Bintang yang jauh di sana pun tahu bahwa ada seorang gadis yang menunggu seorang pemuda menghampiri seperti perjanjian di sore hari. Ya, aku. Aku menunggu dalam kesunyian. Sekian detik serasa sekian tahun lamanya duduk di taman kota ini. Sesekali aku melihat ke atas, berharap bintang-bintang itu mampu mengisinspirasiku untuk tetap menunggu.
“Sedang menunggu siapa?” bisikan lembut itu menyapaku dari arah belakang, begitu dekat di telinga. Aku tahu itu suara siapa. Sebelum menoleh ke belakang, aku tersenyum. Penantianku telah berakhir. “Kamu ke mana aja? Aku nungguin udah hampir sejam nih.” Kataku masih belum menoleh ke belakang.
“Ke mana ya? mau tahu aja atau tahu banget?” katanya sedikit bercanda.
“Sialan, duduk sini!” Kataku sambil menepuk tempat duduk yang berada di sebelah. Ia menurut. Ia duduk dan meletakkan tangannya ke atas sandaran kursi yang ada di belakangku. Aku menoleh ke belakang, memperhatikan tangannya.
“Kenapa?” tanyanya, tersenyum. Aku menggeleng. Aku mulai gugup. Aku diundang olehnya ke sini dengan perjanjian bahwa aku akan mendengarkan sesuatu yang harus diucapkan olehnya malam ini, katanya. Aku pun menoleh ke arahnya, “Jadi, kamu mau ngomong apa?”
Tersenyum, ia menjawab, “Kamu kenapa nungguin aku di sini? Hampir satu jam lagi?”
“Lah.. kan udah perjanjian kalau kita bakalan ketemu di sini. Kan kamu yang ngajak? Gimana sih?” jawabku sedikit kesal. Seakan-akan, ia tak bersalah setelah membuatku menunggu hampir satu jam.
Tersenyum, lagi-lagi, ia berkata, “Satu jam sama satu tahun lebih lama mana?”
Retorika, pikirku. “Ya satu tahun lah. Gimana sih?” aku semakin tak mengerti arah pembicaraan pemuda ini. Dengan cepat, ia memegang tangan kananku dan memakaikan cincin perak ke jemariku. Refleks, aku pun menarik tangan dan mulai memunculkan mimik terkejut. Sebal? Jelas.
“Apaan nih?” tanyaku, walaupun aku sedikit senang ada sesuatu yang ‘sakral’ melingkar di jariku, aku harus tetap menanyakan kejelasan apa maksud dari semua ini.
“Gini, kamu mau kita buat perjanjian? Tunggu aku satu tahun lagi.”
“Ha? Buat apa? Kamu mau ke mana?” tanyaku, sedikit panik namun kupastikan bahwa ia tak akan mengetahui kepanikan itu.
“Nggak usah panik gitu. Aku mau ke Amrik. Ada pertukaran pelajar, aku kepilih. Hehe. Cincin itu.. Jaga-jaga aja kalau ada sesuatu dan aku belum mengatakan ke kamu..”
“Astaga, kamu sok banget sih… emang hubungannya dengan cincin ini?” tanyaku, aku sedang berharap ia mengatakan sesuatu.
“Masa, kamu nggak ngerti? Ada banyak hal yang tidak perlu diungkapkan. Namun, cukup direalisasikan dan membiarkan orang melihatnya dan tahu. Hanya itu. Karena, jika perasaan ini sering diungkapkan terlalu lama, aku takut itu akan menguap bukan malah tumbuh menjadi perasaan yang indah. Karena, memiliki perasaan ini adalah kebahagiaan.” Kemudian ia menoleh ke arahku. Sontak, aku terkejut. Aku mulai amburadul. Aku terpesona dengan kata-kata yang menggambarkan perasaannya selama ini.
“Ada yang kamu bingungkan dengan perasaanku sekarang?” tanyanya, aku menggeleng.
“Sekarang, aku harus duduk diam dan menunggu, gitu?”
“Yah, mungkin. Apa yang melingkar di jarimu cukup mempertegas ke orang lain kan statusmu seperti apa? Semuanya akan jelas setahun lagi, ya.. setahun lagi.”
“Hmm…”
“Dan, aku rasa.. mana ada lelaki yang berniat melingkarkan benda itu di jari seorang perempuan tanpa membuat komitmen dalam dirinya kecuali ia pecundang?” katanya meyakinkan. Ada satu hal yang aku benci dari pemuda yang aku cintai lebih dari tiga tahun ini, yaitu ketika ia telah berhasil membuatku melayang dan ia tetap mengajakku terbang. Aku benci karena dia selalu berhasil membuatku jatuh dalam rasa yang orang-orang sebut mahadaya. Cinta.
