Bonds

101 1 0
                                    

"Anda terlalu terikat dengan banyak orang, tuan Jeffrey" kata seorang wanita dengan rambut panjang sepaha yang tengah duduk sambil memandangi langit yang cerah namun berawan hari itu.
"Lalu?" Seorang pria muda yang tengah duduk di kursi malas bertanya tanpa melirik dan melanjutkan membaca novel pinjaman dari perpustakaan.
"Anda harus menghentikannya" balas wanita itu yang kemudian mengubah posisinya agar mudah untuk menatap si pemuda.

Pemuda dengan gaya rambut undercut itu menutup novelnya, memutar kursinya menghadap si wanita dan membenahi posisi duduknya agar lebih tegap. Tatapannya terlihat serius.

"Kau tak berhak mengaturku, Adrianna" lelaki muda yang dipanggil Jeffrey itu menatap tajam, membuat bulu kuduk wanita bernama Adrianna tersebut bergidik.
"Tidak, maksud saya bukan melarang Anda untuk berhubungan dengan orang lain. Hanya saja Anda tahu 'kan apa konsekuensi yang harus Anda jalani nantinya" suara wanita itu agak bergetar.

Pemuda itu menutup matanya, kemudian menghela nafas panjang. Iris emeraldnya memalingkan pandangan dari Adrianna, otaknya tengah berpikir kata apa yang cocok sebagai balasan.

"Aku tahu" katanya dan kembali menutup matanya, ia sedikit membungkuk dengan kedua tangan bertengger di pahanya sementara jarinya bersentuhan satu sama lain.
"Tapi, aku tidak bisa hidup sendiri terus. Sejak aku masuk sekolah ini, aku selalu sendirian. Sampai akhirnya di tahun ke enam aku tak bisa menahan diri lagi untuk bersosialisasi. Kau tahu 'kan alasanku berbuat nakal selama 5 tahun kemarin?" Lanjutnya. Adrianna mengangguk.
"Saya tahu, sayalah saksi dari semua kenakalan Anda." Balasnya.

Zwei Jeffrey Anderson, sejak masuk tahun pertama selalu berbuat hal yang dilarang. Membuat beberapa professor yang mengajar kewalahan, padahal hanya seorang anak kecil. Tapi ia melakukannya bukan hanya sekedar iseng, namun ia ingin agar orang lain mengenalnya lebih dulu. Sejujurnya, kelakuan nakal lebih mudah diingat daripada perilaku baik.

Adrianna menatap Zwei yang menyisir rambutnya dengan jari, ia hanya bisa menatap pasrah tuannya yang kelihatannya sedang bingung,
"Tuan, saya sarankan sekali lagi untuk memutuskan hubungan dengan mereka sekarang juga"

Kata-kata itu membuat Zwei terhenti, ia melirik Adrianna dingin. Bahkan kekehan yang biasa terdengar dari mulutnya sama sekali tak tampak. Lagi-lagi ia menghela nafas. Kali ini lebih berat.

"Tak adakah pilihan lain? Selain memutuskan hubungan dengan mereka?" Tanya Zwei masih dengan tatapan serius yang dibalas dengan gelengan kepala Adrianna.

"Tuan, di dunia ini hanya ada 'yang memakan' dan 'yang dimakan'. Sebelum Anda dimakan, Anda harus memakan yang lain agar bisa bertahan hidup. Aku mengerti Anda menganggap mereka sangat berharga, tapi kalau seperti ini terus lama-lama satu persatu dari mereka akan kena imbasnya. Anda tidak mau itu terjadi kan?" Andrianna membalas tatapan serius Zwei, yang terasa lebih menyesakkan,

"Selama ini Anda selalu memilih melindungi mereka daripada melindungi diri Anda sendiri. Ingat kejadian saat di Whomping Willow? Anda melindungi seorang anak tahun pertama yang terjebak di dalamnya hingga terluka parah. Anda bahkan membuat tongkat sihir anda patah sehingga tidak bisa menggunakan mantera penyembuh. Dan apa yang Anda katakan pada teman-teman Anda? Menyelamatkan seekor tupai hutan yang tak bisa turun dari dahan." Adrianna masih menatap Zwei, sementara sang pemuda hanya terdiam.

"Pada dasarnya, tupai itu memang tinggal di pohon. Ia tidak mungkin diserang oleh pohon bergoyang itu." Lanjut Adrianna, dengan nada agak kesal.

Untuk kali pertama dalam suasana dingin itu, Zwei terkekeh.
"Dan kau tahu reaksi apa yang kudapatkan saat masuk sekolah dalam keadaan compang-camping begitu?" Adrianna menaikkan sebelah alisnya

"Kekhawatiran, ketakutan, cemas. Semua mereka perlihatkan. Manusia itu terkadang menarik, Adrianna. Padahal mungkin aku mengatakan cerita palsu, tapi mereka tetap berbondong-bondong menghampiriku dan satu persatu mengobati lukaku." Lanjut pemuda dengan penampilan seenaknya tersebut. Adrianna bungkam.

"Aku memang tidak ingin mereka berhubungan denganku lebih jauh, tapi kau tahu, ketika kau menganggap sesuatu spesial, kau tidak akan pernah ingin melepasnya. Dan itulah yang aku rasakan sekarang"

Wanita yang berbusana gaya steampunk itu terdiam menyimak, memandang sepasang mata emerald di depannya yang bercerita dengan sinar mata yang menyilaukan, ia mengerti tuannya begitu menganggap hubungannya dengan teman-temannya begitu berharga. Sampai bahkan tuannya itu rela berkorban banyak demi mereka. Adrianna menatap sendu.

"Tuan,.. Jika mereka benar-benar seberharga itu, apa itu berarti Anda bersedia bertaruh nyawa?"

"Bahkan jika aku diminta untuk memberikan jantungku atau organ lain kepada mereka pun akan kulakukan" jawab Zwei cepat

Bahkan sampai seperti itu jiwa pertemanan yang kini bersemayam dalam hati Zwei. Jiwa yang sebenarnya menguntungkan, tapi juga merugikan.

"Tuan, biasanya orang akan memilih meninggalkan hal berharga bagi mereka untuk melindungi mereka dari hal jahat, tapi mengapa Anda.."
"Itu mainstream, Adrianna. Kau tahu aku ini orang yang rakus, serakah. Aku lebih memilih melanjutkan hubunganku dengan mereka sekaligus mencari cara untuk melawan kutukan itu. Efektif bukan?"
"Tapi, itu memakan banyak waktu. Tubuh Anda tidak akan kuat"
"Aku tahu, palingan dengan kondisi seperti ini aku hanya akan hidup sampai umur 30-40 an. Pendek"

Adrianna turun dari jendela kemudian berjalan ke belakang kursi Zwei, memijat pelan kedua bahu tuannya dengan raut wajah sedih
"Tuan,... Aku tak ingin memberitahu ini pada Anda, tapi hanya inilah yang bisa kulakukan untuk meyakinkan Anda" Adrianna menghela nafas panjang kemudian lanjut bicara,

"satu dari mereka semua sudah mati. Apakah Anda tidak menyadarinya?"

Pertanyaan itu membuat mata Zwei terbelalak, tenggorokannya tercekat, ia terkejut bukan main. Dengan segera ia menoleh kebelakang dan menatap Adrianna dengan tatapan yang tak bisa digambarkan

"Siapa!?" Tanyanya dengan nada agak tinggi
"Renatha..."

Renatha Lee, teman masa kecilnya yang berbeda tiga tahun dengan Zwei. Hubungan mereka bisa dibilang cukup dekat, sampai akhirnya Zwei masuk Hogwarts lebih dulu dari Renatha dan harus meninggalkannya sendiri. Meskipun akhirnya mereka bertemu lagi ketika Zwei berada di tahun ketiga, dan Renatha baru masuk Hogwarts.

"Jangan main-main denganku, Adrianna. Ini tidak lucu" Zwei menatap Adrianna kesal, wanita itu hanya menggeleng

"Bahkan sejak pertama kali mengabdi padamu, aku tak pernah main-main" tatapan sendunya masih melekat, suaranya pelan namun jelas terdengar di kamar sepi itu.

Zwei mengalihkan pandangan, ia menunduk memikirkan jalan terbaik. Satu korban sudah tumbang dan ia tidak bisa membiarkan korban lain menyusul.

"Aku.. akan berhenti dari sini. Dengan dalih pindah sekolah. Happy now?" Zwei melirik Adrianna dari sudut matanya, wanita bersurai panjang itu tersenyum tipis dan mengangguk.

"Aku akan beritahu ibumu, dan akan kembali secepat mungkin" Adrianna berjalan menuju jendela, mengepakkan kedua tangannya dan berubah menjadi seekor burung hantu besar, meninggalkan Zwei terdiam di kursinya.

"Renatha..." gumamnya.

BurdenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang