Sepertinya pertemuan pertama kami dengan Profesor menyisakan permasalahan yang berbuntut panjang. Bagaimana tidak? Pada pertemuan pertama itu, ternyata ada belasan orang mahasiswa yang tidak masuk kuliah. Artinya, nyaris separuh mahasiswa tidak hadir pada saat itu. Dan tanpa keterangan, tentunya. Karena memang selama ini para mahasiswa tidak pernah memberitahukan alasan ketidakhadiran mereka (termasuk aku, sih). Kalau ingin masuk kelas, ya masuk saja. Tetapi kalau sedang tidak ingin masuk kelas, ya tinggal membolos saja, dengan seribu satu macam alasan yang tidak perlu dilaporkan.
Namun, ternyata Profesor sangat mempermasalahkannya. Aku tidak tahu apakah ancamannya untuk mengecek satu per satu absensi mahasiswa (terutama mahasiswa penerima beasiswa) benar terlaksana. Yang jelas, Profesor meminta SEMUA mahasiswa yang tidak hadir dalam pertemuan pertama membuat surat keterangan.
Walhasil, sehari setelah kelas pertama yang menegangkan itu, ruang administrasi jurusan pun riuh-rendah dengan kehebohan para mahasiswa yang kemarin tidak hadir. Ada yang sibuk menanyakan format surat. Ada yang kebingungan menuliskan nama lengkap Profesor berikut gelar dan jabatannya. Tetapi, ada juga yang sudah siap dengan print out surat yang telah ditandatangani.
Aku tentu saja tidak termasuk yang harus membuat surat itu. Hanya saja, aku sedikit KEPO* (*KEPO=Knowing Every Particular Object, istilah para remaja jaman sekarang untuk orang yang serba mau tahu......saja.....). Jadi, hari itu aku mendekati Bu Indri, yang bertugas sebagai sekretaris di ruang administrasi jurusan, dan merayunya untuk memperlihatkan surat-surat yang terkumpul. Aku ingin tahu apa saja alasan teman-temanku yang tidak hadir pada hari sebelumnya.
Dari seluruh surat keterangan yang masuk, menurutku yang paling masuk akal adalah alasan Aisha. Aisha, salah seorang teman sekelasku, adalah guru di sebuah SMP swasta. Pada saat kelas pertama Profesor kemarin, ia sedang mendapatkan tugas untuk menjadi pengawas Ujian Nasional (UN). Surat keterangan tertulis jelas dan masuk akal alasannya. Dan ditambah pula dengan surat keterangan dan surat tugas dari sekolah tempatnya mengajar. Jadi, alasan Aisha sangat masuk akal.
Meski demikian, Aisha tidak bisa menyembunyikan ketakutannya ketika mendengar cerita di kelas kemarin. Aisha memang seorang gadis yang sangat lembut. Tubuhnya kecil dan wajahnya imut seperti anak-anak. Sangat cocok untuk menjadi guru SMP, memang. Aku sendiri juga sebenarnya tidak bisa membayangkan seandainya gadis lembut seperti Aisha dibentak-bentak oleh Profesor kemarin.
"Aduh.....aku, kok, jadi takut, ya, Mbak," Aisha, yang sedang merapikan berkas-berkas surat keterangannya, mulai curhat kepadaku.
"Aku, tuh, paling ga tahan dibentak, Mbak," wajahnya mulai menyiratkan rasa khawatir.
"Aku, kan orangnya kagetan...."
"Lha, ya sama, atuh...." Bu Indri yang menyahut. "Emangnya, teh, dikira kemaren aku nggak kaget?"
Aku menaikkan alisku. "Emangnya kemarin ada apa?" tanyaku.
"Lha ya itu...." Bu Indri mulai bercerita. "Kemarin, kan Profesor sempat keluar kelas. Nah, itu aku langsung disembur. Aku lagi minum tahu-tahu diteriakin, 'BU INDRIIII.....', begitu teriaknya. Sampai aku keselek..."
Aku melongo. Begitu juga Aisha.
"Masih mending, teh, aku cuma keselek. Lha aku kan orangnya latahan. Coba kalo aku sampai latah, mana kalau latah omonganku yang keluar malah yang enggak-enggak...." Bu Indri menghela napasnya.
"Latah yang enggak-enggak....jangan-jangan kaya' yang di acara musik itu..." aku menanggapi asal. Aku tiba-tiba teringat pada salah satu host acara musik yang pernah ditegur karena melontarkan latahan berkonotasi "alat kelamin pria".
"Nah, ya itu dia......" Bu Indri lansung mengiyakan.
Aku spontan langsung tertawa.
"Tapi sebenernya si Bapak itu baik, kok. Cuma ya gayanya saja memang begitu..." Bu Indri mencoba menghibur demi melihat wajah Aisha yang semakin memucat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelas Terakhir (Kisah Mahasiswa Deadliner dan Profesor Legendaris)
Ficción GeneralBeliau, menurut kabar yang kudengar, adalah salah satu pengajar "legendaris" di kampus berlambang Dewa Ilmu Pengetahuan ini. Tetapi kalau boleh memilih, rasanya aku lebih baik tidak usah berurusan terlalu lama dengannya. Cukup satu semester saja. Ka...