"Sarapan!" teriakku. Tepat setelah roti bakar dengan telur goreng dan segelas susu tertata rapi di meja makan.
Pagi ini cerah. Sinar matahari menerobos masuk lewat kaca jendela besar dapur ini. Sinar emas memantul dari permukaan air kolam yang biru, membuatnya tampak seperti bertabur glitter yang cantik. Burung-burung berkicau bersahutan diantara deretan pohon palem rumah ini. Dan sebuah pohon besar dengan rumah pohon yang sederhana menjulang tinggi.
Aku membalik badanku. Berjalan menuju sebuah ruangan di lantai 2. Kubuka ruangan dengan pintu cokelat tua yang besar. Kulihat seorang lelaki dengan postur tubuh tinggi masih tertidur dengan pulas. Di ranjang yang lebih kecil, seorang bayi kecil dengan celana panjang sudah mulai bangun dan mengucek matanya.
"Mama!" serunya. "Loby tidak ngompol!"
Aku tersenyum sambil mengecup lembut dahinya. Ia lalu merangkak turun dari ranjang kecilnya.
Namanya Roby Alexander Eduardo. Sama persis seperti nama marga ayahnya. Anak ini adalah hasil pernikahanku selama 3 tahun dengan Aron.
Sebenarnya...
Kami memiliki 2 anak. Roby dan Dalton. Dalton adalah anak yang kami ambil dari panti asuhan Jerman tepat setelah kami menikah disana. Ia masih berumur 10 tahun saat itu. Sekarang, ia bersekolah di Amerika dan tinggal bersama Leo dan istrinya.
"Apa salapan sudah siap, Ma?" tanyanya. Ia memang sulit untuk melafalkan huruf 'r' dengan mudah. Maklum, ia belum bersekolah dan masih suka bermain di rumah.
"Sudah, sayang. Ayo mandi dulu," jawabku sambil menggendongnya.
Setelah Roby selesai mandi, ia segera berlari keluar dari kamar mandi dengan celana dalam di kepalanya.
"Roby!" pekikku. "Roby! Lepas celana itu!"
Ia masih berlari sambil tertawa-tawa.
"Rob –"
"Monstel beltanduk!" jeritnya.
"Siapa yang bilang monster bertanduk?" suara seorang lelaki dari atas mengehentikan Roby untuk sementara. Oh! Dia sudah bangun, rupannya.
"Waaaaaaaaaaa!!" Roby menjerit dan berlari kesana kemari ketika melihat ayahnya menuruni tangga.
"Hentikan, Roby. Waktunya sarapan," kata Aron.
"Oke, Papa.." jawabnya sambil melepas celana di kepalanya dan menghampiriku untuk memakaikan pakaiannya.
"Paman Landon akan datang berkunjung hari ini. Apa Roby kangen Paman Landon?" tanya Aron.
"Ya! Ya! Loby kangen Paman Landon!" jawab Roby bersemangat.
Aku masih ingat bagaimana Landon membelikan berkotak-kotak es krim rasa bubblegum untuk Roby, dengan alasan ia kangen dengan sebutan lamaku. Ia juga pernah membakan mobil-mobilan dan lego untuk Roby.
"Apa dia akan datang dengan Jay?" tanyaku.
"Entah," jawab Aron. "Kudengar James mengajaknya ke Berlin untuk tukar berkas, tapi aku tidak yakin.."
Aku mengangguk tanda mengerti. Mereka makan dengan lahap. Itu yang membuatku senang. Melihat mata kelaparan mereka yang berbinar setelah menemukan masakanku. Ditambah lagi saat memandang wajah Aron. Aku semakin tidak percaya jika aku sudah bersama dengannya selama 5 tahun dan menghadapi segalanya bersama.
Ya...
Bersama...
Tiba-tiba, telepon di dapur berbunyi nyaring. Segera saja aku berlari dan mengangkat telepon itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
PRINCESS BUBBLEGUM
Romance"Kau akan menjadi bubblegum favoritku. Eh, ralat. Kau akan menjadi 'princess bubblegum' favoritku selamanya, bubby..." Bubblegum. Yah, permen karet. Semua berawal dari segelas minuman rasa permen karet. Dan dari situlah mereka memangilku dengan sebu...