Tiga

135 5 1
                                    

Satu minggu sudah pria itu dirawat. Diagnosa dokter memang benar. Pria itu amnesia. Setelah dia sadar, dia tak ingat apa-apa. Namanya pun dia tak tahu.

"Setelah ini saya tinggal dimana?"

Kuingat waktu itu hari ke-3 pria itu dirawat. Pertanyaan itu membuatku mengerlingkan mataku. Pertanyaan yang tak perlu kujawab kurasa.
"Kamu akan tinggal bersama saya" Kataku sambil menghampirinya.

Selama pria itu dirawat, aku banyak menghabiskan waktu dirumah sakit. Aku pulang kerumah hanya mandi saja setelah itu aku kerumah sakit lagi. Untunglah, butik kupercayakan pada Sarah. Sesekali sarah datang menemani ku ketika butik sudah tutup. Pria itu sering membentur-benturkan kepalanya ke tembok. Pertama kali aku melihatnya aku panik sekali. Dia berteriak. Menambah kepanikan ku saja. Aku berteriak memanggil suster dan dokter. Aku tahan pundaknya, namun dia lebih berontak. Aku melihat wajahnya sangat berkeringat. Aku menarik tubuhnya dengan sekuat tenaga ku. Kupeluk tubuhnya erat. Dada ku naik turun. Aku mengatur nafasku. "Mengapa aku ngga ingat apa-apa? Aku ngga bisa ingat apa-apa,pikiranku gelap." Gumamnya disela tangisannya.

Aku tak kuasa melihat laki-laki yang kini tengah berada dipelukanku. Kuusap punggung nya lembut. Sesekali dia berontak ingin melepaskan pelukanku, namun aku tahan sekuat tenagaku. Dia menangis keras. Tak lama dokter dan 3 orang suster datang. Aku melepaskan pelukannya. Kulihat dia sedikit tenang. Itulah alasan mengapa aku tak bisa mninggalkannya terlalu lama dirumah sakit sendiri.

Kini aku sudah berada dirumah bersama laki-laki itu. Kudorong kursi roda. Infusannya pun masih menempel di tangan nya. Sebenarnya, laki-laki itu belum diperbolehkan pulang. Namun, dia terus memaksa. Katanya suasana dirumah sakit sangat mencekam. Bukannya tenang,malah membuatnya semakin tak tenang,katanya.

Aku bantu dia berbaring di kasur. Menyelimuti nya. Dan memeriksa Infusannya. Aku duduk dikursi menghadapnya.

"Oh ya, sementara ini kamu jangan terlalu maksain diri kamu buat ingat segalanya. Kamu harus selalu minum obat terus." Kataku.
Dia hanya mengangguk.
"Biar aku saja yang mencari tahu tentangmu." Lanjutku.

Aku beranjak dari dudukku. Namun, tangan dingin menahanku. "Kenapa?" Tanyaku. Dia menatapku nanar.

"Beri aku nama, aku mohon." Katanya sedikit memaksa. Aku duduk kembali. Aku berpikir sejenak.

"Digo.." gumamku.

"Digo?" Dia mengerutkan dahinya.

"Ya Digo.. Digo adalah nama adikku. Matamu mengingatkan aku pada adik kecilku yang kini sudah tenang disurga.. maaf aku bukan bermaksud."

"Terimakasih." Digo mengulurkan tangannya. Kini, aku memanggilnya 'Digo' . Aku membalas uluran tangannya. "Digo.." katanya seperti memperkenalkan dirinya. "Prilly.." kataku. "Senang bisa kenal denganmu."

Kini, kulihat senyuman indah nan tulus terukir di bibir ranum nya.

◆◆◆

"Bi Ati, tolong siapkan sarapan untuk Digo ya, aku mandi dulu, terus jangan lupa obatnya." Kataku pada bi Ati yang tengah sibuk menyiapkan sarapan.

"Baik mba prill.."

Aku membuka pintu kamar Digo. Kulihat Digo masih tertidur pulas. Aku tutup kembali pintu itu dengan perlahan. Belum sempat aku menutup pintu itu dengan senpurna. Terdengar suara Digo mengigau. Kudengar samar dia memanggil 'Bunda' Kubuka kembali pintu, aku berjalan menghampirinya. Kuusap pipi Digo pelan. Kulihat digo membuka matanya perlahan. Digo mendapatiku sedang memegang pipinya. Lalu tangannya menggenggam tanganku dia sedikit meremas tanganku. Digo tersenyum. Dengan cepat aku melepaskan tanganku dari genggamannya.

"Maaf..aku harus pergi.." kataku gugup. Aku berlalu darinya. Jantung ku tiba-tiba berdetak tidak normal dari biasanya.

◆◆◆

"Bi.. sarapan dan obat untuk Digo udah diantar?" Tanyaku. "Belum mba, Mas Digo masih tidur."

Aku mengerutkan dahiku. Bukannya tadi Digo sudah bangun. Tanyaku dalam hati.

"Ya sudah biar saya saja yang mengantar nya. Oh ya, kira-kira hari ini saya pulang agak sore bi, ada yang perlu saya kerjakan. Nanti kalau ada apa-apa sama Digo, segera telepon saya. "

"Baik mba.."

◆◆◆

Kubuka pintu kamar Digo perlahan. Kulihat Digo sudah terbangun. Kulihat dia memengangi dahinya dengan tangan kirinya. Aku menghampirinya. Kusimpan nampan yang di atas nya sarapan dan obat untuk Digo.

"Kenapa? Sakit lagi kepalanya. Sudah kubilang kan jangan terlalu memaksa,"

kataku dengan nada khawatir. "Engga, aku tiba-tiba teringat sesuatu, tapi.. aku ngga ingat lagi.." Kini, Digo memukul-mukul kepalanya dengan tangan kirinya. Aku dengan cepat menahan tangannya. "Jangan, itu hanya membuatku semakin sakit. Sekarang kamu sarapan, terus minum obat, akan lebih baik jika kamu minum obat.." aku membantu Digo bersandar didinding. Aku menyuapi Digo bubur. Awalnya Digo menolak. Namun, aku paksa.

Setelah selesai sarapan dan minum obat. Aku pamit pada Digo. "Nanti kalau ada apa-apa panggil bi Ati aja ya," pesanku pada Digo.

"Sampai kapan aku harus begini prill, aku ngga mau terus diinfus.." aku berpikir sejenak. "Nanti sore aku panggilkan dokter, kamu harus bersabar ya, lakukan demi masa depan kamu, atau setidaknya kamu lakukan demi aku.."

Aku menatap matanya lekat. Terlihat guratan kesedihan diwajah Digo. Aku semakin tak tega melihatnya.

Aku terlonjak kaget ketika handphone ku berdering.
Aku berjalan menuju keluar kamar.

"Ya, Sarah Ada Apa?"

"..."

"Apa? Raka ada di butik? Mau apa dia?"

"..."

"Dia menungguku. Untuk apa? Suruh dia pergi saja"

"..."

"Ya sudah saya kesana sekarang.."

Damn.

Untuk apa laki-laki itu datang ke butik. Untuk memamerkan cincin pernikahannya atau, entahlah. Yang jelas aku tak mau lagi melihatnya. Mendengar namanya pun aku sudah muak.

◆◆◆

Aku sampai di depan butik. Kuparkirkan mobilku di depan butik. Kulihat mobil pajero sport terparkir disebelah mobilku.

Aku memasuki butik. Kulihat Raka sedang duduk sambil membaca koran. "Ada apa kamu kesini?" Tanyaku sinis pada Raka. Aku terus membuang wajahku. Tak mau melihat wajahnya yang begitu menyakitkan bagiku. "Aku batal menikah dengan Lily, aku akan menikahimu prill.."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 13, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Lost HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang