Bagian II : Lari dari kenyataan

1.4K 226 19
                                    


.
.
.

Membicarakan tentangnya entah mengapa menjadi bagian tersulit yang pernah kulakukan.

Aku pernah begitu bahagia, bahkan hanya dengan mendengar namanya. Namun kini, mendengar nama itu bagaikan menyayat kembali luka di hatiku dengan sembilu berkarat. Rasanya perih dan menyakitkan.

Sejak kejadian di hari kelabu itu, aku sudah berulang kali mencoba menghubunginya. Jangan kira aku mau menerima pemutusan -atau penundaan (katanya) - begitu saja tanpa penjelasan. Lalu apa yang harus aku lakukan pada mereka yang bertanya mengapa pernikahan ini tak jadi digelar? Sementara undangan sudah disebar, segala tetek bengek keperluan menjelang hari-H pun sudah disediakan.

Apa yang salah? Ada dimana masalah hubungan kami ini? Setelah dia dan keluarganya pergi tanpa memberi penjelasan memadai, dia kini menghindariku juga. Pemuda itu memblokir seluruh aksesku untuk menghubunginya. Sebegitunya dia ingin lepas dari bayang-bayangku hingga tak menyisakan sedikitpun ruang bagiku untuk mempertanyakan sikapnya.

Dia... pemuda yang meninggalkanku itu adalah pemuda yang sama yang menemani hari-hariku se-tahun belakangan ini. Pemuda yang sama yang memperkenalkan diriku pada keluarga besarnya. Pemuda yang sama yang menemui kedua orangtuaku untuk menunjukkan keseriusan serta kesungguhannya. Pemuda yang sama yang membuatku merasa bahwa kali ini cinta layak untuk dipercaya.

Jika aku dapat menemuinya, aku ingin sekali bertanya, aku hanya ingin bertanya, ALASAN di balik sikapnya padaku. Tapi aku ditinggal begitu saja tanpa penjelasan. Dan satu tahun bersama dengan waktu pernikahan yang sudah membayang di pelupuk mata, ketidak-cocokan dijadikannya kambing hitam.

Apa dia takut aku akan mengemis cintanya jika kami bertemu? Apa dia merasa aku akan menggunakan airmataku untuk meminta iba darinya? Aku tak pernah berhasrat dengan hubungan yang sudah tak lagi hangat. Untuk apa aku memperjuangkan sesuatu yang orang lain sudah menyerah untuk mempertahankannya.

Karena itulah, sejak aku tahu dia memblokir seluruh aksesku untuk menghubunginya, aku tak pernah sekalipun kembali mencoba. Nama itu, nomor itu, alamat itu sudah menjadi bagian dari masalalu yang akan kusimpan di kotak pandora. Terlarang untuk kembali dibuka.

Akan kulupakan semuanya. Lalu berdamai dengan kenyataan. Entah kapan...

-----000000-----

"Lo nggak makan dulu?" Gadis manis berkacamata itu menghampiri sahabat karibnya yang tampak termanggu duduk ranjangnya. Sejak datang tiba-tiba ke rumah Kinan, Yuki memang belum menceritakan apa yang menjadi bebannya. Beban yang membawa sepasang kakinya melangkah ke kota Jogjakarta ini.

"Nggak laper." Jawab gadis cantik itu singkat sambil memaksakan diri tersenyum. Yuki dapat merasakan bagaimana otot di sekitar wajahnya tegang karena untuk tersenyum saja ada perasaan aneh yang menjalarinya. Gadis itu rasanya lupa bagaimana caranya tersenyum.

"Paling nggak perut lo diisi dulu lah. Kita jalan aja yuk? Naik ke bukit bintang?" Tawar Kinan sambil membujuk kawan karibnya ini. Dari raut wajahnya, Kinan dapat membaca sebuah beban berat yang tengah menggelayuti sahabatnya itu.

"Besok aja ya? Hari ini gue lelah, Nan. " tolak Yuki halus. Dia memang merasa sangat lelah, baik secara fisik maupun mental.

"Ada apa sih sebenernya? Apa yang terjadi antara lo sama Al?" Kinan memberanikan diri bertanya. Lalu sepasang matanya dapat menangkap perubahan di air muka kawan karibnya itu.

Al... Al... Al...
Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali dia mendengar nama itu. Mungkin beberapa hari, atau mungkin juga bertahun-tahun, karena rasanya sangat lama...

A Gift From GOD ( AL/YUKI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang