"Ketika pagi tak bermentari,awan hitam datang dan basahi bumi.Namun indahnya pelangi hiasi hari ketika awan hitam telah pergi...."
****
Ia duduk di depan jendela seraya mengamati air hujan menampar kaca jendela. Tampak langit sangat gelap di luar sana,seolah mewakili perasaannya saat ini . Yang terdengar hanyalah suara gemericik air hujan mengenai atap.Ia duduk terdiam sepanjang hari,menekuk lututnya dan meringkuk menahan dingin.Meskipun begitu,ia tak berniat beranjak sedikit pun dari tempatnya.
Rasa jenuh mulai hinggap dalam hati dan pikirannya.Perlahan ia menggerakkan tubuh lemasnya berdiri di depan jendela. Ia masih belum bisa melihat dengan jelas karena langit semakin gelap dan hujan kian deras. Ia terus menerawang jauh seperti mencari sesuatu namun ia tak tahu persis apa yang sebenarnya ia cari. Mungkin mencari jawaban atas kerisauan hatinya saat ini.
"Ini makan sore untukmu."suara seseorang yang tak lagi asing ditelinga membuyarkan lamunannya.
Ia beranjak dan duduk di tepi ranjang. "Terimakasih."
Si gadis tersenyum."Sama-sama.Bagaimana keadaanmu?Apa kau masih merasa mual?"
"Ya. Sama saja."jawabnya singkat.
"Mungkin itu sebagian kecil akibat dari proses pengobatanmu."
Ia tersenyum canggung. "Kak, Bolehkah aku bertanya satu hal padamu?"lanjutnya
"Baiklah. Apa itu?"
"Kemana orang pergi setelah meninggal?"
Seseorang yang di panggil kakak atau Dinda lebih tepatnya, terdiam dan membelalak. Untuk beberapa saat,ia tidak tahu harus berkata apa. Ia berdeham sekedar untuk mengusir ketegangan diantara mereka . Dinda berusaha untuk menghindar,ini adalah topik yang begitu sensitif. Tapi,sorot mata pemuda dihadapannya tampak berbinar menanti jawaban darinya.
"Kenapa kau bertanya seperti itu? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"tanya Dinda setelah terdiam beberapa saat.
"Tidak...Tidak sama sekali. Aku hanya ingin tahu jika kelak aku meninggal kemana nantinya aku harus pergi."ujar pemuda itu lirih.
"Jangan bicara seperti itu." Dinda mengedikkan bahu. "Entahlah,aku juga tidak tahu pasti.Mungkin mereka akan mengalami reinkarnasi. Merasakan kembali kehidupan kedua setelah dilahirkan kembali menjadi orang lain. Mungkin?"
Seulas senyum tampak menghiasi wajah pucatnya. Ia tampak berbinar mendengar jawaban dari Dinda suster yang satu tahun belakangan ini merawatnya.Meskipun ia tak terikat hubungan darah sama sekali,entah mengapa Ali merasa lebih nyaman memanggilnya dengan sebutan kakak, sekalipun hubungan mereka hanya seorang perawat dan pasien. Tapi, bagi Ali hanya Dinda lah yang mengerti perasaannya.
"Lalu?"tanya Ali antusias
"Entahlah.. tidak ada yang mengetahuinya secara pasti,Ali." Dinda melihat raut kekecewaan di wajah Ali. "Itu rahasia Tuhan."lanjutnya.
Ali terdiam. Ia mengerucutkan bibir merasa tidak cukup puas akan jawaban yang diberikan oleh Dinda. Ali masih ingin bertanya sesuatu pada Dinda namun ia urungkan karena ia tahu Dinda tidak akan bersedia.
"Maaf Ali,aku harus mengantarkan makan sore untuk pasien-pasien yang lain. Cepatlah kau makan lalu istirahatlah!" seru Dinda.
Ali mengawasi kepergiaan Dinda dengan rasa kecewa dihatinya. Ia kembali menatap kaca jendela dihadapannya, ternyata hujan sudah mulai mereda di luar sana. Ia harus mencari dan memastikan sendiri jawaban atas pertanyaan yang selama ini mengganggu pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Wish...
RandomAku tak akan menyia-nyiakan hidupku untuk memikirkan bagaimana cara untuk memperpanjangnya,karena satu kalimat yang selalu aku yakini "Engkau akan direnggut waktu..."