Upturned

357 24 17
                                    


Yang aku tahu penting di dunia ini adalah satu.

Kepopuleran.

Mengapa kebanyakan orang meraung-raung untuk mendapatkannya? Tak terkecuali aku. Ya, aku. Konyol bila aku tak peduli tentang hal itu. Selama ini aku berpura-pura untuk tidak peduli. Padahal, siapa sih yang tidak ingin menjadi populer? Dikenal banyak orang. Tertawa pada semua candaan mu walaupun tidak lucu. Sungguh menyenangkan.

Sejak dahulu kala, aku tak pernah menjadi pusat perhatian kelas. Aku selalu menjadi anak yang 'biasa-biasa' saja. Tidak humoris, tidak pintar, tidak cantik. Mengagumi seseorang yang selalu dapat menarik perhatian kelas. Mengagumi seseorang yang lebih cantik dari diriku. Mengagumi seseorang yang lebih dapat berterus terang.

Aku juga tidak nakal, tidak jelek, tidak bodoh. Benar-benar di garis keseimbangan. Tapi tak pernah di atas dan di bawahnya. Selalu di tengah-tengah. Kalian bertanya apakah aku menyukainya atau tidak. Tidak. Itu jelas.

Kadang, aku juga ingin bersekelompok dengan gadis-gadis keren di sekolah, yang selalu menarik perhatian. Tetapi, hal itu sepertinya tidak mungkin. Menjadi bagian dari mereka. Semua ini berawal pada saat aku di sekolah dasar. Kelas 1.

-#-

Gadis cilik bergigi kelinci dengan hidung mungil berjalan riang di lapangan sekolah yang luas. Lapangan itu menghubungkan gedung SD dengan gedung SMP yang sebelahnya terdapat lapangan basket. Ia berbelok mengitari pos satpam kecil dan berjalan lurus ke ruang kelas yang berisi anak ingusan sepertinya.

"Hei! Kalian sedang apa?"gadis itu berhenti di ambang pintu kelas, memandang sekerumunan gadis-gadis cilik lainnya yang balik menatapnya.

Salah satu dari sekumpulan gadis ingusan itu berdiri, mencibir. "Gak usah ikut campur! Kamu bukan bagian dari kita!"

Beberapa dari mereka mengiyakan dan mendukung. "Kamu gak pakai sepatu ballerina! Jangan dekat-dekat kita! Yang mau berteman dengan kita harus pakai sepatu ballerina!"

Gadis cilik di ambang pintu tertegun. Ia mengangguk pelan. Lalu berlari keluar dari kesengsaraan itu.

Mungkin bagi kalian yang tidak merasakan, itu benar-benar hal konyol. Tetapi gadis cilik itu menganggap hal itu adalah kejadian paling menyedihkan di hidupnya. Ia cepat-cepat pulang dan bertanya kepada mamanya. "Ma, kita punya sepatu ballerina gak?"

Mama gadis itu menoleh, mendapati anak perempuan satu-satunya berada di sebelahnya. "Punya, nak. Tapi sudah rusak. Kenapa memangnya?"

"Gak apa-apa ma! Dimana sepatunya?"gadis cilik itu berseri-seri. Dia mengikuti mamanya yang membuka-buka rak sepatu, lalu mengeluarkan sepatu ballerina yang sudah kusam dengan warna pudar.

"Tuh, bawahannya sudah robek. Sudah tidak bisa dipakai lagi ini."kata mamanya dengan prihatin.

Gadis cilik itu tak peduli. Ia mengambil sepatu ballerinanya dan berencana untuk memakainya besok sekolah.

Esok yang ditunggu-tunggu pun tiba. Gadis cilik itu pergi menemui sepatu usangnya dan bergegas memakainya. Sepatu yang kulitnya sudah mengelupas, talinya sudah hilang, dan agak kebesaran baginya. Ia benar-benar tidak peduli. Dengan berseri-seri, ia menunjukan sepatunya kepada para gadis-gadis kemarin untuk menjadi bagian dari mereka.

"Ih sepatu ballerina siapa? Masih bagus kok! Ayo ke kelas sama kita!"salah satu dari gadis itu tersenyum melihatnya. Lalu mengamit lengannya.

Gadis cilik dengan sepatu usang itu tersenyum balik dengan muka berseri-seri. Ia menyambut tangan temannya itu dengan cerita. Lalu pergi berjalan ke kelas bersamanya.

UpturnedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang