Cangkir putih bermotif kembang yang berada tepat di samping monitor milik Juni tinggal menyisakan ampas berwarna hitam, isinya sudah habis di teguk Juni lengkap bersama pahitnya. Rasa pahit dari kopi masih bisa Juni nikmati ditiap tegukan, tapi apa yang bisa Juni nikmati dari pahitnya kenyataan? Saat ini Juni masih belum bisa menemukan apa yang bisa ia nikmati dari segala kenyataan pahit yang menyadarkannya dari mimpi yang selama ini membutakan mata dan hatinya. Mimpi bahwa suatu saat segala yang Juni lakukan untuk muara dari segala perasaan dalam hatinya, Lova bisa terbalas.
Juni masih duduk dikarpet yang tipis itu, karpet yang banyak di jual di pinggir jalan saat CFD dengan motif bermacam-macam. Namun karpet Juni hanya berwarna hitam, polos. Matanya memang sedang memandang ke layar monitor 16 inchi tersebut, tapi pikiran nya melayang-layang tak menentu.
"Apakah aku salah?" Tanyanya pada diri sendiri.
"Semua perasan ini..."
Disaat Juni asik dengan monolognya smartphone Juni bergetar, sebuah pesan dari bbm tampak hadir di barisan notification bar.
"Kak Jun, kamu itu bodoh!"
"Haha, iya Riz, aku emang bodoh!" Juni mengumpat dirinya sendiri.
Jemari Juni lalu bergerak, "Iya, Aku memang bodoh Riz."
Tak berapa lama sebuah balasan datang.
"Udah berapa kali aku bilang, sampai kapan mau berjuang demi cewek yang hatinya belum jelas kemana? Jelas-jelas dia belum bisa move on dari mantannya itu."
"Ah, kamu belum tau... Sebesar apa perasaan ini buat dia, hingga segala kenyataan terlihat bagai fatamorgana, dan mimpi di siang hari terlihat begitu nyata..." Juni kembali ber-monolog.
Juni merebahkan diri di atas kasur, menatap langit-langit kamar kostnya yang berwarna abu dan terlihat kusam, seakan meledek dirinya yang tengah galau.
Perlahan, suara yang begitu di tunggu oleh Juni terdengar dari atas. Suara air hujan yang jatuh mengenai genting. Aroma khas dari bau tanah yang basah oleh air hujan merangsek masuk lewat sela-sela ventilasi, yang segera di hirup dalam-dalam oleh Juni. Aroma itu efeknya lebih hebat dari aromatherapy manapun di dunia. Segera memberikan rasa nyaman pada setiap syaraf di tubuh Juni.
"Aah..." Juni menghembuskan nafas, wajahnya sedikit tersenyum, bagi Juni candu yang dihasilkan hujan lebih dahsyat dari narkoba apapun. Tangannya terlentang menikmati setiap detik yang berganti.
Di langit-langit sana sebuah siluet wajah terbentuk dari temaramnya lampu kamar. "Kamu tahu?" Juni bertanya pada siluet wajah tersebut.
Tangan kanannya diangkat keatas, bagai ingin menyentuh wajah yang perlahan berubah, menjadi sedikit lebih jelas.
"Mengapa aku begitu menyukai hujan?" Tanya Juni lagi. Tapi gambaran wajah itu tak lekas menjawab jua.
"Haha!" Juni tertawa, matanya basah. Perlahan wajah yang awalnya hanya berbentuk siluet kini berubah, semakin jelas. Menjadi wajah yang begitu familiar.
"Karena hujan selalu mengingatkan aku padamu, Lova!"
Hujan turun semakin deras, membasahi bumi dengan sengaja, kenangan Juni akan Lova meluruh, bagaikan Hujan yang turun di luar, membasahi setiap relung hati Juni seiring dengan luruhnya air di ujung mata.
===============
Chapter 1.
PLUVIOPHILE- Fragmen 4 -
Hujan Di Mimpi.Malam semakin larut namun hujan yang tadi seperti akan turun belum juga membasahi bumi. Mungkin hujan terlalu kasihan melihat dua orang yang sedang berboncengan menerjang dinginnya malam. Lova dan Juna baru saja menyelesaikan acara makan malam mereka, dan Juna mengantar Lova Pulang ke rumah. Karena selain letaknya yang agak jauh dari pusat kota, Juna juga khawatir terjadi hal yang tidak di inginkan pada inspirasi dari segala puisi yang ia buat.
KAMU SEDANG MEMBACA
J U N E
Teen FictionSebuah cerita sederhana antar manusia yang secara tak langsung saling berhubungan dengan bulan Juni. "Seseorang pernah berkata padaku, Bila ingin orang yang kamu sayangi mencintai dirimu, buatlah ia tertawa. tapi bagaimana bila setiap kali ia tertaw...