Saat itu aku berusia 7 tahun. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Aku hanya merasa dadaku sakit. Sulit bagiku untuk bernafas. Aku batuk dan mengeluarkan darah dari mulut. Demamku sangat tinggi.
Aku digandeng ibu kesana kemari. Ibu tampak pucat dan panik.
Awalnya aku diperiksakan ke klinik dekat rumah. Dokter klinik menyarankan kepada ibu, untuk segera membawaku ke dokter spesialis paru-paru. Menurut diagnosisnya, aku terkena radang paru-paru.
Ibu membawaku ke puskesmas untuk mendapatkan pengobatan sementara hingga ayah bisa mengantarkanku ke rumah sakit, karena ayah sedang bekerja.
Kata dokter, aku harus di rontgen (foto sinar X) untuk mengetahui apakah benar bahwa aku mengidap radang paru-paru. Pihak puskesmas memberi rujukan ke rumah sakit agar hari ini juga aku di rontgen.
Ibu pun langsung memeriksakanku ke rumah sakit karena dua vonis yang sama dijatuhkan padaku, yaitu radang paru-paru.
Rumah sakit yang memiliki dokter spesialis paru-paru cukup jauh dari rumah. Aku dan ibu harus menaiki kendaraan umum sebanyak tiga kali.
Sampai di rumah sakit, aku lemas disandaran ibu sambil menunggu antrian yang panjang dan bertahap.
Mulai dari antri daftar, antri rontgen, menunggu hasil rontgen, antri menunggu pemeriksaan, hingga aku diperiksa dan divonis terkena radang paru-paru.
Pihak rumah sakit menyarankan agar pengobatan dilakukan secara rutin dan kondisiku yang harus dijaga dengan ekstra.
Untuk sementara, ibu merawatku di rumah dengan beberapa obat antibiotik yang diberikan atas resep dokter.
Berbagai cara juga dilakukan oleh ibu dengan menyuruhku minum segala hal yang mungkin bisa menyembuhkan penyakitku, seperti madu, sari kurma, dan obat herbal.
Ibu juga mengadakan pengajian di rumah, dengan tujuan supaya aku didoakan banyak orang agar cepat sembuh.
Ibu sering terlihat menangis kala melihatku kesakitan dan mengeluarkan dahak berupa darah. Dia selalu memelukku untuk menenangkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Namun aku masih saja lemas karena batuk dengan dahak darah yang semakin menjadi, dan demamku semakin tinggi. Aku dilarikan ke rumah sakit. Aku seperti tidak punya harapan hidup.Penyakit ini menyiksaku hingga aku harus terbaring di tempat tidur dengan bantuan infus, oksigen, dan berbagai macam obat yang harus kuterima.
Genap sebulan aku menjadi pasien di rumah sakit khusus penyakit dalam. Radang paru-paru yang aku derita sudah kronis.
Aku sudah pasrah pada hidupku yang tidak akan lama lagi. Aku lebih baik mati daripada orangtuaku harus menanggung beban mempunyai anak yang berpenyakitan, dan mengeluarkan biaya banyak untuk pengobatanku.
Sampai suatu pagi saat aku membuka mata, aku melihat ibu masih tidur di kursi panjang sebelah ranjangku. Ibu masih memakai mukenanya sambil memegang Al Quran.
Aku sengaja tidak membangunkannya. Aku berusaha secara perlahan untuk duduk walaupun badanku masih terasa lemas.
Wajah ibu masih terlihat sembab oleh air mata yang mengering. Sepertinya ibu menangis semalaman.
Aku bangun dan mencoba melangkah membuka jendela kamar yang mengarah pada hutan kecil dibelakang rumah sakit.
Perlahan aku menghirup udara disekelilingku. Dadaku tidak sakit lagi. Rasanya lega bisa bernafas dengan bebas. Aku bisa menghirup udara pagi dengan bebas.
“Mbak, kamu ini masih diinfus kok jalan-jalan turun dari tempat tidur.” Ibu terbangun dan segera melepas mukenanya.
“Dadaku nggak sakit lagi, Bu.” Tanpa berkata apapun, ibu langsung keluar kamar memanggil dokter untuk memeriksa keadaanku.
“Masyallah, sungguh keajaiban. Anak ibu sembuh.” Kata dokter dengan wajah sumringah. Tangis bahagia menetes ke pipi ibu sambil memelukku.
Alhamdulillah berkat doa dan usaha ibu mengobatkanku, sekarang aku sembuh. Doa ibu adalah obat yang paling mujarap dalam hal apapun. Selain dengan melakukan banyak usaha agar doanya terkabul.
Keajaiban itu akan datang jika kita terus berdoa, terus berusaha, serta bersabar.