Tentang Hatiku

507 29 7
                                    

Semenjak seminggu lalu, sesaat setelah kukatakan 'Ya' untuk pinangan Keenan -entah sudah untuk yang keberapa kalinya, aku tidak sepenuhnya ingat- suasana rumah ini lebih mirip pasar raya. Semua saudara datang silih berganti, entah apa yang mereka kerjakan.

Tepatnya aku mulai membenci rumahku, dimana damai dan sepi tak lagi kudapat. Bahkan kamarku, istanaku satu-satunya, tempat teraman dalam hidupku, harus aku relakan berbagi dengan beberapa saudara sepupu, yang kadang hanya setahun sekali kulihat. Itupun karena harus, di hari Lebaran, di rumah Kakekku.

Mama seorang yang sangat sosialis. Semua jenis arisan diikuti, arisan keluarga apalagi. Dan aku adalah orang pertama yang akan kabur, jika acara itu diadakan di rumah. Jangan harap!

Tapi sekarang adalah moment-ku. Ini adalah hariku ... dan payahnya aku tidak bisa menghindari apa pun. Karena maskot-nya adalah aku.

Aku yang harus tiap hari luluran. Yang harus ngepasin baju beberapa kali. Yang harus melaksanakan seabrek adat ini-itu. Kenapa menikah harus dibuat sedemikian rumit? Seharusnya hanya perlu datang ke KUA, tanda tangan, dan SAH! Sudah begitu saja.

"Yang menikah kan bukan cuma kita berdua, Vin! Tapi kedua keluarga kita juga," ujar Keenan lembut, saat aku sudah mulai gerah dengan serangkaian adat yang harus kulalui sebelum hari H.

Bahkan pada saat penentuan hari saja, membutuhkan waktu untuk menghitung. Entah apa yang dihitung? Bukanya semua hari itu baik? Bagiku hari itu sama saja, dimulai dari bangun pagi, lalu siang, kemudian sore, terus malam, TIDUR. Apa bedanya? Mau hari apa saja juga sama. Bukan berarti, pada hari yang ditentukan siangnya akan hilang, atau malamnya akan bertambah tiga jam, karena akan diadakan pesta.

Dan sekali lagi, Keenan hanya tersenyum lembut.

"Karena kita punya leluhur sayang, dan sebagian besar dari keluarga kita masih menjalankan tradisi itu, kita harus menghargainya."

"Masalahnya, kenapa harus dua bulan lagi?"

"Kenapa? Kamu sudah tidak sabar ingin jadi istriku?" ledeknya menahan tawa.

"Takutnya dalam kurun waktu dua bulan itu, aku berubah pikiran. Terus ... tidak mau menikah denganmu lagi. Bagaimana?"

Keenan hanya tersenyum.

"Mungkin, aku akan menikahi orang yang menghitung hari tersebut. Kenapa lama sekali? Sehingga pengantinku bosan menunggu, lalu kabur."

Keenan, semarah apa pun aku, dia hanya tersenyum dan mampu menentramkan hatiku. Mungkin itu, kenapa akhirnya kuputuskan 'Ya', mungkin dia orang yang tepat yang akan mendampingiku sepanjang sisa hidupku nanti.

Dan sebuah kata 'Ya' pun harus dengan beberapa syarat. Syarat yang kutahu dengan pasti, TIMPANG!

Merugikan Keenan dari segi apapun. Tapi dia menyetujuinya, demi satu kata 'Ya' dari bibirku.

"Aku mau, tapi ...."

Kupandangi pelupuk matanya, bibirnya menyunggingkan senyum, dan matanya selalu menatapku dengan penuh cinta.

"Aku tidak mau punya anak," imbuhku akhirnya.

"Sudah kuduga," senyumnya lagi.

Aku yang shock malahan. Kenapa bukan dia? Kenapa dia tidak marah?

"Demi kecintaanmu pada sepi, aku tidak berharap kehadiran seorang anak pun merusaknya. Kamu tidak perlu menghadirkannya," ucapnya sarat dengan pengertian dan cinta.

Detik itu, aku meneteskan airmata, demi cinta yang sudah kutahu sejak lama, tapi begitu nyata pengorbananya.

Dan, besok adalah hari pertama aku melaksanakan adat pingitan. Aku tidak boleh kemana-mana, dan tidak boleh ketemu Keenan. Seharusnya aku senang. Seandainya pingitan itu terjadi di rumahku yang sepi. Tapi kenyataanya, semua keluarga di sana, kakak-kakakku akan pulang.

TENTANG HATIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang