Dilema Jadi Anak Guru

418 22 36
                                    

Namaku Ahmad Yazid. Biasa dipanggil, biasa nggak. Lahir pada bulan Juni tahun 1994 di Kembayan, Kalimantan Barat. Menurut perhitungan bintang, temanku bilang bahwa zodiakku adalah cancer.

"Zid, kau lahir kapan?" tanya Agus. Ia salah satu temanku ketika di pesantren.

"23 Juni 1994," jawabku mantap.

Agus kemudian menelusuri ramalan bintang yang sesuai dengan tanggal lahirku di sebuah majalah. "Oh... Kau cancer, Zid."

"Ah, aku nggak mau terkena kanker, Gus. Ngeri ...."

"Bukan penyakit cancer. Tapi cancer dalam ramalan bintang, simbolnya kepiting."

"Kepiting? Ada yang bagusan dikit, nggak? Masa' aku kepiting? Nggak keren ah." Aku merampas majalah yang dipegang Agus, kemudian mencari zodiak yang kelihatannya lebih maco dari kepiting. "Nah.... aku ini aja, Gus," kataku sambil menunjuk gambar singa (Leo).

"Kamu pikir makanan, pakai pilih-pilih." Agus kembali merampas majalah yang aku pegang. "Mau aku bacakan kepribadianmu, nggak?"

"Boleh, lah. Yang cancer, ya?"

"Ya, iyalah. Masa' yang Leo? Kan itu punyaku." Agus mulai kesal.

"Oke, deh. Bacakan! Bacakan!"

"Pertama, cancer itu orangnya cerdas."

"YAP."

"Gigih dan pantang menyerah."

"BETUL BANGET."

"Romantis."

"PASTI."

"Setia."

"TENTU."

"Tapi susah dapat jodoh."

"WHAT THE F*CK" *banting meja. "Serius?"

Agus tertawa, "HAHAHAHA ... Aku cuman bercanda."

"Ehm ... majalah apa itu?" Sebuah suara muncul dari belakang, pas kami lihat, ternyata ketua asrama. Namanya Bang Iwan.

"ASTAGA!!!" Agus terkejut. "Nnggg ... anu, Bang. Majalah ... ramalan bintang."

"Astaghfirullah." Bang Iwan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Baca ramalan bintang itu dilarang dalam Islam! Haram! Syirik! Dosa besar! Masuk neraka! Paham?" bentak Bang Iwan.

"Iii ... iya, Bang," jawab kami ketakutan.

"Sini, majalahnya!" pinta Bang Iwan.

Dengan tangan yang setengah gemetar, Agus pun menyerahkan majalahnya kepada Bang Iwan.

Bang Iwan menyita majalah yang barusan kami baca, kemudian ia melihat ramalan bintang yang ada, "Hmmm ... kalau Virgo, apa ya?"

Lahhh???

***

Kedua orangtuaku adalah guru agama di sekolah dasar. Punya orang tua yang berprofesi sebagai guru itu ada enaknya juga. Salah satunya: aku aman dari bullying di sekolah.

Pernah suatu ketika aku tidak sengaja menyenggol bahu abang kelas, namanya Dani.

"Eehhh ... berani kau ya, nyenggol-nyenggol Abang." Dia mengancam sambil memasang muka seram.

"Sori, Bang. Nggak sengaja," kataku sambil memasang kuda-kuda (mengarahkan kaki ke arah belakang untuk siap-siap kabur).

"SORI!!! SORI!!! Kupukul kau, ya!!!" Bang Dani siap mengayunkan tinjunya.

"Jangan, Dan! Jangan!" tegur salah satu temannya yang sedari tadi ada di sampingnya.

"Emang ngapa? Kau mau membela anak ini?" tanya Dani.

Sublimasi Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang