"Selamat ulang tahun, Anare" remaja tanggung yang baru memasuki umur 15 tahun itu masih duduk dengan anggun di depan cermin di dalam kamarnya. Mengulas senyum kecil tanda ketidak percayaan bahwa hari ini, umurnya bertambah lagi satu tahun. Yaampun, makin tua aja.
Dirinya masih disana, menatap cermin, memperhatikan dirinya sendiri lewat cermin itu. Sedetik kemudian, cairan bening yang sedari tadi ia tahan, mulai mengepul di kelopak matanya. Pandangannya mulai pudar, hingga akhirnya cairan bening itu mulai berontak keluar dan menetes.
Cairan bening yang disebut air mata masih keluar dari mata kecil miliknya. Semakin lama, semakin deras ia menangis, semakin basah juga pipi chubby nya. Hingga menit ke 10, ia mulai menyeka air matanya. Sesak, hanya itu yang ia rasakan saat ini.
Ada benar nya juga kata pepatah. Jika seseorang menangis, maka yang keluar adalah 1% air mata dan 99% perasaan. Seperti yang ia lakukan saat ini, ia menangis memang hanya untuk menenangkan dirinya.
Ponsel di meja nakasnya bergetar, segera ia bangkit lalu mengambil ponselnya, duduk lagi di depan cermin, membuka notifikasi dan, oh gadis yang malang, ia pikir seseorang dengan sengaja memberi ucapan ulang tahun padanya. Ternyata yang ia harapkan jauh dari kenyataan.
Jam menunjukan pukul 12:27 malam, cukup lama juga ia bengong di depan cermin. Menatap ponselnya lagi, masih berharap ada ucapan ulang tahun dari teman sebayanya. Namun hasilnya nihil, ponselnya tidak mengabulkan rasa harapnya.
Yang tadi itu, bukan dari temannya, bukan juga dari sahabatnya-sebenarnya Anare menganggap seseorang sebagai sahabatnya, tapi Anare tidak tahu apakah ia dianggap sahabat atau tidak. Bukan juga dari keluarganya, atau siapapun.
Iya, ponselnya bergetar bukan karena baru saja ada sms masuk, telepon masuk, atau apapun itu. Yang tadi itu ucapan selamat ulang tahun dari salah satu aplikasi di telepon genggam canggih miliknya.
Untunglah membuat akun di aplikasi itu memerlukan keterangan tanggal lahir plus ucapan selamat ulang tahun. Jadi, paling tidak ada satu yang mengucapkan kepada Anare jam 12 tepat-walaupun terkadang, lebih 3 sampai 5 menit, bahkan bisa sampai 10 menit.
Anare beranjak, berpindah tempat duduk yang tadinya di depan cermin, sekarang di pinggir kasur. Ponsel di tangannya ia letakkan kembali di nakas, seperti biasanya. Menghembuskan nafas panjang, niatnya untuk keluar kamar untuk mengambil minum ia urungkan.
Anare menghempaskan tubuhnya yang mungil ke kasur berukuran large yang di lapisi sprei merah miliknya, Anare ingat, sprei itu pemberian neneknya di tanggal dan bulan yang sama, beda hari dan tahun saja. Saat ia menginjak umur ke 14.
Tanpa sadar, ia menangis lagi,cairan bening yang di bencinya menetes dari pelipis matanya, hatinya mengernyit kesakitan. Rasa sakit itu muncul lagi, membuat rasa sakit yang dulu sempat hilang, kini kembali datang.
Ia sangat sangat merindukan neneknya. Neneknya yang selalu berbuat baik kepadanya, neneknya yang selalu memberi nasihat padanya, neneknya yang tidak pernah lupa tentang ulang tahun Anare, neneknya juga yang tidak pernah lupa memberikan Anare hadiah.
Nenek Anare, Hinda. Genap satu tahun ia pergi menghadap Sang Pencipta. Tepat setelah untuk terakhir kalinya ia bertemu dengan Anare dan memberi Anare hadiah, penyakit lama nya yang juga dimiliki oleh Anare, kambuh dan ia tak sempat tertolong, hingga Tuhan pun memanggilnya ke atas sana.
"Udahlah, Re. Ngapain sih berharap ada yang ngucapin lo, kalo Orang Tua lo sendiri aja selalu lupa sama ulang tahun lo" katanya ngotot, mengingatkan dirinya sendiri yang diakhiri dengan tangannya yang menyeka air mata.
Memori di otaknya masih memutarkan kenangan kenangan di masa lalunya, terlihat jelas kesakitan kesakitan yang ia rasakan sejak dulu hingga sekarang. Rasa rindu pada neneknya, rasa benci kepada orangtua, dan segala perasaan yang tercampur aduk membuat dadanya semakin sesak.