(17) Seventeenth

1.2K 110 7
                                    

Affan POV

Aku sudah sangat muak atas semua tingkah Thalia. Dia sungguh kekanakkan. Tubuhnya saja yang tinggi dan langsing, tapi jalan pikirannya seperti gadis belia. Padahal di usianya yang 24, seharusnya dia bisa untuk mengesampingkan egonya dan mengerti dengan segala kesibukanku. Bukannya malah mengambek dan berharap aku mengejarnya. Itu tidak mungkin. Aku tidak menganggapnya penting dalam hidupku. Dia hanya menambah bebanku setelah sebelumnya aku belum berhasil memiliki Zamo seutuhnya. Otakku semakin diperkeruh dengan adanya sebuah proyek besar yang ditawarkan pada perusahaanku. Aku harus memikirkan ini matang-matang dan tidak boleh gegabah. Aku juga harus mempertimbangkan setiap untung dan rugi yang diperoleh. Apalagi ayah mempercayakan semuanya padaku sehingga Sam sangat iri dan sering menyinggung perasaanku.

Soal Zamo, aku merindukannya. Gadis kecil yang tidak bisa memalingkanku pada wanita lain. Di usianya yang 20, dia sangat menggemaskan dengan sikapnya yang pandai beradaptasi denganku. Kekerasan kepalanya malah membuatku gila dan merasakan cinta buta layaknya abg labil. Semakin aku mengingatnya, terlintas bahwa aku harus menghubunginya. Aku akan mengajaknya dinner nanti. Membuat dirinya terpukau yang semakin memperdalam niatnya untuk melanjutkan kisah cinta kami.

My little girl, berdandanlah yang cantik karena nanti malam aku akan menjemputmu. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.

Kulihat tidak ada laporan pengiriman. Tidak biasanya. Apa mungkin tidak ada sinyal disini? Oh, come on, tidak mungkin. Lalu, baterainya habis begitu? Hm, mungkin saja.

Kembali kulanjutkan pekerjaan. Aku tidak sabar menunggu jam kerja berakhir. Ingin rasanya mempercepat waktu. Setelah sampai di apartemennya, aku akan memeluknya. Rindu ini tidak ada ujungnya.

"Brengsek!!" aku terkejut dan mataku teralih pada layangan tinju yang diberikan oleh Sam. Pukulan yang tepat dan mengenai pipi kiriku. Ada apa dengannya?

"Hei, apa yang kau lakukan? Ketuk pintu dulu!" hardikku. Aku meringis kesakitan pada nasib pipiku. Tidak habis pikir dengan tindakan anehnya.

"Seharusnya aku yang menanyakan itu. Apa yang kau lakukan pada Thalia? Kau membuatnya menangis sehingga para karyawan menatapnya dengan heran. Mereka pasti memikirkan hal yang tidak-tidak tentang hubungan kalian," mata Sam berapi-api dengan tangan mengepal, namun suaranya cukup stabil.

"Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya bekerja di ruangan ini," jawabku santai.

Dia mendengus, "Kau telah melukai seorang perempuan dan kini kau tidak mengakuinya? Huh, pengecut sekali, bisanya mengelak dan menyembunyikan kesalahanmu."

Alisku bertaut, "Sejak kapan kau peduli pada wanita? Bukannya selama ini kau yang selalu menyakiti kaum mereka. Berganti-ganti pasangan dan memanfaatkan mereka. Sekarang siapa yang lebih pengecut dan bajingan? Aku atau kau, Sam?!" tunjukku tepat di dadanya. Ia tampak tak suka.

"Aku? Kau melibatkan aku seolah kau yang paling benar. Kau hanya tidak tahu apa alasanku melakukan itu pada mereka. Menuduhku adalah kebiasaanmu dari dulu. Tatapan bencimu padaku dan ibuku yang kau berikan ketika pertama kali kami menginjakkan kaki di rumahmu. Aku tidak berniat untuk memusuhi adikku sendiri, tapi kau yang lebih dulu memulainya, Affan. Selama ini aku diam menanggapi sikap ayah yang selalu mengutamakan dan mementingkanmu daripada aku. Sekarang, tidak lagi.."

"Jadi, kau sedang menipuku dengan kebohonganmu itu? Agar aku bersimpati setelah mengetahui masa lalumu yang suram mungkin? Itulah kau yang tidak berperasaan. Menilai cinta sebagai sesuatu yang bisa dipermainkan. Memanfaatkannya selagi ada dan membuangnya kalau sudah bosan. Bayangkan saja bila Trian yang diperlakukan seperti itu oleh lelaki lain. Bagaimana perasaanmu melihat ibumu hancur oleh tangan-tangan yang telah handal memainkan perasaan wanita? Itu pula yang dirasakan oleh wanita yang telah kau hancurkan. Meskipun mereka dengan bodohnya melakukan apapun demimu, tapi yakinlah suatu saat mereka akan menyesal karena harus menanggung akibatnya," jelasku. Buku-buku jari Sam telah memutih. Tangannya semakin terkepal kuat.

Perfect StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang