Drama Tiga

94.6K 3.5K 50
                                    

Aku masih berpikir kalau ini semua terlalu cepat. Tidak, bukan hanya berpikir atau pikiranku. Tapi ini semua emang terlalu cepat, ya kan? Kalian juga pasti akan berpikir begitu jika berada di posisiku.

Empat hari lalu, aku bertemu Damar di kantor ayah untuk pertama kalinya. Lalu dua hari kemudian setelah itu, aku bertemu lagi yang kedua kali dengannya dan bertemu untuk pertama kalinya dengan ayahnya. Dan hari ini, dua hari setelah itu, aku sudah duduk di depan meja rias kamarku, menatap bayangan diriku di kaca, aku yang baru saja membersihkan make up yang menempeli wajahku seharian tadi.

Mengingat aku bukan orang yang suka berdandan, make up ini adalah make up yang menghiasi wajahku untuk pernikahan hari ini. Tepatnya... Pagi tadi. Proses pernikahan itu singkat, ijab kabul, lalu sah menjadi suami-istri. Tapi yang sesuatu adalah resepsinya. Aku dan Damar terpaksa berperan seperti dua orang yang berbahagia, mengumbar senyum dan selalu bersama kesana-kemari. Padahal, aku yakin Damar tidak nyaman terus-terusan bersama denganku. Tapi... Mau bagaimana lagi.

"Gak mandi?" suara Damar terdengar setelah pintu kamar mandi terbuka. Aku meliriknya dari cermin, dia hanya mengenakan celana pendek dan kaus putih. Tangannya sibuk menggosokan handuk yang ia pegang ke rambutnya. Aku merasakan wajahku memanas.

"Sebentar lagi." jawabku. Aku menyisir rambutku, saat melihat Damar duduk di tepi ranjang, aku berdiri menghadapnya. Membuatnya menaikan satu alisnya.

"Hm... Menurutku, kita tidak perlu mempermasalahkan siapa harus tidur dimana, itu sudah terlalu pasaran untuk orang yang menikah dengan cara seperti kita. Jadi, kita tidak perlu meributkan hal itu. Kamu tidur disisi sebelah kanan, aku sebelah kiri. Guling ini batasnya." aku menaruh dua guling untuk pembatas. "Jangan melawti batas. Sepakat?" tanyaku.

Damar masih menaikan sebelah alisnya sambil menatapku sebelum akhirnya ia mengangkat bahu tidak peduli. "Terserah." ucapnya singkat dan langsung membaringkan tubuhnya ke samping, membelakangiku.

Aku menghela napas. Setidaknya, ini awal yang bagus. Kita bisa menjadi teman mungkin.

Aku melangkah menuju kamar mandi, berendam air hangat sepertinya terdengar bagus.

Saat aku keluar dari kamar mandi, Damar sedang duduk bersandar pada kepala ranjang. Fokusnya tertuju panda ponsel miliknya yang berada di tangannya. Aku berjalan menuju sisi ranjang sebelah kiri, duduk dipinggir ranjang sambil mengeringkan rambutku.

"Besok kita pindah ke rumah sendiri yang udah disediain sama papa." ucap Damar tiba-tiba. Aku menghentikan kegiatanku, menatap lantai kamarku. Harus ya aku hanya tinggal berdua dengan Damar? Meninggalkan rumah yang udah selama 23 tahun ini aku tinggalin?

Aku menarik napasku. "Iya." jawabku singkat. Biar bagaimanapun, sekarang aku adalah seorang istri yang harus mengikuti suaminya, begitu, 'kan? Jadi sepertinya wajar kalau aku harus pergi dari rumah ini.

Aku menaruh handuk yang ku pakai untuk mengeringkan rambutku sembarangan, lalu membaringkan tubuhku dan masuk ke dalam selimut. Sedangkan Damar masih sibuk dengan ponselnya.

Ini sudah hampir tengah malam, rasa lelah juga sudah menggragoti tubuhku. Tanpa butuh waktu lama, aku sudah memasuki alam mimpiku, begitu tenang.

***

"Iya, bunda. Saskia tau kok, Saskia bakal berusaha jadi istri yang baik." ucapku pada bunda yang berdiri di hadapanku, ia menggenggam tanganku erat.

"Sering-sering main ke sini ya, sayang." ujar bunda. Ia tampak berat melepasku. Padahal kalau dipikir-pikir, aku, 'kan hanya pindah rumah, tapi kenapa bunda segini gak relanya? Karena aku anak tunggal. Mungkin itu alasannya, atau karena bunda khawatir aku gak bisa baik-baik aja sama Damar? Entahlah.

Aku mengangguk dan memeluk bunda erat sekali lagi. Setelah itu mencium tangannya dan berganti mencium tangan ayah, aku tidak berbicara apapun pada ayah. Apa yang harus kami bicarakan? Menurutku... Tidak ada.

"Tolong jaga Saskia ya, Damar." aku menoleh refleks. Itu ayah? Ayah yang menepuk bahu Damar dan menyuruhnya untuk menjagaku. Ayah yang selalu bertengkar denganku? Ayah yang...

"Sas, ayo." aku beralih pada Damar. Ia menarik tanganku pelan menuju mobil sesudah mengucap salam pada ayah dan bunda.

Aku menatap keluar jendela, memperhatikan kegiatan di luar sana. Entah sejak kapan mobil Damar sudah melaju menjauh dari rumah. Seketika aku merasa rindu rumah, padahal baru beberapa menit aku pergi, bahkan aku belum sampai di rumah yang akan aku tempati bersama Damar. Tapi tetap, aku merasa rindu.

Aku terlalu sibuk dengan pikiranku. Memikirkan bagaimana nantinya kehidupanku dengan Damar, bagaimana nanti aku menjadi seorang istri. Aku tidak mengerti apa-apa.

Tiba-tiba aku teringat perkataan Damar dua hari lalu tentang, aku harus menjaga hatiku. Aku menoleh menatap Damar yang tengah menyetir di sampingku, ia menatap lurus pada jalan di depannya, tidak menoleh sedikitpun padaku.

Aku tidak boleh mencintainya.

Perkataan itu menghentakku, membuatku buru-buru kembali menatap keluar jendela. Entah untu alasan apa setetes airmata turun menelusuri pipiku. Aku terkejut menemukan kenyataan aku menangis.

Menangis untuk apa? Aku... Kenapa?

Aku benar-benar merasa bodoh bertanya pada diriku sendiri. Aku tidak boleh mencintai Damar. Apa itu alasan kenapa aku menangis? Ironis sekali.

================================

Hallo~ aku balik dengan Drama Tiga. Hm... Maaf yaa, tulisanku malah makin jelek, bukan malah makin bagus :(

Untuk Drama Empat, aku usahain gak jelek-jelek amat dan gak terlalu buruk. Maaf yaa duh~

Hm... Terimakasih untuk yang sudah baca dan yang sudah comvofan :)

Juga yang sudah masukin cerita ini ke Reading Listnya, makasih yaa :)

Oke, next Drama aku usahain gak lama, ini juga gal lama kan? xD

Ya udah deh gitu aja... Salam kenal ya ^^

Kalau berkenan, tolong vote dan ketikan sesuatu di kolom komentar, terimakasih lagi ^^

Karena Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang