Desa Sonville, Hutan Argonne, Perancis
20 Januari 1918"Florian, kau sebaiknya segera memimpin pasukanmu ke sana. Jika gerombolan makhluk itu berhasil ke sini, kita semua akan mati!"
Untuk beberapa menit aku hanya berdiri terdiam, membeku seperti patung. Aku belum sempat mencerna semuanya ini ke dalam pikiranku dan kolonel sudah memberiku sebuah perintah. Seorang tentara memang tidak boleh banyak berpikir, namun sepertinya semua orang akan memiliki reaksi yang sama denganku apabila mereka berhadapan dengan mayat hidup.
"Baiklah, kolonel. Kalian, bawa senjata kalian dan ikut denganku. Yang terluka beristirahatlah saja di sini."
Aku keluar dari toko roti dan berjalan ke arah barat desa ini. Aku juga memerintahkan sepuluh orang yang siap tempur dari batalyon kami untuk membantuku. Ekspresi mereka terlihat gugup. Sambil memegangi senapan, mereka berlari pelan menyusul di belakangku.
"Lennart, kau ingin bertempur bukan?"
Di perempatan jalan Lennart mengawasiku dari tadi. Ia bersandar pada dinding sebuah gedung pemerintah desa dan matanya tertuju pada kami. Aku berhenti di depannya dan berbicara kepadanya.
"Tentu saja, Mein Herr. Kau tahu itu."
"Apa yang kau tunggu lagi? Perlukah aku ulang? Ambil senjatamu, kita akan berperang."
Bocah itu tersenyum. Dengan antusias ia mengambil senjatanya di tanah dan berlari ke samping kiriku. Berbeda dengan serdadu lainnya yang masih terheran-heran dengan fenomena ini, Lennart tampaknya hanya ingin bertempur.
"Faust, kau penembak yang handal. Naik ke atas menara gereja dan lindungi kami." Ia memberi hormat dan langsung berlari ke arah gereja yang berada di seberang toko roti tadi. Berbeda dengan Lennart dan yang lainnya, Faust tidak terlalu ekspresif mengenai hal ini. Mungkin sebenarnya ia sedang memikirkan banyak hal, siapa yang tahu.
Tujuh meter dari kami, sebuah garis pertahanan telah terbentuk, pertahanan terakhir di bagian barat desa. Tumpukan kantong pasir, perabotan, mebel, dan kotak amunisi kosong diposisikan di tengah jalan sebagai barikade untuk menghalangi musuh yang berusaha untuk lewat. Delapan orang sedang berlindung di belakangnya. Sepertinya hanya mereka yang tersisa dari serangan sebelumnya.
"Sersan Ecker, siap membantumu di neraka ini, Herr Oberstleutnant."
Ia dan rekan-rekannya berdiri dan memberi hormat padaku. Wajah mereka semua lesu, tanpa harapan sedikitpun. Sebuah kesan pertama yang buruk.
Terdapat sekitar dua puluh mayat hidup sepuluh atau sebelas meter lagi kedepan. Langkah yang mereka ambil tidak seperti manusia pada umunya, tidak bercorak khusus. Kelambatan mereka sangat menguntungkan bagi kami.
Mata mereka yang bewarna merah darah terpaku pada kami seakan-akan kami adalah makan siang mereka. Aku dan Lennart dapat melihat bahwa bawahan kami mulai merasa takut dengan tatapan mereka. Keadaan ini merisihkanku. Tanpa semangat juang yang kuat, pertahanan jalan ini tidak akan bertahan lama. Aku harus melakukan sesuatu mengenai hal itu.
"Laporan situasi, sersan," aku bertanya kepadanya dengan tegas. Seketika ia menatapku dengan serius dan berdiri dengan tegak. Semangat juang tidak akan bangkit tanpa disiplin.
"Situasi buruk, Pak. Kami kehilangan delapan belas orang, semuanya tewas oleh mereka. Persenjataan kami terdiri dari senapan bolt action, satu senapan granat, dua kotak berisi granat, dan sebuah senapan mesin yang rusak. Untuk pertempuran jarak dekat, kami hanya membawa sekop dan potongan-potongan kayu. Kami kelelahan dan tampaknya jumlah musuh terus bertambah."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Plague to End All Plagues (On Hold)
Science FictionKisah seorang perwira Angkatan Darat Jerman pada masa Perang Rupter Perang Dunia Pertama masih berkecamuk namun sebuah masalah global lainnya kembali mengancam peradaban manusia. Sebuah virus yang dikenal sebagai Red Flu Virus telah menjangkiti bany...