1 - Sang "Legenda"

1.1K 32 7
                                    

"Eh, besok jangan sampai terlambat, ya!" Dita, teman sekelas yang lebih senior satu semester di atasku, hari itu mengingatkan.

Aku yang saat itu sedang terhanyut dengan "1984"-nya George Orwell pun menoleh.

"Pokoknya," Dita melanjutkan, "jangan ada yang terlambat!"

"Sebegitu galaknya, ya?" Lisa, sang ketua kelas, yang duduk di sampingku pun bertanya dengan nada penasaran.

"Hehe..." Dita memamerkan senyumnya yang seperti dipaksakan. "Pokoknya," ia menarik sebuah kursi dan duduk di dekat Lisa, "jangan macam-macam dengan dosen yang satu itu," ujarnya lagi.

"Jangan terlambat. Jangan nggak masuk. Kalaupun absen, harus ada keterangan, minimal surat ijin. Kalau ditanya, harus menjawab. Oh, iya, jangan menjawab dengan kata 'mungkin'," Dita nyerocos panjang lebar.

"Jangan duduk di belakang. Bangku depan harus terisi. Jangan ribut di kelas. Jangan menyalakan ponsel. Jaga sikap. Angkatanku ada yang diusir, lho..."

Aku dan Lisa berpandang-pandangan. Wah, serius, nih? Tetapi sejujurnya aku tidak terlalu kaget. Suamiku, Juna, adalah senior satu angkatan di atasku yang tentu saja juga mengikuti perkuliahan yang sama persis denganku.

Aku sudah hampir satu setengah tahun mengikuti perkuliahan di program magister salah satu kampus terbaik di Bandung. Juna, yang lebih senior satu tahun di atasku, sudah hampir memasuki tahun ketiganya – terlambat satu semester dari jatah beasiswa yang diberikan. Aku dan Juna memang mengikuti perkuliahan dengan beasiswa yang diberikan oleh sebuah instansi pemerintah karena kami adalah pegawai negeri sipil (PNS). Aku kebetulan mengambil – dan mendapatkan – program yang sama dengan Juna. Kebetulan yang menurutku sangat menyenangkan mengingat aku tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli bahan-bahan perkuliahan karena aku tinggal menggunakan milik Juna. Jadi, jatah uang beasiswanya bisa lebih dihemat dan digunakan untuk keperluan yang lain. Pengiritan!

Nah, kembali ke masalah perkuliahan. Tahun lalu, ketika aku baru mulai mengikuti perkuliahan sebagai mahasiswa baru, Juna yang sudah duduk di semester 3 sering bercerita tentang kelas wajib terakhirnya. Cerita Juna tidak pernah jauh-jauh dari dosen yang mengajar mata kuliah tersebut. Seorang profesor yang juga guru besar, dengan gaya mengajar yang agak sedikit berbeda dengan dosen-dosen lainnya.

Ya. Berbeda. Bukan "agak" malah, tetapi "sangat". Tensi mengajarnya sekitar 2-3 kali lipat di atas dosen-dosen yang lain. Sangat mudah mengeluarkan "kata-kata mutiara", yang mungkin maksudnya adalah untuk memotivasi para mahasiswa (oh, ya Tuhan.....tolong ingatkan aku untuk tidak mengatakan "mungkin"!). Dan jika mahasiswanya masih juga tidak "termotivasi", ia tidak segan-segan untuk "mempersilakan" mahasiswa tersebut keluar kelas. Yah.....mungkin (aduh, lagi-lagi aku mengatakan "mungkin") mahasiswa tersebut lebih suka kongkow-kongkow di ruang tunggu atau minum-minum di kantin kampus.

Jujur saja, aku tidak memiliki bayangan sama sekali mengenai Profesor yang akan mengajarku mulai besok itu. Terakhir kali aku diajar (atau dihajar?) dengan tensi tinggi adalah ketika SMP – dan itu sudah berlangsung belasan tahun silam. Semasa kuliah S1 dulu, aku juga sama sekali tidak pernah mendapatkan dosen dengan teknik mengajar "tegangan tinggi". Dosen-dosenku semasa S1 dulu sangat egaliter dan kami bahkan sudah seperti teman. Dan selama mengikuti perkuliahan S2, rasanya juga tidak ada dosen yang seperti digambarkan oleh Dita maupun Juna. Makanya, aku sama sekali tidak memiliki gambaran apa pun.

Juna berulang kali mengingatkanku. Ia tahu persis tabiatku yang suka melawan dan seenaknya sendiri. Belum lagi sifat malasku yang – aduh – entah menurun dari siapa. Setidaknya, pada dua semester pertama, ada mata kuliah yang setiap pertemuannya selalu menyisakan tugas untuk dibawa pulang ke rumah. Aku nyaris tidak pernah mengerjakan tugas-tugas tersebut dan Juna lama-lama menyerah untuk mengingatkanku. Tetapi, aku punya alasan untuk tidak mengerjakannya. Setidaknya ada dua alasan; pertama, aku tidak bisa menghitung dan paling benci hitung-hitungan. Dan kedua, mata kuliah tersebut membutuhkan software yang (untungnya?) tidak compatible dengan laptop yang kugunakan. Jadi, aku memilih untuk tidak usah mengerjakannya saja. Toh, aku masih mendapatkan nilai "B" di kedua mata kuliah tersebut.

Kelas Terakhir (Kisah Mahasiswa Deadliner dan Profesor Legendaris)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang