Aku datang terlambat ke Taman hari ini. Maksudku, jauh lebih telat dari 2 hari yang lalu karena aku harus menguji murid-muridku di Sekolah Musik untuk kenaikan tingkat mereka. Aku pun terburu-buru membawa seluruh perlengkapan lukisku dan juga makan siang sekaligus makan malam yang baru saja ku beli saat perjalanan menuju kemari. Semoga saja Rose masih ada disana, karena jujur saja, aku selalu merindukan suara cerewet miliknya itu.
Ku tenteng kanvas dan juga makananku menuju sudut yang selalu menjadi spotku selama 2 hari kemarin, karena menurutku Rose pasti akan dengan mudah untuk mencariku nantinya. Aku tak tega kalau ia harus sengaja berkeliling mencariku jika aku tak berada di tempat yang sama seperti 2 hari yang lalu. Apalagi kalau ia pergi menggunakan sepedanya dan harus membawa sepeda itu kemana pun ia pergi, jika ia ingin mencariku.
Eh? Kenapa aku jadi begitu percaya diri? Memangnya hari ini ia akan datang? Lagipula, apa ia datang ke sini untuk menemuiku?
Kau terlalu banyak berharap, Calum. Mana mau ia mengenal lelaki bisu sepertiku, meskipun sebenarnya aku memang tak bisu. Tapi mana ada yang rela untuk menemuiku terus menerus dan memaksaku untuk mengeluarkan suara barang mengucapkan satu kata?
Ku edarkan pandanganku pada setiap penjuru Taman, sepanjang perjalananku menuju spot ku kemarin. Tak ada sepeda berwarna peach miliknya atau pun tanda-tanda kehadirannya yang lain. Padahal waktu telah menunjukkan pukul 5 lebih 20 menit. Apa ia tak akan datang hari ini?
Begitu aku tiba di spotku kemarin, ku siapkan semua peralatan lukisku dan kemudian memulai untuk melukis. Sial, cat warna terangku habis dan aku lupa untuk membelinya kemarin sewaktu ke toko buku.
Setelah memastikan semua siap, aku lebih untuk mengganjal perutku dulu dengan big mac yang ku beli tadi dan juga air mineral dingin yang sengaja ku beli karena aku benar-benar butuh air mineral setiap kali sedang melukis.
Sesekali aku melirik gerbang taman yang selalu Rose lalui setiap datang, dan juga aku tak henti-hentinya memperhatikan jam tanganku. Sudah lima belas menit ku lakukan itu sambil menghabiskan big mac ku.
"Apa ia tak datang hari ini?"
Aku mendengus pasrah, lalu membersihkan kedua tanganku dan memulai untuk melukis. Jujur saja, aku tak tau ingin melukis apa hari ini karena cat berwarna cerah andalanku habis. Aku hanya menorehkan secara asal kuas-kuas yang sudah ku celup ke dalam cat berwarna biru dongker atau berwarna merah maroon, dan warna gelap lainnya. Sepertinya aku hanya akan menghabis-habiskan cat karena aku tak tau ingin melukis apa.
"Hi."
Sapaan yang sejak tadi ku tunggu akhirnya datang. Suaranya terdengar sedikit berbisik dan lirih, seperti menahan rasa sakit karena aku sempat mendengarnya meringis. Ingin rasanya aku berbalik dan melihat keadaanya, tapi entah mengapa badanku terasa kaku untuk digerakkan.
"Itu apa? Kok bentuknya nggak jelas?" tanyanya yang baru ku sadari sudah berada di sisi kiriku, seperti biasanya.
Aku menghembuskan nafas kasar lalu menghentikan kegiatanku. Entah kenapa aku sedikit kesal karena rasa khawatirku yang menunggunya untuk datang ini.
"Maaf, aku tak bermaksud mengganggumu," katanya sambil tersenyum lebar dan mengangkat jarinya yang membentuk tanda peace. Ku rasa ia salah mengartikan tatapan tajamku tadi. Semenyeramkan itukah wajahku?
Kedua mataku beralih pada tangan kirinya yang tengah menenteng sepasang sepatu balet. Oh? Ia suka balet ternyata? Ku kira ia suka musik sama seperti Niall.
"Aku baru pulang dari kelas baletku. Ada ujian tadi, makanya aku telat kesini, Maaf."
Aku menghembuskan nafas lega begitu mendengar penjelasannya. Aku merasa tersanjung karena ia mengerti apa yang sedang kupikirkan hanya dengan melihat tatapan mataku. But, hei!!! Sikunya berdarah! Dengan refleks, aku menarik sikunya itu dan memperhatikan darahnya yang masih mengalir. Ia terjatuh atau apa?
"Awww. Kau ini apa sih? itu sakit tau!!!"
Kedua mata kami saling tatap satu sama lain. Kedua mata birunya menunjukkan rasa sakit yang tertahan. Aku menatapnya khawatir meskipun aku tau kalau ia pasti merasa takut dengan tatapan mataku yang tajam ini.
"Tadi aku terjatuh di depan sana. Sudahlah kau tak usah terlihat khawatir, itu hanya- awww."
Aku mengguyur lukanya dengan air mineral dingin yang tadi baru ku minum setengah. Ia tak berhenti mengaduh setiap kali air mineral itu membasuh luka pada sikunya. Perlahan, darah pada luka tersebut pun menghilang. Kali ini ia mulai diam dan terus memperhatikan ku yang sedang mengambil kotak pertolongan pertama berukuran kecil yang selalu ku bawa kemanapun ku pergi dari dalam tasku.
"Itu untuk apa?"
Nyaris saja aku mengumpat sebal karena pertanyaan bodohnya itu ketika aku mengeluarkan kapas, perban, obat merah, dan juga plester. Aku tak tau maksudnya ia bertanya itu memang ia benar-benar tak tau atau hanya memancingku untuk berbicara. Dan tentu saja aku hanya diam tak merespon apapun.
Terjadi keheningan diantara kami, atau lebih tepatnya ia hanya diam memperhatikanku yang tengah menutupi lukanya. Sesekali ku perhatikan wajahnya yang kadang meringis kesakitan dengan bibir bawah yang sengaja dimajukan. Ia terlihat menggemaskan dengan wajahnya itu. Kalau saja aku tidak sedang melakukan 'percobaan' bodohku itu, mungkin aku sudah tertawa keras dan mencubit kedua pipinya yang selalu memiliki seburat warna merah disana.
Dan akhirnya, selesai. Aku tersenyum bangga melihat hasil karyaku yang kini sudah melekat indah di lengan kanannya. Ia pun memperhatikannya beberapa saat, lalu rona merah pada pipinya semakin jelas terlihat.
"T-Th-thanks," ucapnya dengan nada gugup dan tertunduk hingga rambut pirangnya menutupi rona merah pada wajahnya.
Haahh, can she stop for being cute?
***
\AN/
Chapter 2 kemarin kayanya gak seru yaaa???:((((
Yang vomments lebih sedikit soalnya
Yaudah deh, thanks yang udah mau luangin waktunya buat baca ff ini yaaa
Lots of Love
putripopoh
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Words // c.h [AU]
Fanfiction-Book 2 of Silent's Hood- Pertemuan singkat itu mengajarkan ku tentang kehidupan, kebahagian, dan juga cinta dalam kepedihan. Ia adalah gadis super cerewet yang tak pernah ku temui sebelumnya. Ia adalah satu-satunya gadis yang bisa menerima kekurang...