Setelah lelah berlari-larian dengan Anin, akhirnya Zea memutuskan untuk menonton film bersama dengan Anin.Mereka berdua menonton film di kamar Anin dengan cahaya yang gelap karena untuk menghidupkan suasana berhubung film itu bergenre horor.
Terkadang Zea usil menakut-nakuti Anin dengan rambut panjangnya. Sedangkan Anin hanya pasrah melihat tingkah saudaranya yang usil itu.
Baru beberapa menit film diputar, Anin sudah ketiduran. Zea pun akhirnya memilih untuk menonton film sendirian.
Ketika Zea sedang keasyikan melihat adegan kejar-kejaran di film itu, tiba-tiba ada seseorang mengetuk pintu.
Tok... Tok... Tok....
"Nin, lo aja yang bukain pintu." ucap Zea tanpa mengalihkan pandangannya dari film itu.
Sebuah kaki tepat mengenai wajah Zea. Tak lain tak bukan, itu adalah kaki Anin yang sedang tertidur.
"Kampret!" umpat Zea.
Tok ... Tok ... Tok ...
"Tuh orang udah tau orang rumahnya nggak mau bukain, tapi nggak pergi-pergi." kesal Zea.
Dengan gerakan malas, Zea pun berjalan keluar kamar untuk membukakan pintu.
"Ada ap... Ayah?" Zea terkejut melihat sosok Reno yang berada tepat di hadapannya.
Reno menghembuskan napas dengan kesal.
"Harus berapa kali ayah menasihatimu untuk pulang ke rumah, Zea?!" gertak Reno.
Zea memutar bola matanya yang seolah tidak menghiraukan keberadaan ayahnya.
"Astaga, Zea. Bisakah kamu sedikit saja menghargai pengorbanan ayah?" tanya Reno frustasi.
"Mau nanya dong, Pak. Ayah saya itu siapa ya? Kok aku lupa. Hehe." ucap Zea sambil cengengesan.
Reno masih bisa bersabar menghadapi anak semata wayangnya ini. Karena hanya dialah harapan hidup Reno.
"Namanya Reno, Zea. Ini ayah kamu," ucap Reno sambil menunjuk dirinya sendiri.
Zea memandang ayahnya dari atas sampai bawah. Setelah itu dia menggelengkan kepalanya.
"Oh jadi ini ya, pembunuh bunda Zea. Kok baru nongol sih, Pak?" ucap Zea sinis.
Amarah Reno sudah tidak bisa dikendalikan. Tangan lebarnya langsung bergerak menuju ke pipi tembem Zea. Ya, Zea ditampar Reno.
"Ayah nggak mau kamu percaya gossip. Ayo ikut ayah!" ketus Reno sambil menarik tangan Zea.
Reno memegang erat tangan Zea menuju ke mobil. Zea tak bisa mengelak. Semakin Zea mengelak, maka semakin erat pula genggaman Reno.
"Ayah jahat!" teriak Zea di dalam mobil.
Reno tidak menghiraukan perkataan Zea dan lebih memilih fokus menyetir mobil.
"Ayah!" teriak Zea lagi.
Reno akhirnya mau menengok ke arah Zea. Kini wajah Reno dihiasi senyuman karena Zea memanggilnya dengan sebutan 'ayah'.
"Ada apa sayang?" tanya Reno lembut.
Zea geram melihat tingkah ayahnya yang labil.
"Ayah ngapain ngurusin aku sih?! Aku udah besar. Nggak perlu posesif sama aku, Yah!" ucap Zea dengan nada lantang.
"Ayah sayang sama kamu, Zea." ucap Reno.
Hati Zea sedikit meleleh mendengar perkataan ayahnya. Tapi ketika mengingat kematian bundanya, hatinya serasa keras, sehingga tidak mau memaafkan kesalahan ayahnya.
"Aku mau turun." ujar Zea.
Reno mengabaikan perkataan Zea.
"Pak Reno, aku mau turun." ketus Zea.
Reno menghentikan mobilnya dengan pelan. Zea sudah mau keluar, tetapi tangannya dicekal Reno.
"Kamu boleh keluar, asalkan jelasin ke ayah soal surat ini." ucap Reno sambil menyodorkan surat panggilan orang tua dari guru BK.
Zea membaca sekilas surat itu. Lalu dia tertawa.
"Ah elah. Kan gue anak muda, Pak. Refreshing sambil minum-minum mah udah biasa." ucap Zea santai.
PLAK!
Tamparan kembali mengenai pipi Zea. Zea mendelik dan segera keluar dari mobil. Reno mencekal tangan Zea lagi, tapi kini Zea bisa menangkisnya.
"Zea nggak mau pulang!" teriak Zea.
"Dengarkan ayah dulu, Zea!" gertak Reno.
Zea mengalah dan memutuskan mendengarkan ucapan Reno. Entah kebetulan atau memang takdir, Raikan lewat di jalan itu.
"Kamu ngapain aja sama cowok yang bernama Raikan itu? Kok kamu mau-mau aja tidur di rumahnya?" tanya Reno.
"Raikan!" teriak Zea memanggil Raikan yang berada di seberang jalan.
Raikan menengok ke sumber suara. Walaupun sebenarnya agak sebal melihat cewek itu, tapi Raikan tetap menemui Zea.
Mendengar nama cowok yang baru disebut, Reno langsung keluar mobil dan memandang Raikan.
"Pak Reno, kenalin ini Raikan. Raikan kenalin ini Pak Reno." ucap Zea.
"Salam kenal, Pak." sapa Raikan sambil menundukkan kepala.
"Lo harus bersikap seperti pacar gue, please." bisik Zea ke telinga Raikan.
Reno curiga melihat mereka berbisik-bisik sambil sesekali melirik ke arah Reno.
"Maaf nak Raikan, tolong jangan sakiti Zea, ya." ucap Reno.
"Lo harus percaya sama gue kalo dia itu jahat." bisik Zea ke telinga Raikan lagi.
Raikan bingung melihat tingkah dua orang di hadapannya ini.
"Iya, Pak. Tapi Zea itu sering nakal di sekolah. Jadi saya harus ngasih pelajaran ke dia." ucap Raikan.
Zea sebal melihat Raikan yang sama sekali tidak menghiraukan bisikan dirinya.
"Oh gitu ya, Nak. Kamu bisa menghukum dia tapi jangan menyuruhnya tidur di rumahmu. Dia itu perempuan." ucap Reno.
Zea mulai kehabisan ide untuk lepas dari genggaman ayahnya.
"Itu cuma salah paham, Pak." ucap Raikan.
Tiba-tiba Zea mendapat ide yang sangat pas di tempat ini, maksudnya jalan raya.
"Tolong! Dia penjahat!" teriak Zea menunjuk ke arah ayahnya dan menarik Raikan untuk mengikutinya.
Otomatis orang-orang sekitar langsung berdatangan dan memukul Reno. Raikan kebingungan.
Awalnya Zea puas melihat ayahnya kesakitan, tapi lama kelamaan Zea merasa durhaka terhadap ayahnya. Apalagi kini ayahnya pingsan dengan berlumuran darah bekas pukulan warga.
Zea berlari ke arah Reno dan berteriak, "AYAH!"
"Ayah?" gumam Raikan kebingungan.
*
1) Kali ini aku ngga mau banyak cuap-cuap. Lagi unmood. Ini bagiannya lailatuliz. Krisan dan vote aku tunggu.
2) Aku ngakak baca judul bab ini, lol hahah....
3) Selamat membaca^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is Blind
Teen FictionBagaimana jika seorang bad girl menyukai seorang pria tampan pemegang buku kasus, karena semakin hari semakin dekat? Tapi, bagaimana jika Zea justru menyesal pernah mencintai seorang pria yang bahkan tidak menganggapnya teman? Raikan, pria pertama y...