Happy reading! And sorry for typo(s)! XD
=÷Aku÷=
Di sini hanya, aku. Si gadis bertubuh dikatakan pendek, tidak. Tinggi, juga tidak. Jadi ya, sedang sajalah. Hobiku suka mengamati dia. Dia yang selalu hadir di hari-hariku yang flat. Oh ya, namaku Bella Natasha. Aku kelas sebelas di SMA Global Merdeka.
Aku bisa dikatakan pintar di bidang olahraga, tapi payah dibidang akademik. Tapi kalau non akademik, jangan dipertanyakan. Bramantio Saputra. Dia adalah idola ku selama aku bersekolah di SMA Global Merdeka. Cowok dingin yang mempunya kharisma yang mematikan. Dia berbanding terbalik denganku. Dia bisa dikatakan jenius di bidang akademik, tapi kalau non akademik dia payah sekali. Kenapa? Baru lari lima putaran lapangan, dia sudah batuk-batuk. Tapi dia berhasil mengalahkan Dino--pemenang lomba sains se-nasional-- dan digantikan dengan Bramantio Saputra, omong-omong. Keren kan? Pacar siapa dulu dong. Pacar orang.
Miris.
Aku menyukainya sejak duduk di kelas sepuluh SMA. Saat itu kami tak sekelas, tapi dia selalu ke kelas ku untuk mencari Fay--pacarnya-- yang sekelas denganku. Aku tak ingin jadi PHO, jadi, aku putuskab untuk menjadi secret admirer saja.
"Bel!" Seseorang meneriaki namaku. Aku sudah hapal siapa yang memanggilku. Aku berbalik dan menatapnya malas.
"Apa?"
"Jangan jutek-jutek lah, bagi duit dong," Rey menunjukkan cengiran khas nya. Ini biasa. Dan pasti akan berakhir dengan--
"Jangan suka malak,"
--suara dingin milik Tio.
Rey mendecak, ia menatap Tio malas. Sukurin. "Apa urusan lo sama gue yang minta duit ke Bella?" Rey menaikkan sebelah alisnya, seperti menantang. Ah, aku jadi gemas sendiri. Bisa dipastikan, Tio akan menjawab 'Pergi, atau gue laporin ke BK.' Tunggu saja.
1
2
3"Pergi, atau gue laporin ke BK." Suara dingin milik Tio membuatku merinding. Wajahnya tampak tenang. Tapi mampu membuat siapa saja gemetar.
Rey mendesah kesal, lalu pergi meninggalkan aku dan Tio. Kami sekelas, omong-omong.
"Makasih ya, Tio," Kataku sambil menunjukkan senyum terbaikku. Dia hanya menggumam dan kembali ke bangku nya lalu memainkan ponselnya. Aku berjalan ke arahnya. Entah untuk apa. Tapi aku sangat penasaran apa yang ia lakukan dengan ponselnya.
"Apa?" Tanyanya ketika sadar aku berada di sebelah mejanya. Dia menatapku heran.
Oh God! Matanya bagus banget, batin ku.
"Apa?" Ulangnya sekali lagi. Aku tersentak dan langsung menarik bangku di depan meja Tio dan duduk di sebelah mejanya.
"Emm, Tio, lo kan pinter Fisika sama matematika, eh, nggak ding, lo kan pinter semuanya, ajarin gue dong!" Aku menatapnya penuh permohonan. Tapi yang akan aku dapatkan adalah--
"Nggak."
--jawaban singkat yang sudah aku hapal di luar kepala. Memang, aku sering mendekatinya hanya sekedar berbasa-basi untuk belajar bareng. Tapi sialnya, dia seperti tahu apa tujuanku; modus biar bisa dekat. Apa dia cenayang? Atau bisa baca pikiran orang? Hih seram.
"Nggak," Ucapnya lagi. Iya, aku denger kok, sayang. Eh?
"Iya. Gue denger kok," Aku berdiri dari bangku, yang kuketahui milik Cika.
"Bukan itu. Gue bukan cenayang, Bel," ucapnya memberhentikan pergerakanku. Tuh, kan, masa sih bukan cenayang? Ini horror.
"Hmm, yaudah deh. Gue ke luar dulu," Kataku. Dia hanya mengangguk dan kembali fokus pada ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku
Teen FictionPada kenyataannya, hanya aku yang berjuang. Hanya aku yang mempertahankan. Hanya aku yang berusaha membuat keadaan berubah. Hanya aku.