| 9 hari sebelumnya |
Tidak seperti hari-hari lainnya, hari ini semua murid tampak lebih bersemangat. Pasalnya, meskipun ini masih terhitung sangat pagi, ruang kelas sudah hampir penuh. Semuanya heboh membungkus kado, menulis surat, dan menyusun rencana untuk menyisipkan pemberian mereka ke loker atau kolong meja si pujaan hati. Yup, ini hari Valentine; momen yang pas untuk mengutarakan isi hati.
Sejujurnya, sempat terlintas di benakku untuk ikut menyiapkan kado dan memberikannya pada—ah, sudahlah. Aku terlalu malu untuk melakukan hal manis semacam itu. Segera kutepis jauh-jauh ide liar itu dan memilih berdiam diri saja di tempat dudukku.
"Andin." Aku mendongak saat seseorang memanggilku.
Dia berderap ke arahku, menyunggingkan senyum, lalu duduk di bangku milik Ratih yang tepat berada di depan tempat dudukku. "Nggak ikut bungkusin kado?" tanyanya basa-basi. Aku mendengus malas.
Dia Naufal Adrian, teman sekelasku yang sangat menganggu. Sudah lima kali menyatakan perasaan padaku dan sudah lima kali pula kutolak. Meskipun dia lumayan dekat dengan Bian dan Canda, aku berusaha sebisa mungkin untuk menjaga jarak darinya. Aku risih berada di dekatnya.
Dia sangat, sangat mengganggu.
Aku hanya mengedikkan bahu malas. "Nggak."
"Lo nggak lagi naksir siapa-siapa?" Dia kembali bertanya dengan nada manis yang justru membuatku muak. Aku memutar bola mata gemas. Memangnya dia tidak sadar aku sedang malas berbicara dengannya?
"Maaf nih, Fal, tapi urusan lo apa?" ketusku.
Naufal mengedikkan bahu. "Cuma ngecek saingan, kok," katanya. Dia selalu begitu—blak-blakan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya seperti tidak pernah dipikirkan terlebih dahulu. Itu salah satu alasan kenapa dia sangat menganggu. Dan masih banyak alasan lainnya.
Aku memilih tidak menggubrisnya dan berpura-pura sibuk dengan ponselku.
"Andin," panggil Naufal lagi.
"Hm?" Aku merespon tanpa mengangkat kepalaku dari ponsel—terlalu malas untuk melihatnya.
"Happy Val's Day, ya." Naufal meletakkan kotak kecil di mejaku dan mendorongnya lebih dekat kepadaku. "Gue cuma pengen lo tahu kalau perasaan gue belum berubah."
Aku melihat kotak kecil transparan itu; isinya cokelat yang bentuknya tidak karuan—membuat siapa saja yang melihat akan langsung membuangnya tanpa pikir panjang. Aku tertegun melihatnya. Dia membuatnya sendiri?
Saat aku mendongak untuk mengucapkan terima kasih, Naufal sudah berjalan ke bangkunya dan tidak menoleh lagi padaku.
Mungkin aku harus mengubah sikapku sedikit. Meskipun tidak menerima perasaannya, setidaknya aku harus belajar bersikap ramah padanya. Semengganggu apapun, semenyebalkan apapun, dia tulus menyayangiku.
"Andiniii!" Sapaan setengah berteriak itu kukenali dengan baik sehingga aku tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang memanggilku. Canda, siapa lagi manusia yang bersikap tidak tahu malu kepadaku selain dirinya? Oh aku lupa. Naufal.
Canda datang menghampiriku dengan senyum sumringah, kedua tangannya menggenggam beberapa batang cokelat. "Buat lo," katanya sembari meletakkan satu batang di mejaku. "Selamat hari merah muda!"
Aku mengambil cokelat itu, menggeleng-geleng kecil. "Gue udah dapat dua puluh cokelat ini di loker," kataku untuk membuat Canda kesal.
"Bodo amat, kan belum ada yang dari gue," balasnya. Lalu pandangannya beralih kepada teman sebangkuku, Nayla, yang baru datang. "My struggling mate! Happy Val's day!"
Mereka berdua sama-sama hobi telat.
Aku memutar bola mata saat keduanya saling berpelukan. "Ex-struggling mate, kali. Lo udah nggak pernah telat lagi," kata Nayla sedih.
Canda hanya tersenyum lebar. Setelah dihukum membersihkan perpustakaan oleh Pak Sugi 6 bulan yang lalu, anak ini banyak berubah. Dia tidak lagi datang terlambat, tidak lagi malas belajar, tidak lagi malu mengakui dia suka dongeng anak-anak. Bahkan dia mengikuti klub Bahasa dan berpartisipasi dalam beberapa lomba menulis.
"Buat lo, Nay." Canda menyodorkan sebatang cokelat yang sama pada Nayla yang disambut dengan riang olehnya.
Lalu, Canda memutar pandangan seisi kelas, mencari-cari. Pandangannya jatuh ke pojok belakang kelas. "Bang Opal!" teriaknya tidak tahu malu.
Merasakan kehadiran Canda, Naufal melepaskan earbud yang tersumbat di telinga kirinya. "Hai, Dek."
Aku mau muntah melihat mereka.
Mereka punya—semacam—panggilan khusus menggelikan itu. Bang Opal dan Dek Canda. Naufal bilang, Canda sudah seperti adik perempuan untuknya jadi dia menyuruh temanku yang agak bego itu memanggilnya Abang. Dan Canda mau-mau saja. Bego.
"Canda mana?" Aku nyaris terlonjak kaget ketika tahu-tahu saja ada orang yang berdiri di samping tempat dudukku. Sebelum sempat kujawab, Bian sudah menemukan Canda duduk bersama Naufal di pojok kelas—berbicara tentang entah-apa, yang jelas keduanya sama-sama tertawa.
"Lupa kali, ya, jam pertama Bu Anjani," gumam Bian sambil menggeleng-geleng kecil melihat Canda. Bu Anjani guru galak yang tepat waktu. Beliau tidak menolerasi keterlambatan.
Aku melirik jam di tanganku. "Cepetan, lima menit lagi bel."
Bian berderap menuju meja Naufal, namun berhenti sejenak lalu kembali lagi ke mejaku. "Oh iya, Din." Bian merogoh saku seragamnya, lalu meletakkan beberapa butir cokelat Hershey's Kisses di mejaku. "Selamat Valentine, ya."
Bian jarang peduli hal-hal seperti ini. Buang-buang waktu, katanya. Tapi sekarang, dia depanku, memberiku cokelat Valentine—meski hanya beberapa butir. "Mm... makasih, ya," kataku mendadak jadi terbata. Perasaan hangat itu muncul lagi.
Alih-alih menanggapi, dia pamit ke kelasnya. Bian lalu berderap ke arah Canda yang tengah tertawa-tawa dengan Naufal. "Ayo, Nda, udah jam tujuh." Lalu dia berpamitan singkat dengan Naufal dan menyeret Canda keluar kelas.
"Andin, jam istirahat nanti ke kelas ya!" teriak Canda sebelum benar-benar keluar kelas. "Bian, gak usah nyeret-nyeret gini kenapa, sih! Gue bisa jalan sendiri!" Anak itu memprotes Bian. Aku hanya menggeleng-geleng kecil melihat Canda.
"Jadi... Bian, nih?" Nayla buka suara. Aku menoleh dan mendapati temanku itu memasang senyum penuh rasa ingin tahunya.
"Kita temenan," tukasku.
"Temenan tapi mendadak gagap cuma karena dikasih cokelat. Bukan Andini banget."
"Bian jarang ngasih ginian, jadi aneh aja."
"Naufal juga jarang." Nayla menunjuk kotak cokelat transparan yang sejak tadi kuabaikan.
"Darimana lo tau itu dari dia? Lo kan baru da—" Perkataanku terputus begitu melihat note kecil yang tertempel di atas kotak itu.
mungkin cokelatnya gak enak
tapi gue sayang lo
—cowok ganteng (naufal adrian)"Nggak nyambung," Nayla menyuarakan isi pikiranku terlebih dahulu. "Tapi manis."
Aku melihat Naufal yang kini membuang pandangan—aku sempat mendapatinya menatapku dari tempat duduknya.
Mungkin ketika jam digital di samping tempat tidurku menunjukkan pukul 11:11 malam nanti, aku akan berdoa agar ditunjukkan cara memperlakukan Naufal dengan benar.
______
KAMU SEDANG MEMBACA
11:11
Short StoryIni cerita tentang seseorang yang berharap. Seseorang yang memejamkan mata dan membuat doa di tengah keheningan malam. Seseorang yang menanti keajaiban harapan dalam diam. Seseorang yang tidak berhenti percaya suatu saat pengharapannya jadi nyata. M...