"Terimkasih telah pulang,dan terimakasih realita...." – Abela
Pagi ini suasana kantor tidak seperti biasanya, aku sadar itu dan sepertinya yang lain juga sadar. Tidak satupun ada yang bertanya padaku apa yang terjadi saat aku pergi tiba – tiba saat sedang berkumpul dengan teman – teman kantorku malam minggu kemarin. Aku juga tidak menghubungi Satya seperti biasa dan begitu juga Satya yang tidak mengirim pesan singkat apapun untukku. Aku tidak mau peduli, karena aku memang tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi.
Keenan, pria yang lebih muda dariku yang sabtu lalu sukses membuat semua orang kaget bukan main karena keputusan baru yang dia ambil juga pengakuannya tentangku, hari ini Keenan lebih pendiam dan tidak menyapa seperti biasanya. Aku memaklumi jika Keenan seperti itu, karena memang tidak mudah jika perasaan seseorang diketahui oleh orang lain. Apalagi bukan rahasia lagi kalau Keenan sudah aku anggap seperti adikku sendiri. Dan tentang keputusan Keenan untuk menjadi Muallaf adalah hal yang luar biasa walaupun pria muda itu bilang awalnya adalah karena dia menyukaiku tapi aku tahu Allah SWT sudah merencanakan ini semua dan aku hanya berharap itu yang terbaik untuk Keenan.
Sejak aku datang aku memang tidak menyapa siapapun karena aku malu soal kejadian sabtu lalu, terlebih lagi pada Gibran yang pasalnya dekat denganku seperti Galang dan Keenan dan Gibran juga adik dari Satya yang tidak tahu perihal hubunganku dengan kakak laki – laki mereka. Aku merasa tidak enak tidak menceritakan soal itu dengan Gibran namun aku merasa tidak ada hal yang perlu diceritakan karena itu masa laluku dan aku berpikir bahwa orang itu tidak akan muncul diantara kami saat ini.
Bukannya aku tidak mau Muda pulang, hanya saja jika kepulangan Muda membawa dampak yang sebegini besarnya untuk pertemananku dengan orang lain maka aku lebih baik berharap pria itu tidak pulang walaupun aku setengah mati merindukan pria itu. Dan sampai sekarang Muda memang tidak punya inisiatif untuk menemuiku. Tidak ada email tentang kabar dia pulang dan tidak ada panggilan ke ponselku sekedar basa – basi bahwa pria itu sudah di Jakarta saat ini. Aku tidak merasa tidak dianggap karena aku merasa semua sudah berakhir dan semua sudah sia – sia diperbaiki sekalipun pria itu pulang.
Dan hari ini aku tidak melihat batang hidung Satya yang biasanya datang bersama Gibran, aku bertanya pada Galang dan jawabannya hanya ' Telat kali dia mah'. Laki – laki itu tidak biasanya telat, dan yang membuatku bingung kenapa aku harus mencarinya dan bertanya – tanya apakah dia datang hari ini.
Ya Allah......
Aku mengusap wajahku berulang kali berusaha menenangkan hati dan menghilangkan Satya ataupun Muda dalam pikiranku. Bahkan aku sampai berdoa dalam sholatku agar tidak ada masalah apapun antara aku dan dua beradik kakak itu, aku tidak mau. Apalagi jika hal yang di perdebatkan hanya urusan hati dan urusan masa depan dan masa lalu.
***********
" Assalammualaikum..."
Astaghfirullah aku kenal suara itu, dan tebakanku benar. Abiangga Bermuda, pria yang sudah hilang tanpa kabar kini ada di sampingku.
Pria itu tersenyum, senyumnya masih sama. Sama seperti terakhir dia meninggalkanku pergi entah kemana.
Aku tidak sanggup tersenyum padanya, aku hanya berdiri terdiam di lobby kantorku dan aku tahu dari jauh ada Gibran dan Keenan yang memperhatikanku dengan pria ini.
" Waalaikumsalam, Muda..." jawabku nyaris berbisik.
Pria itu masih tersenyum dan memperhatikanku dengan teliti dari ujung kepalaku hingga ujung kakiku. Tatapan menilainya yang selalu dia lakukan padaku. Tatapan matanya persis dengan Satya, aku tahu pasti Satya lah yang memberitahu aku ada disini pada Muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah, Pernikahan dan Sebuah Kepulangan
Ficción GeneralAbela maryam, seorang wanita muda yang menjadi muallaf. Keputusannya menjadi muallaf membuatnya di buang dari keluarganya dan harus mencoba hidup baru di Jakarta. Dia menjadi muallaf awalnya untuk seorang pria yang pergi jauh untuk menempuh pendidik...