Eleven

1.8K 229 16
                                    

Happy Reading
.
.

Dian langsung naik pitam. Ingin rasanya ia memukul wajah si badboy itu. Tapi, ia mengurungkan niatnya.

"Terus Rahmat dimana?"

"Cari aja sendiri." Dengan santainya, Rizal langsung pergi dari hadapan Dian.

Dian khawatir dengan Rahmat. Ia juga bingung dimana keberadaan Rahmat sekarang.

"Bisa-bisa gue jadi gila!" Serunya sendiri.

Saat itu juga, Gani berlalu di hadapan Dian.

"Gani!"

Yang dipanggil berhanti lalu menoleh ke sumber suara, "kenapa?"

Dian langsung mendekati Gani.

"Rahmat, Gan.."

Raut wajah Gani menjadi bingung,"Rahmat kenapa?"

"Rahmat udah diapa-apain sama Rizal."

Gani terdiam. "Terus mereka dimana?"

"Gue gak tau. Rizal gak ngasih tau apa-apa. Please bantuin gue nyari Rahmat,"

Gani mendecak kesal,"oke, tapi kenapa mesti gue?"

Dian menjawab dengan panjang lebar, "elo 'kan ketua kelas, Gan. Ketua kelas harus bertanggung jawab dengan anggotanya. Rahmat 'kan bagian dari kelas, jadi ya gitu. Kalau lo gak mau bantuin, berarti lo gak cocok jadi ketua kelas. Lo cocoknya jadi-"

Gani kesal dengan ocehan Dian sehingga dia membekap mulut si fujoshi itu.

"Iya-iya. Gue bantuin kok. Lo gak usah banyak bac*t."

Dian yang mendengarnya senang sekaligus nyengir. Tak lupa, ia menyingkarkan tangan Gani dari mulutnya. "Gan, lo emang bisa diandalkan. Lo layak jadi pangeran buat Rahmat."

Gani memutar bola matanya,

Ini anak malah mengkhayal!

Tanpa aba-aba Gani menarik lengan Dian. "Ish, gak usah nyeret gue, nyet! Gue bisa jalan sendiri,"

Mereka berdua naik di atas motor, lalu menyalakan mesin.

"Bye the way, kita mau kemana sekarang? Kita 'kan gak tau Rahmat dimana,"

Dian menepuk jidatnya, "oh, iya! Gue kok daritadi gak kepikiran gini, sih."

Gani pun berpikir sejenak, "kita langsung ke rumah Rizal. Gue tau alamatnya kok."

Mereka pun melaju, menuju alamat rumah Rizal.

. . . . . . . . . .

Di situasi lain, Rahmat dikurung di sebuah gudang. Dari kemarin hanya ada satu nama yang ia sebut, Gani.

Saat ini kondisi Rahmat sangat kacau. Baju yang ia pakai, sudah ditanggalkan sebelumnya oleh Rizal. Badannya penuh sayatan silet. Tipis memang, namun cukup membuat Rahmat kesakitan.

Ia berharap, ada orang yang menolongnya. Atau lebih tepatnya lagi, Gani yang menolongnya.

Gani, tolongin gue.

Rahmat memejamkan matanya, menangis sedih di dalam sana.

Tiba-tiba pintu gudang terbuka. Terlihat sosok yang ia anggap baik, walaupun ia sudah tau kalau sosok itu adalah badboy.

"Gue kangen banget sama lo,"

Mendengar suaranya, membuat Rahmat mengingat kembali saat-saat orang itu menyayat kulitnya dengan silet.

"Gue kangen, nyayat kulit lo yang begitu halus dan lembut,"

Sedetik kemudian, ia melangkahkan kakinya pelan sambil tertawa licik. Saat itu juga Rahmat ingin berteriak namun suaranya tertahan.

"Saatnya kita lanjutkan kesenangan ini,"

Rahmat hanya bisa diam, mendapat sayatan halus dari silet yang tengah menari-nari di permukaan kulitnya.

"Ri-rizal..gu-e..mo-hon..berhenti,"

Suara parau milik Rahmat terdengar sangat memprihatinkan. Namun, Rizal tetap saja meneruskan aktivitasnya itu.

Gani, gue mohon tolongin gue!

. . . . . . . . . .

Gani dan Dian sudah sampai di rumah Rizal. Mereka berdua sudah berkali-kali mengetuk pintu rumahnya, namun tidak ada yang menanggapi.

"Gan, firasat gue gak enak!" Bisik Dian. Saat itu Gani juga merasakan hal itu.

"Ayo kita berpencar. Kalau ada yang mencurigakan lo kasih tau gue." Usul Gani dan langsung disetujui Dian.

Mereka pun pergi dengan arah yang beda. Belum sempat Gani melangkah, tiba-tiba Dian menarik bajunya.

"Gan, gue jadi takut. Gue ikut sama lo aja, deh. Ngerik sendiri gue kalau ketemu sama si badboy itu!"

"Di situasi gini, lo masih aja labil,"

Dian hanya menggigit bibir bawahnya. Dan mereka pun mulai melangkah.

Cukup jauh mereka berjalan di sekitar rumah Rizal. Tidak ada yang mencurigakan. Gani tampak frustasi. Dian masih saja merasakan firasat buruknya. Saat itu juga Dian melihat sebuah gudang kumuh di dekat pepohonan.

"Gan, coba lo liat." Gani mengikuti arah yang ditunjuk Dian, lalu ia melihat sebuah gudang.

"Ayo kita periksa."

Gani dan Dian langsung berlari ke arah gudang tanpa ada strategi.

Brak

Pintu gudang terbuka. Hal pertama yang Gani dan Dian lihat adalah tubuh Rahmat yang terbaring lemah serta bekas sayatan yang begitu banyak dan masih terlihat baru.

Dian terdiam, tubuhnya bergetar.

Apa ini salah gue?

Matanya mulai berair. Kakinya mulai melemas, tak bisa menahan berat tubuhnya sendiri.

Ini salah gue. Coba aja gue gak ada niat aneh-aneh sama mereka

Detik itu juga, Dian terduduk ditempat. Wajahnya terlihat sangat bersalah,"ini pasti karena gue, Rahmat jadi begini,"

Gani juga masih terpengarah melihat kondisi Rahmat. Ia juga sempat menanggapi pernyataan dari Dian, "bukan salah lo, Di. Ini salah gue. Coba aja gue selalu ada di samping Rahmat, ini gak bakal terjadi."

Akhirnya, Dian terisak pelan. Gani hanya diam, dalam keterpurukan.

"Hahahaha..!"

Suara tawa licik terdengar dari sudut gudang. Di sudut itu cukup gelap, sehingga orang yang tertawa tadi tidak terlihat.

"Itu bukan salah kalian. Itu salah Rahmat sendiri. Kalian tau? Karena dia sudah salah memilih!"

-Tbc-

Fujoshi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang