UNTAIAN FATAMORGANA

170 2 1
                                    

Kawan,
Masih ingatkah ketika kita berada di pelabuhan.
Jauh-jauh mengumpulkan perbekalan.
Mulai dari jiwa, raga, dan sandangan.
Agar bisa sampai ke tujuan.
Atau jangan-jangan bekalmu telah tenggelam.
Tenggelam ditelan oase keduniawian.
Yang kau kira sebuah kesenangan.
Ternyata hanya fatamorgana belaka.
Hanya bayangan air di tengah gurun pasir.

Kawan,
Lupakah kau dengan sebuah pesan.
Yang tersulam dari kasih sayang.
Ketika itu orang tuamu menyampaikan.
"Nak, yang sabar ya. Biar sampai tujuan".
Sebuah pesan dengan penuh harapan.
Dan saat itu kau hanya mengangguk dengan sopan.
Tapi, sekarang sudah tak terbukti lagi.
Dimana tapak kaki yang gagah nan berani?
Dimana doa mentari yang katanya sakti?

Kawan,
Sudah hilangkah memori cerminanmu?
Lenyapkah pahatan para kyaimu?
Ketika itu kau sudah tau.
Inti pesan para guru-gurumu.
Sekarang mana hasil pahatan itu.
Mana hasil mondok bertahun-tahunmu.
Mungkinkah artis tv menggantikan memorimu?
Dan pelawak menghaluskan pahatan itu?
Hanya tersisa hati yg kaku.

Kawan,
Sekarang memang masih pagi.
Dan perang baru dimulai.
Namun senja pasti menghampiri.
Dan pemenang akan duduk di tahta yang tinggi.
Tak inginkah kau menjadi pemenang?
Yang membawa piala emas, perak, dan logam?
Jika kau mau, silahkan.
Tapi dengan sebuah persyaratan.
Tinggalkan kesenangan dan ps an.
Susun kembali harapan yang terbuang!
Rangkai lagi memori cerminan!
Lakukan apa yang guru perintahkan!
Dengan kehendak Allah yang Maha mengabulkan.
Kau akan beruntung dan menang.

(coretan tangan untuk Tholibulilmi yang kehilangan tujuan)

NB: Puisi di atas merupakan puisi yang meraih juara pertama dalam Lomba Sastra se-WNI di Hadramaut, Yaman.

UNTAIAN KATA DI GURUN SAHARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang