Satu

49 7 1
                                    

"Mala.. ambilkan ibu air disumur desa."

Asap mengepul diruangan berdinding bambu beralas tanah yang sudah terlihat hitam disetiap sudutnya. Seorang wanita paruh baya berjongkok di depan tungku kayu dengan ditangannya terdapat bambu berbentuk tabung yang bolong dikedua alasnya, meniupkan angin melalui bambu tersebut agar api dalam tungku tetap stabil.

"Baik bu..." Mala, gadis pujaan satu desa. Mengambil sebuah ember dan gayung yang terbuat dari batok kelapa disudut dapur.

Mala melangkahkan telapak kakinya keluar tak beralas. Hanya kain yang membalut kaki jenjangnya juga kebaya kuning bekas sang ibu itu melekat pada tubuhnya dengan pas. Memang, seburuk apapun pakaian yang Nirmala kenakan, pasti akan bagus hasilnya.

Kaki kecil itu terus berjalan, menyusuri jalan menuju ke sumur desa yang jauh. Di bulan Juli seperti ini, sudah suatu kebiasaan warga mengambil air disumur desa yang keramat itu, sumur-sumur mereka kering namun sumur itu tetap sejahtera entah dari mana datangnya mata air itu. Itulah sebabnya, tak jarang sumur keramat tak hanya jadi sumber air namun juga sebagai sumber rezeki yang tak kasatmata sehingga sangat banyak terlihat sesajen disekitar sumur ketika pagi datang.

Mala melewati jalan setapak, pematang sawah, dan juga sungai-sungai mengering yang penuh bebatuan besar. Demi seember air layak minum, warga sudah rela berlelahan. Haus dahaga Mala abaikan di bawah teriknya sinar matahari. Mala sudah biasa, dia orang kasta rendah yang tak bisa meminta ataupun menyuruh orang lain mengambilkan air untuk keluarganya. Untuk makan saja sulit, maka uang dari mana yang ia dapat untuk membayar orang?

Akhirnya, Mala sampai dengan telapak kaki dan wajah memerah, keringat mengucur deras di dahinya. Ini baru pergi dengan ember kosong, belum pulang dengan ember terisi penuh air.

Didepan Mala ada sekitar 10 orang lain yang tengah mengantri. Dibelakangnya sudah ada 4 orang lain. Mungkin Mala akan sampai dirumah petang nanti.

Langit mulai menjingga, matahari masih sebulat biasanya namun hampir bersembunyi dibalik bukit-bukit. Mala masih setengah perjalanan menuju rumah sambil membawa seember air sumur. Keringat bercucuran dari dahinya yang mulus.

"Sini kubantu." Seorang lelaki sebanyanya datang dari belakang, mengambil ember air dari tangan Mala.

"Tidak, Her. Aku saja." Mala berusaha mengambil kembali embernya, namun Heri malah menjauhi ember itu dari Mala.

"Kau kira aku tega membiarkan kamu bawa beban sebegini berat sendiri, Mal? Tentu tidak! Sudahlah, kau kan sahabatku." Heri meneruskan jalannya, disusul Mala disampingnya.

"Aku tidak enak, Her. Bagaimana jika warga lain lihat? Kau kan orang kaya, mana mungkin orang miskin macam aku ini membiarkan kamu membawa bawaanku." Mala kembali berusaha mengambil embernya.

"Mala... Lalu bagaimana jika ada yang melihat aku membiarkan seorang gadis membawa seember air yang berat sedangkan aku berjalan santai disampingnya? Nanti gadis-gadis lain pasti langsung menjauhiku, dan langsung luntur lah pamor lelaki sejatiku." Heri tertawa setelahnya. Membuat Mala mengembangkan senyum manisnya lalu kembali berjalan.

"Oh ya, Her, bagaimana gadis yang dijodohkan ayahmu kemarin? Cantik kah?" Mala menatap Heri, namun Heri malah memajukan bibirnya dan membuat Mala tak dapat menahan tawanya melihat raut wajah itu.

"Kau pikir ini lucu? Hhh~" Heri menghembuskan napasnya berat. "Dia cantik, tapi cantikan kamu. Kau tahu? Di pertemuan pertama saja ia sudah meminta 10 kilo emas hanya untuk pertunangan. Gadis tidak waras."

"Betulkah? Tapi keluargamu pasti punya berkali lipat dari yang ia pinta kan? Apakah ayahmu..." Heri menjabat tangan Mala ketika ada saluran irigasi yang cukup lebar. Mala melompat dengan selamat lalu melanjutkan kalimatnya yang terpotong. "Akan memberikannya?"

"Kurasa tidak. Kalau kulihat ayah tidak begitu suka dengan gadis itu. Mereka memang kaya raya seperti kami, tapi tingkahnya keterlaluan, sudah merasa seperti putri raja saja. Ia bahkan tak mau melepas alas kakinya kedalam rumah, katanya ia hanya waspada agar kakinya tidak kotor. Dan kau tahu? Hahaha, dia malah tersungkur di depan pintu ketika pertemuan berakhir karena alas kakinya yang tinggi mirip punya londo itu." Mala dan Heri tertawa bersama. Membayangkan bagaimana sang 'tuan putri' jatuh.

"Gadis malang." Ucap Mala.

"Hei, dia pantas mendapatkan itu. Dia begitu angkuh dan sombong bukan? Andai saja ada calonku yang sepertimu. Cantik luar dan juga dalam, kau begitu baik dan rendah hati Mala." Heri menatap Mala dengan seksama. Mala dengan kesederhanaannya, dengan kebaikannya, dengan mata besar juga bibir yang memerah alami dibalut dengan kulit kuning langsat yang begitu bersih. Menurut Heri, Mala itu sempurna.

"Seperti aku? Haha, kau bercanda."

"Terserahlah jika kau mengelak."

Mereka terus berjalan sambil mengobrol, hingga tak sadar bahwa mereka akan segera sampai. Langit yang telah menguning menandakan maghrib akan datang membuat Mala mempercepat langkahnya hingga tersisa beberapa meter jarak dari rumahnya. Mala berhenti sejenak mengambil ember berisi airnya juga mengucapkan terimakasih pada Heri.

"Terimakasih Her, kau begitu baik padaku. Sekarang lebih baik kau pulang, hari sudah petang. Aku duluan ya, permisi." Mala berbalik dan kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti tadi.

Heri masih terdiam ditempatnya, menatap Mala yang tengah berjalan menjauhinya. Gadis impiannya yang begitu cantik meski dilihat dari belakang.

"Aku tak benar-benar menginginkan wanita sepertimu, Mal. Karena nyatanya, aku menginginkanmu." Ucap Heri pelan, lalu berbalik pulang ke rumah besarnya.

***
i'm not a good writer. But i'll try my best. Thankyou 🖤

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NirmalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang