Day 15

1.1K 187 34
                                    

Senin pagi yang tak biasa untukku. Aku bangun lebih cepat dan lebih bersemangat untuk pergi ke sekolah hari ini, padahal biasanya aku sangatlah membenci sekolah. Kalau bukan karena permintaan terakhir Mum untuk tetap melanjutkan pendidikanku ini, aku akan lebih memilih untuk membuat sanggar seni sendiri dan mengajar disana. Tadinya aku berencana akan merelaisasikannya setelah lulus high school, tapi semua rencanaku hancur berantakan karena lelaki tua itu.

"Selamat pagi, Calum."

"Pagi bibi Ruth," sahutku pada bibi Ruth yang kini tengah menyiapkan sarapan pagiku. "Sarapan apa kita pagi ini?"

Bibi Ruth membawakan dua buah piring berisi pancake berlumuran saus maple dan juga potongan blueberry diatasnya. Sarapan favoriteku setiap pagi di musim gugur. Aku pun langsung melahapnya dengan semangat begitu Bibi Ruth meletakkan salah satu piring itu untukku.

Bibi Ruth adalah orang kepercayaan Mum sejak aku masih berusia dua tahun. Sejak Mum tiada, ia selalu menemaniku untuk sarapan dan juga makan malam. Ia adalah seorang janda dan tinggal 2 blok dari rumahku. Aku merasa beruntung karena Bibi Ruth masih mau menemaniku meski Mum sudah tak ada.

"Apa David masih memaksamu untuk pergi?"

Aku menghentikan kunyahanku lalu menatap Bibi Ruth yang sibuk memotong pancake nya menjadi potongan-potongan kecil. Untung saja aku sudah menghabiskan pancake di piringku, karena mendengar Bibi Ruth menyebutkan nama orang itu, mood baikku mendadak hilang.

"Tanpa memaksaku pun, keputsannya sudah bulat dan tak bisa ganggu gugat lagi bukan?" tanyaku lalu meneguk susu putih pada gelasku.

"Yeah, I know. Tapi setidaknya kau bisa bernegosiasi dengannya bukan?" tanyanya lagi namun kali ini sambil menatapku dengan raut wajah sedihnya. "Kau tega meninggalkanku sendiri, Calum?"

Aku tertawa pelan mendengar pertanyaanya. Aku pun bangkit dari dudukku, lalu ku raih bahunya dari belakang tubuhnya. "Aku sudah menganggapmu seperti ibu sendiri, Bi. Mana mungkin aku tega meninggalkanmu. Aku akan sering berkunjung setiap bulan. Tenang saja."

Bibi Ruth mendengus pelan. "Kau sudah memberi tau gadismu itu kalau kau akan pergi?"

Aku terdiam. Aku baru ingat kalau aku pernah menceritakan tentang Rose pada Bibi Ruth karena ia terus bertanya padaku tentang sketsa-sketsa wajah Rose yang berserakan di kamarku setiap kali ia sedang membereskan kamarku.

Bicara soal Rose. Hatiku kembali berdesir begitu mengingat kejadian kemarin. Ada perasaan senang begitu aku melihatnya menangis haru karena perbuatanku itu. Tapi aku juga merasa bersalah padanya karena telah membuatnya menangis karenaku. Di tambah lagi, aku tak memberi taunya secara jelas, kalau aku akan meninggalkannya suatu hari nanti.

"Aku sudah memberi taunya," sahutku. "Dan ku harap ia sadar kalau aku sudah memberi taunya."

Bibi Ruth terlihat bingung dengan penjelasanku. Karena tak mau ia terus menanyakan hal ini, aku memilih untuk meraih tasku dan ke cium pipinya. "Aku berangkat."

Baru saja aku keluar dari dapur, aku kembali melongokkan sedikit kepalaku hingga membuat Bibi Ruth menatapku bingung. "Ada yang tertinggal?" tanyanya. Aku hanya menggeleng dan tersenyum.

"Aku akan pulang telat untuk makan malam nanti, kalau bibi ingin makan duluan tidak apa-apa."

"Kau ingin kemana?"

"Aku harus ke toko buku setelah mengajar nanti karena aku kehabisan cat dan mungkin aku akan pergi ke suatu tempat setelahnya," jawaku sambil berlalu. "Aku pergi."

Haah, haruskah aku pergi ke taman hari ini?

***

Seperti yang sudah ku katakan pada Bibi Ruth tadi, aku berencana untuk ke toko buku siang ini. Berhubung Uncle Rob baru saja menghubungiku kalau tak ada kelas mengajar siang ini, aku memilih untuk pergi ke toko buku lebih awal.

Unspoken Words // c.h [AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang