Ketika Hujan Tak Jadi Turun
Aku adalah Zaqia. Gadis berkacamata yang amat menyukai hujan. Tubuhku kecil, tapi aku mempunyai cinta yang besar. Alasan itu yang membuat Gio memintaku untuk menjadi kekasihnya lagi. Gio adalah mantan pacarku semasa SMK dulu. Dia adalah laki-laki dengan postur tubuh tinggi yang memiliki banyak kejutan. Aku menyukai gaya rambutnya yang selalu rapih. Meskipun terkadang dia mudah marah, kesabaranku bisa mengalahkan amarahnya.
Seminggu yang lalu, hampir setiap hari dia mengirimku sms. Entah itu ucapan selamat pagi, alarm makan, terkadang juga mengingatkan waktu shalat. Gio masih sama seperti tiga tahun yang lalu. Tapi hari itu, aku rasa ada yang berbeda dengan dirinya. Aku merasa asing dengan situasi yang seperti ini. Tanpa basa-basi dia memintaku untuk kembali melukis kertas kehidupannya. Aku masih merasa ragu. Takut. Bingung. Bahagia. Ya, perasaan-perasaan itu setia menyapaku seketika. Aku butuh waktu untuk berpikir. Harus ada kesiapan ketika memutuskan untuk kembali dengan oran yang pernah membuat luka. Esoknya, sepulang dari kampus, aku memberikan jawaban tentang hal itu. Aku yakin kali ini kisahku dengan Gio tak akan berakhir dengan air mata lagi.
***
Kita sama-sama memiliki kesibukan masing-masing. Aku di Bandung sibuk dengan kuliahku sedangkan Gio di Tasik disibukan dengan pekerjaannya. Hal itu membuat komunikasi diantara kita terputus. Jarak bukan masalah dalam hubungan kami. Tapi, waktu sering kali tidak mau kami gunakan untuk sekedar saling menyapa atau menanyakan kabar.
Aku yang lebih sering memberi kabar dibanding Gio. Hampir setiap aku mengirimnya pesan, tak ada satu balasan pun. Malah aku yang sering ketiduran karena menunggu balasan dari Gio. Gio mulai menjauh dariku. Aku bisa merasakannya. Karena perbedaan itu terlihat sangat jelas.
***
Malam itu aku mencoba mengirim Gio sms. Menanyakan tentang keberadaanku apakah masih di hatinya atau tidak. Balasannya mencengangkan.
Gio : Aku bingung dengan diriku, aku merasa ada yang berbeda dengan aku yang sekarang, kamu pun antara ada dan tiada.
Zaqia : Aku tahu itu, Gio. Lebih baik aku tidak ada saja. Aku pikir itu lebih baik.
Gio : Kenapa Qia? Jangan seperti itu. Maaf kalau aku sering kali tidak membalas pesan darimu. Jujur, aku malas membalasnya.
Zaqia : Itu lebih baik Gio. Aku tidak ingin menjadi orang yang seperti itu. Aku cukup tahu sekarang. Untuk sekedar membalas ucapan selamat pagi saja kau malas?
Mataku berkaca-kaca, aku tidak boleh menangis. Aku terus menggigit bibirku agar air mata tidak keluar. Saat itu di kamarku sedang banyak orang. Kebiasaan setiap malam mereka selalu bertamu untuk mengerjakan tugas bersama-sama. Gemericik hujan menjadi penenang. Suaranya bisa mengalihkan pikiranku setelah membaca pesan dari Gio.
***
Hubunganku dengan Gio sudah berjalan selama tiga minggu. Tapi, Gio tetap seperti itu. Aku kelelahan sendiri memperjuangkan perasaanku agar bisa tinggal dengan tenang di rumah hatinya. Aku dapat kabar bahwa Gio sakit. Bukan, kabar itu bukan dari Gio. Tapi, dari seorang wanita yang sering muncul di kronologi akun facebook Gio. Bahkan Gio pernah memasang foto wanita itu. Dia juga sempat menjelaskan tentang kebenaran antara Gio dengannya. Tapi, aku tidak terlalu memperdulikan wanita itu. Yakin, Gio tak akan bermain di belakangku.
***
Aku kehabisan energi untuk berusaha tinggal di rumah hatinya Gio. Sendiri lagi ku rasa akan lebih baik. Aku lebih nyaman menikmati hujan sendirian daripada menikmati keindahan pelangi dengan orang yang jelas-jelas hatinya bukan untukku. Itu akan terasa lebih buruk dari gelapnya malam yang ditemani petir.
Wanita itu menjadi alasan mengapa aku yang mengalah. Aku memilih diam. Gio tidak boleh mengetahui hal ini. Itulah mengapa aku memilih "Kesibukan masing-masing" yang menjadi alasan hubungan kita menjadi retak. Setelah aku putus dengan Gio, aku malah menjadi dekat dengan wanita yang terang-terangan menjelaskan perasaannya kepada Gio. Hatiku menolak hal itu. Karena dia telah berhasil mengambil posisiku di hatinya Gio.
***
Beberapa hari setelah putus, iseng-iseng aku membuka akun twitternya. Akun Fb sudah berhasil juga diambil oleh perempuan itu. Satu-satunya yang tertinggal hanyalah akun twitter. Ada satu link di tweetnya. Kursor laptop putihku mengarah ke arah link itu. Terbuka blog yang berjudul Aku, Perasaanmu dan Perasaannya. Tanggal itu bertepatan dengan satu hari sebelum aku memutuskan untuk kembali kepada Gio.
Mataku memperhatikan satu demi satu huruf yang dirangkai menjadi kata yang disambungkan menjadi sebuah kalimat. Dengan jelas aku menemukannya, tertulis bahwa perasaannya bukan untukku. Tetapi untuk wanita itu. Apa yang sudah ditulis tidak bisa ditarik kembali. Begitu pun dengan kata-kata yang dikeluarkan tanpa sengaja melalui lisan. Hatiku remuk. Entah menjadi berapa bagian. Kepingan-kepingannya begitu banyak. Mungkin sakit yang ku rasakan sangat terlalu.
Aku membenci hari itu. Membenci kebodohanku. Membenci diriku sendiri yang dengan mudahnya membiarkan orang sepertinya membuka hati yang sudah ku tutup rapat-rapat. Bahkan tak ada celah sedikit pun. Penjelasan apa lagi yang harus aku dengar? Semuanya sudah sangat jelas. Permainan mereka rapih, bermain dengan asyiknya, dengan keegoisan masing-masing. Jahat!!! Mereka terlalu jahat!!!
***
Harapan berdiri di bawah hujan yang selalu datangnya bersamaan, menikmatinya bersama dia—orang yang mengenalkanku pada hujan—tapi hari ini harapan itu aku musnahkan. Hujan itu tak akan pernah turun bersama kebahagiaan. Hujan itu tak akan pernah turun untuk kita yang dipertemukan lewat hujan. Hujan dengan penuh cinta itu tak jadi turun. Hujan itu tak akan pernah ada—selamanya—karena aku tak menanti turunnya lagi. Keputusanku sudah bulat. Aku akan pergi, menjauh, menghapusmu, dan menggantikan harapan turunnya hujan itu dengan pelangi.
Bojongsoang, 12 Maret 2016 @ebi_novianti
,8:P8
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hujan Tak jadi Turun
RomanceBagiku hujan adalah tentang kebahagiaan dan kesedihan. Terima kasih untuk mereka yang membuatku menangis dibawah turunnya hujan, terima kasih untuk mereka yang membuatku tersenyum menyambut turunnya hujan.