Ada satu kejadian yang hampir pasti terjadi setiap tahunnya pada mata kuliah yang dipegang Profesor. Sampai-sampai seolah menjadi tradisi. Yaitu, selalu ada mahasiswa yang dikeluarkan dari kelas. Bahkan tahun sebelumnya ada dua mahasiswa sekaligus yang dikeluarkan dari kelas.
Alasan pengusiran tersebut macam-macam. Mulai dari dianggap tidak memerhatikan pelajaran, sibuk mengobrol sendiri, tidak menjawab dengan jawaban yang memuaskan (seperti menjawab pertanyaan dengan kata "mungkin"), hingga tudingan meremehkan pengajar. Alasan kedua mahasiswa yang dikeluarkan dari kelas tahun lalu adalah karena menghina, karena mereka dianggap tertawa mengejek di dalam kelas (meski rasanya itu hanya kesalahpahaman saja).
Apapun itu, isu pengusiran mahasiswa dari dalam kelas menjadi topik perbincangan hangat di angkatanku. Setidaknya antara aku dan Lisa. Setelah pertemuan pertama yang sungguh "mengesankan" itu, aku sering membahas masalah ini dengan Lisa: siapa kira-kira mahasiswa yang akan dikeluarkan Profesor dari dalam kelas, dan pada pertemuan ke berapa. Kami sering menebak-nebak. Tentu dengan disertai berbagai macam argumen – yang tidak ilmiah tentu saja! Akhirnya, aku malah bertaruh dengan Lisa. Aku menyebut nama yang kira-kira akan dikeluarkan oleh Profesor, pada pertemuan kelas yang ke sekian. Lisa pun juga menyebut sebuah nama, dan perkiraan waktu kapan kira-kira mahasiswa tersbeut akan dikeluarkan dari kelas. Yang kalah di antara kami harus mentraktir makan siang. Konyol, ya? Tetapi rasanya mahasiswa lain juga melakukannya. Saling menebak siapa yang akan dikeluarkan dan pada pertemuan ke berapa. Sambil berharap kalau mahasiswa itu bukan diri sendiri.
Pertemuan kedua perkuliahan. Aku sengaja memilih tempat duduk yang berbeda dari minggu lalu. Kalau minggu lalu aku duduk di baris pertama sayap kiri, kali ini aku duduk di baris kedua sayap kanan, tepat di belakang Ben. Ben, seperti yang kukatakan tadi, adalah salah satu mahasiswa yang berhasil membuat Profesor terkesan di pertemuan pertama. Tentu Profesor akan kembali mengingatnya pada pertemuan kedua, dan seterusnya. Dan tentu saja, Ben akan menjadi sasaran tembak pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di dalam kelas. Karena itu, duduk di belakang Ben pasti akan sangat aman dari pandangan mata Profesor. Profesor pasti akan lebih melihat Ben dibandingkan aku. Dan pasti akan lebih sering mencecar Ben dibandingkan dengan diriku. Bahkan, bisa jadi Profesor tidak melihat diriku sama sekali. Jadi, ini adalah posisi yang paling aman.
Perkuliahan pun dimulai. Profesor tidak segarang minggu lalu. Bahkan, pada pertemuan kedua ini Profesor sangat menyenangkan. Tidak ada marah-marah seperti minggu lalu dan suasana kelas lebih santai dari sebelumnya.
Profesor mengajukan beberapa pertanyaan. Dan selalu dilempar ke forum kelas. Dan seperti sudah diduga, tidak ada yang berani menjawabnya. Maka, Profesor pun mulai menembak para mahasiswa satu per satu. Bhisma, Nadine, Rezza, dan Ben. Aku cukup bersembunyi saja di balik punggung Ben.
Hari itu kami membahas sedikit tentang metode penelitian. Tentang "from the whole to the part" (melihat fenomena secara keseluruhan untuk kemudian memahami bagian-bagian fenomena yang lebih spesifik), juga "from the part to the whole" (melihat fenomena secara keseluruhan dengan melihat bagian per bagian). Menggunakan analogi beberapa orang buta dalam melihat bentuk gajah secara keseluruhan; ada yang menyebut gajah sebagai binatang panjang karena yang dipegangnya adalah belalai, ada yang berpikir kalau gajah adalah binatang lebar karena yang disentuh adalah telinganya.
Sebenarnya aku pernah mendapatkan materi seperti ini ketika kuliah S1 dulu. Jadi, aku sedikit berbisik mencoba merangkai kata per kata dan kalimat demi kalimat untuk menggambarkan metode tersebut.
"Ya, Mbak?" tiba-tiba Profesor menegurku.
"Ya, Pak?" aku terkejut.
"Coba ulangi lagi dengan lebih keras yang kamu katakan barusan!" perintahnya.
Aku pun mengulanginya. Dengan apa adanya yang aku ketahui. Mencoba merangkai kata per kata dan kalimat per kalimat agar lebih terstruktur. Dan jadilah sebuah kalimat utuh. Apa adanya, karena hanya itulah yang aku ketahui.
Profesor menatapku dengan pandangan (yang menurutku) antara heran dan setengah kagum.
"Kamu saya kasih nilai 'A'," ujarnya.
Hah? Aku terbengong. Sementara seisi kelas riuh-rendah menyoraki diriku.
"Eh, jangan," Profesor meralat. "'AB' saja. Nanti kamunya keenakan," lanjutnya dingin.
Aku menunduk dan tersenyum-senyum. Rupanya gengsi Profesor masih sangat tinggi untuk mengakui kecerdasanku, pikirku ge-er. Tetapi, seringkali ucapan spontan yang pertama kali diucapkan adalah cerminan isi hati yang paling jujur. Karena itu, aku rasa Profesor memang menganggapku cerdas dan pantas mendapatkan nilai "A". Itu sisi positifnya. Sisi negatifnya, aku mulai mengkhawatirkan keberadaanku sebagai "mahasiswa yang tidak terlihat". Jika Profesor mulai melihatku sebagai salah satu mahasiswa potensial, aku akan bernasib sama seperti Bhisma, Rezza, Nadine, dan Ben: menjadi sasaran tembak di kelas!
Kelas masih berlanjut. Aku mencoba menahan diri untuk tidak berkomentar apapun. Aku tidak mau kembali membuat Profesor lagi-lagi melihat ke arahku. Sayangnya, jawaban yang kulontarkan sebelumnya tampaknya telah membuat Profesor berubah pandangan terhadapku. Berkali-kali aku ditembak pertanyaan. Kedamaianku bersembunyi di balik punggung Ben pupus sudah. Aku sepertinya harus kembali menyusun taktik agar tidak terlihat lagi pada pertemuan-pertemuan selanjutnya.
"HEI! KAMU!" tiba-tiba suara Profesor kembali menggelegar mengagetkan seisi kelas.
Seisi kelas pun menoleh ke arah yang ditunjuk Profesor.
Surya!
Aku mengernyitkan dahi. Sejak kapan dia ada di kelas, pikirku.
Profesor, masih dengan suara keras yang menggetarkan ruang kelas, kemudian mengajukan sebuah pertanyaan kepada Surya.
Surya tampak gelagapan. Wajahnya panik meski ia berusaha untuk tetap tenang. Jawaban pun mulai meluncur pelan dari bibirnya....
"Mungkin...."
"KELUAR!" Profesor langsung mengusirnya, bahkan ketika Surya baru saja mengucapkan sepatah kata.
Suasana kelas kembali tegang. Tak ada yang berani bersuara.
Surya yang duduk di barisan belakang langsung mengambil tasnya dan berjalan keluar dari kelas. Terdengar suara derit pintu yang dibuka, lalu ditutup lagi. Suasana kelas masih hening.
"Dia pikir saya tidak memerhatikannya," Profesor mulai kembali bersuara. Nada suaranya sudah lebih lembut, tetapi masih menyisakan sedikit amarah.
"Saya tahu dia terlambat," suara Profesor masih terdengar kesal. "Tapi saya biarkan saja. Saya juga tahu dia tidak memerhatikan pelajaran. Dan saya masih biarkan saja. Saya sengaja menunggu apakah dia mau berubah sikap. Tetapi ternyata tidak. Terpaksa saya usir. Saya paling tidak suka dengan mahasiswa yang seperti itu. Tidak ada etika."
Kami semua terdiam. Aku menunduk dalam-dalam, lalu mencuri pandang ke arah sayap kiri tempat Lisa duduk. Ia balas menatapku.
Tampaknya tidak ada satu pun dari kami yang memenangkan taruhan. Pertama, kami sama-sama tidak menyangka bahwa Profesor akan mengusir mahasiwa pada pertemuan kedua – kami tidak menyangka akan secepat ini.
Dan kedua, kami sama sekali tidak menyadari keberadaan Surya. Surya memang seringkali tidak masuk kuliah. Walhasil, keberadaannya antara ada dan tiada. Dalam tugas-tugas kelompok pun ia kurang berpartisipasi. Bahkan sempat beredar gosip kalau Surya sudah mengundurkan diri dari perkuliahan. Nah, jadi bagaimana kami bisa menebak bahwa Surya adalah orang yang akan diusir dari kelas, sedangkan keberadaannya sendiri nyaris tak terlihat?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelas Terakhir (Kisah Mahasiswa Deadliner dan Profesor Legendaris)
Ficción GeneralBeliau, menurut kabar yang kudengar, adalah salah satu pengajar "legendaris" di kampus berlambang Dewa Ilmu Pengetahuan ini. Tetapi kalau boleh memilih, rasanya aku lebih baik tidak usah berurusan terlalu lama dengannya. Cukup satu semester saja. Ka...