Aarggh! Ada apa denganku? Ini bukan aku! Bisa-bisanya menulis surat cinta untuk kakak kelas yang kutaksir sejak pertama kali menginjakkan kaki di SMA Harapan ini.
“Ngapain lo ngomel-ngomel nggak jelas gitu?” tanya Fajar mengagetkan yang tiba-tiba muncul dari balik punggungku.
“Ah, lu bikin kaget gue aja.”
“Hei, lo belum jawab pertanyaan gue. Gugup amat sih? Habis ngapain lo keluar dari kelas XII IPA 1?”
“Eh, itu ... anu, ehm ... nyariin Kak Tari.” Mentari, atau biasa kami panggil Kak Tari adalah kakak kandung Fajar yang satu kelas dengan sang pangeran hatiku.
“Kakak gue? Buat apa? Ada perlu apa lo sama kakak gue? Tumben,” cecar Fajar.
“Ah, bawel lu!” Segera kulangkahkan kaki meninggalkan Fajar agar terhindar dari pertanyaan-pertanyaan yang bikin aku salah tingkah dan ketahuan.
Semalaman aku sibuk menulis surat untuk Kak Surya anak XII IPA 1 dan pagi ini sengaja aku berangkat sekolah lebih awal untuk menaruh surat tersebut di laci meja Kak Surya.
Sejak masuk SMA Harapan aku sudah jatuh hati pada Kak Surya. Gimana nggak? Kak Surya adalah sosok cowok yang super duper ganteng, badan atletis, kulit putih, hidung mancung, alis tebal dan bibir yang seksi bikin para kaum hawa tergila-gila dengannya. Dan lagi, dia keturunan Indo-Arab. Bisa dibilang dia mirip seperti Omar Borkan al-Gala.
***
“Woy, ngapain lo bengong di sini?”
Ya Tuhan, dia lagi, dia lagi. Fajar, temanku dari aku masih bayi, dan entah kenapa dari pertama masuk sekolah playgroup hingga aku SMA, dia selalu satu sekolahan denganku. Ya, walaupun nggak sekelas tapi tetap saja ... dia melulu yang aku lihat.
“Lu, ngapain sih gangguin gue mulu. Gangguin aja noh cewek lo, Bunga.”
“Lagi ada rapat keanggotaan mading dianya,” jelasnya, mengambil tempat duduk di sebelahku.
“Owh.” aku manggut-manggut mengerti. Bunga pacar Fajar adalah ketua mading di sekolah kami.
“Eh, besok ada lomba basket, lo mau ikut nonton gak? Ntar kita bertiga bareng, gimana?” ajak Fajar.
“Liat dong, kan ada idola gue main.”
“Eh, apa? Idola?” Aduh! Mampus gue keceplosan.
“Siapa idola lo, Mbun?” tanya Fajar curiga. Kugaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Salah tingkah.
“Ah, Kak Surya ya? Makanya tadi lo ke kelasnya, iya?” tebak fajar. Aku hanya nyengir mendengar tebakan Fajar.
Seketika, tawa Fajar pun meledak. ”Ya ampun, Mbun. Sejak kapan lo naksir Kak Surya? Terus tadi ke kelasnya ngapain? Ngasih surat kayak anak-anak yang nge-fans sama dia?”
Kujitak kepala Fajar, “Enak aja, tadi itu nyariin Kak Tari mau ikut tes cheerleaders,” ucapku mengelak.
“Apa? Cheerleaders, elo mo ikut cheerleaders? Gak salah denger gue? Hahahahahaha.” Tawa Fajar tak kunjung berhenti, akhirnya kutinggalkan dia di bangku taman sekolah. Sendirian.
“Loh, Mbun. Mau ke mana?” teriak Fajar dari kejauhan.
***
Siang ini aku disibukkan dengan acara memilih pakaian yang pantas untuk kukenakan di lomba basket antar sekolah nanti sore. Dari sekian banyak pakaian yang kupunya hampir semua berjenis kaos oblong, celana jins, celana skaters atau hem panjang yang longgar. Nggak ada apa, baju yang agak feminim dikit gitu buat aku?