor lagi banyak kerjaan."
"Yaudah, kalo gitu istirahat aja."
"Langsung bobok, gak usah kemana-mana." Dia memperingatkanku lagi.
Dan sambungan telefon terputus begitu saja.
Sejak malam itu Digo menjadi begitu posesif padaku. Dia melarangku keluar malam kalau tidak bersamanya. Dan aneh nya aku begitu saja menuruti kemauannya. Hingga teman-temanku heran karena aku jarang ikut berkumpul bersama mereka.
Aku hanya menghabiska waktu malamku dikamar saat digo tidak mengajakku keluar. Entahlah, kenapa aku bisa jadi penurut pada digo. Aku begitu takut kalau dia marah. Satu hari saja dia tidak menghubungiku aku menjadi sangat gelisah dan selalu memikirkan dia.
Tidak ada kata cinta yang terucap, serta tidak ada komitmen yang di tetapkan. Tapi saat onix itu menatap hazel ku, jantung ini selalu berdetak lebih cepat. Saat tubuh tegapnya memelukku selalu memberikan kehangatan dan kenyaman. Saat dia marah, ada rasa takut kehilangan.
Inilah cinta, Yang kata orang rasanya seperti nano-nano. Manis diawal, asem di akhir dan asin karena kebanyakan garam. 'hehehe'
Cinta yang tak di ucapkan tapi bisa dirasakan. Tidak ada status pasti, tapi merasa saling memiliki. Apalagi yang harus di ragukan? Selama itu bisa membuat kita bahagia. Ya jalanin aja.
"Lo nggak asik banget,si."gerutu nulia kepadaku.
"Lo mah sekarang kalau diajakin hangout selalu nggak bisa. Napa sih lo jadi nurut banget sama Digo? Sama bokap lo aja lo suka ngelawan."lanjutnya.
"Lo mah, ada temenya mau tobat gak di dukung sama sekali nul." Kataku padanya.
"Percuma kalo tobatnya nggak dari hati."dia memceramahi.
"Yaelah nul, gaya lo udah kayak ustadzah aja." Cibirku padanya.
Drrttt....drrttt
Kuambil ponselku di saku celana jeansku. Ternyara chat BBM dari digo.
Digo: Ping!
Digo: aku udah di parkiran.
Me: oke, tunggu bentar. Aku kesana.
"Nul, gue duluan ya." Pamitku pada nulia sambil meneguk es jeruknya yang sisa setengah hingga tandas.
"Pergi sono, gak usah balik lagi." Ketusnya padaku.
"Idih siapa juga yang mau balik lagi kesini, balik tuh kerumah." Balasku sambil menjulurkan lidahku.
Sampai aku berlalu meninggalkan kantin dia masih terlihat mengomel tak jelas.
Kuedarkan pandangan di area parkir kampus ini. Sampai kutemukan sosok yang aku cari. Dia masih menggunakan setelan kerjanya. Kemeja putih dan celana kain slimfit hitam. Aku menghampirinya. Dan dia menyambutku dengan senyuman manisnya yang telah menjungkir balikkan duniaku. 'Aseekk' (ala-ala ali)
Dia membantuku memakai helm dan terus menatapku, membuaku jadi sedikit kikuk. Hingga tak sanggup balik menatapnya. Aku masih saja malu ditatap seperti itu.
"Mau kemana?" Tanyaku saat digo sudah melajukan motornya.
"Mau bercinta."jawabnya slengek an.
"Apaan sih gak jelas banget." Kuputar bola mataku jengah.
"Mau di perjelas? Oke, ntar malam aku jelasin." Ucapnya sambil terkekeh.
Setelah menemaninya makan siang. Digo mengantarku pulang. Karna dia masih harus kembali ke kantornya.
Sampai di halaman rumahku aku segera turun. "Hati-hati, jangan ngebut."pesanku padanya.
"Iya, sayang." Balasnya sanbil mendekatkan wajahnya dan mencium bibirku sekilas.
"Aduh, sakit."pekiknya saat aku memukul lengannya.
"Makanya jangan nyosor sembarangan, udah kayak bebek aja. Ntar kalo ada tetangga yang liat kan bisa berabe."aku menatapnya kesal.
"Lain kali nyosornya dikamar aja ya."
Aku membelalakkan mata mendengar ucapannya. Belum sempat aku mengatakan sesuatu, Digo sudah mengegas motornya berlalu dari hadapanku sambil tertawa.
Aku tersenyum, segala sesuatu yang Digo lakukan padaku selalu bisa membuat hatiku menghangat dan mencetak senyum diwajahku kala mengingatnya. Dia datang menjadi obat saat aku meraskan sakit karena kecewa dengan orang tuaku.
______________