1965
Genap sepekan sudah mereka menyatroni kampung tempat tinggalku. Mereka, segerombolan pria berusia dewasa yang berselimutkan aura kegelapan nan mencekam. Raut wajah mereka secara serempak menunjukan ekspresi dingin tanpa senyuman. Tatapan tajam selalu dilesatkan bak anak panah kepada siapa saja yang ada dihadapan mereka. Sebilah golok tak pernah lepas menggantung di tangan kanan mereka masing-masing.
Aku tak tahu persis identitas satu-persatu dari mereka. Pernah sekali kuajukan pertanyaan perihal mereka kepada bapak. 'Penegak keadilan' dua kata tersebut yang terucap dari bibir beliau-sebagai jawaban atas pertanyaanku. Jawaban yang sangat membingungkan bagi anak ingusan sepertiku, apalagi setelah aku mengetahui perbuatan brutal yang telah mereka lakukan.
Sebenarnya, aku masih mempunyai banyak pertanyaan yang mengganjal dalam otak. Namun, tatapan sendu bapak kala itu seolah mencegahku untuk mencari tahu lebih dalam tentang jati diri mereka.
Hari ini, matahari berpendar cerah. Hujan semalam seakan menghapus jejak-jejak kebrutalan mereka. Semilir angin berembus menggoyangkan dedaunan, hingga menciptakan alunan gemerisik yang merdu di telinga. Burung-burung berkicau seakan tak peduli dengan keadaan yang tengah terjadi. Kurasakan perbedaan yang signifikan seminggu belakangan, tepatnya setelah kehadiran mereka di kampungku. Bapak yang setiap pagi berangkat ke sawah, sekarang lebih memilih berjaga di pos depan kampung.
Aku dan kawan-kawanku sedang bermain di pekarangan salah seorang tetangga, ketika tiba-tiba mereka datang dengan ciri khasnya berteriak lantang menyuruh seluruh penduduk untuk segera masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat. Mendapatkan komando semacam itu, bukan hanya aku dan kawan-kawanku, akan tetapi semua penduduk termasuk bapak yang sebelumnya berada di luar bergegas berlari terbirit-birit menerobos masuk ke dalam rumah.
Dalam hatiku timbul pertanyaan, setelah pak Taji, siapa lagi yang akan menjadi korban keadilan mereka. Kemarin, mereka melenyapkan pak Taji secara sadis, kemudian menguburkan mayatnya secara asal. Setidaknya, itulah isi percakapan bapak dan ibu yang tak sengaja kudengar dari balik dinding kamarku.
"Cepat keluar." Ditengah renunganku, kudengar hardikan salah seorang dari mereka. Menurut perkiraanku jaraknya tak terlampau jauh, sebab suaranya merambat dengan jelas di udara sampai menyentuh lembut gendang telingaku.
"Saya mohon, ampuni saya. Saya ini hanya orang bodoh, saya bahkan tidak pernah bersekolah. Saya sama sekali tidak mengerti apa yang kalian maksudkan." Suara itu milik pak Tukiman- ayah dari sahabatku, Jono. Jangan-jangan dia yang terpilih menjadi korban keadilan selanjutnya. Oh tidak, aku tahu pak Tukiman itu orang yang baik, aku telah mengenalnya sejak aku masih kanak-kanak. Karena dulu aku sering bermain dengan Jono di rumahnya. Sayup-sayup kudengar pula isakan Jono dan Bu Kasmi, ibunya. Mereka berdua pastilah panik dan ketakutan. Aku pun akan merasakan hal yang sama apabila aku ada di posisi mereka berdua.
"Diam. Nama dan cap jempolmu telah tercantum jelas dalam daftar para komunis. Kau masih ingin menyangkalnya, huh."
"Saya sungguh tak mengerti, saat itu ada seorang pria yang mendatangi saya. Dia mengatakan akan memberikan satu liter beras pada saya. Dia bertanya siapa nama saya, kemudian saya disuruh untuk memberikan cap jempol saya sebagai syaratnya."
Apa itu komunis?. Aku terseret dalam lembah percakapan membingungkan antara pak Tukiman dan mereka. Bola mataku tak henti berlari ke sana ke mari di saat jiwaku menyelam jauh ke dalam pikiranku sendiri untuk mencoba menerawang arti dari percakapan tersebut.
"Alasan, ayo cepat seret dia ke belakang rumah."
Kudengar suara pak Tukiman yang bercampur dengan tangisan-berteriak meronta-ronta meminta pengampunan. Begitu pun dengan Jono dan ibunya yang menjerit histeris di sela-sela tangisan. Mungkin keluarga itu sadar bahwa sebentar lagi kejadian yang buruk akan segera menimpa sang kepala keluarga.
Tak terelakan, selang beberapa saat, suara pak Tukiman berubah menjadi pekikan penuh kesakitan. Bersamaan dengan itu, kudengar suara layaknya seorang yang sedang menebas batang pohon pisang berulang-ulang.
Tubuhku terasa berat seketika. Kakiku melemas, terpuruk jatuh menyentuh tanah. Tanganku bergetar hebat. Gigi-gigiku saling bergelatuk. Otakku terus membayangkan hal mengerikan yang mereka lakukan pada Pak Tukiman. Aku meringkuk menutup kedua telingaku. Mereka membunuh sesamanya bak membunuh seekor lalat. Dan perbuatan keji itu dilakukan secara terang-terangan. Tanpa sungkan, tanpa belas kasihan.
Hentikan!.
Tanganku beralih memegang rongga dadaku yang terasa sesak. Napasku mulai tersengal akibat paru-paruku tak dapat lagi memasok oksigen atas ketidakmampuan kinerja otakku. Tubuhku ambruk-tersungkur memeluk tanah.
Suara-suara mengerikan itu sudah tak terdengar lagi. Mungkinkah sudah berakhir?. Air mataku meluber dengan sendirinya. Oh, begitu malang nasib keluarga sahabatku.
Separuh kesadaranku hampir mengabur bersamaan dengan gelap yang melingkupi. Kurasakan kedua kelopak mataku terasa semakin berat.
Besok, akankah mereka datang lagi?. Entahlah.
Sebelum mataku benar-benar terpejam dan kesadaran mencampakanku sepenuhnya, hanya satu yang kuharapkan. Nama dan cap jempol bapak tak pernah bercokol dalam daftar para komunis. Yang hingga detik ini aku belum mengetahui makna di balik kata komunis yang sesungguhnya.
=Berakhir=
***
Kisah ini saya tulis berdasarkan kisah yang diceritakan oleh nenek saya, dan Alhamdulillah beliau masih diberi umur hingga saat kini. Mungkin beliau adalah satu diantara sekian saksi dari sejarah kelam bangsa ini.
Tidak ada maksud tuk mengorek luka lama. Alangkah baiknya jikalau sejarah kelam tersebut dijadikan pembelajaran tuk generasi yang akan datang.
"Jas merah : jangan sekali-kali melupakan sejarah" -Soekarno-
#Melawan lupa!.
K.U.R.N
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejarah Kelam : Pembantaian
Short StoryNegara tercintaku ini menyimpan banyak sejarah kelam. #Melawan lupa!.