Bagian III : Di Tubir Kematian

1.2K 232 22
                                    

.
.
.

Rasanya seperti mengunyah bara api.

Aku merasa tenggorokanku terbakar. Rasa sakit yang tiba-tiba menyergap kerongkonganku, rasa panas yang tak mampu kujelaskan, lidahku mengecap rasa bahan kimia keras yang membuatnya mati rasa. Yang aku tahu, saat cairan itu menelusup ke sel-sel tubuhku, aku merasa seperti hewan yang terjerat dan terperangkap. Tubuhku hanya mampu mengejang sebagai perlawanan terakhirnya.

Aku memuntahkan sisa cairan pembersih yang tak mampu kutelan lagi. Bercampur darah dan dahak. Aku mencoba bernafas, namun rasanya begitu menyakitkan. Bagaikan ada godam yang secara subversif menghantam dadaku dengan brutal. Bernafas pun rasanya amat menyakitkan.

Aku menggelepar, mataku mulai berkunang. Pandanganku rasanya mulai tak lagi fokus dan kabur. Bagai melihat bayang-bayang. Bibirku bergetar hebat bahkan hanya untuk menggumamkan nama-nama yang kuingat.

Di ujung ingatanku, aku melihat keluargaku. Ayah dan Ibuku. Aku melihat Kinan, sahabat karibku. Aku melihat mereka bertiga, memandangku dengan pandangan sedih. Mereka jauh, begitu jauh. Hingga saat aku berusaha menggapai tangan mereka, tetap saja tak sampai.

Lalu aku melihatnya. Aku melihat seraut wajah tampan yang begitu kukenal. Hidungnya yang bangir bak abjad kuno, tatapan mata tajam bak elang, lekukan alis yang menawan sempurna, aku kenal wajah itu. Tentu aku mengenalnya. Setahun terakhir tak pernah aku lewatkan sehari pun tanpa memandang wajahnya, baik melalu foto-foto yang dipajang di media sosial kami maupun bertemu dengannya secara langsung.

Aku melihat wajahnya membentuk sebuah senyuman. Bahagiakah dia melihatku berada di tubir jurang kematian? Apakah ini yang pemuda itu harapkan? Kematianku mungkin akan menjadi hal yang dia syukuri, setidaknya dia tak perlu terlibat dalam hal apapun lagi denganku.

Aku benci melihatnya tersenyum. Aku benci dengan caranya tersenyum. Aku benci !!!

Tiba-tiba tubuhku terasa kaku, jiwaku bagai sedang dilucuti oleh kematian. Kepayahan, aku mengatur nafas. Terengah, aku berusaha bergerak. Untuk mengusir bayangnya. Aku tak sudi di saat kematian menjemput, aku justru teringat sosoknya.

Aku pernah mencintaimu, sangat. Bahkan meski enggan mengakui hingga saat ini pun rasa itu tak berubah.

Aku malu mengakuinya. Betapa bodohnya diriku. Meski sudah dicampakkan, aku masih terbayang wajahnya di saat terakhirku di dunia.

Tuhan, maafkan aku.

Tiba-tiba seberkas cahaya putih, begitu terang dan damai seolah menyelimutiku. Aku tak tahu bagaimana caranya, namun seolah aku terhisap ke dalam cahaya itu. Tak ada yang mampu aku lihat di sekelilingku kecuali sinarnya yang damai dan menenangkan.

Aku merasa melayang. Jauh. Hingga sebuah tempat seolah tanpa batasan waktu.

Inilah akhir hidupku.

-----000000------

Kinan dapat merasakan tangannya bergetar hebat. Meski saat ini Yuki sudah mendapat perawatan medis di salah satu rumah sakit, Kinan masih tak dapat mengenyahkan bayang-bayang mengerikan saat gadis berkacamata itu menemukan sang sahabat tengah menggelepar meregang nyawa di lantai kamar rumahnya. Rupaya gadis cantik yang sudah menjadi sahabat baik sejak mereka masih duduk di sekolah dasar itu nekat meminum cairan pembersih kamar mandi yang memang selalu tersedia di toilet kamar mandi rumahnya.

A Gift From GOD ( AL/YUKI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang