The Cool Guy

634 43 19
                                    

            Detak jantungku kembali berjalan seperti kereta ekspress yang hendak ke bulan. Hal ini terjadi lagi saat kurasakan seseorang menggenggam tanganku dengan erat. Nafasku tercekat, aku hanya bisa melebarkan kedua mataku. Kugerakkan kepalaku ke samping kanan, dapat kulihat seulas senyum tergambar dari wajah tampannya. Aku hanya bisa terpaku menatap matanya yang bagaikan elang itu. Guratan bibirnya membuatku seakan melayang ke atas sana. Otak-ku memerintahkan padaku agar aku terdiam. Nyaman.

Namun semua ini hanya sejenak, otakku berfikir pada rasionalnya lagi. Aku tak boleh terlena dalam dekapan tangan yang menggiurkan. Segera saja kulepas tanganku dari tangannya. Sepersekian detik kemudian, tangannya telah menggenggam tanganku. Aku mendelik, perasaanku berbeda.

"Biarkan seperti ini Jungie," ujarnya dengan senyum khas yang menghiasi wajah tampannya.

"Tapi Oppa, orang – orang akan berfikir tidak benar bila melihat kita seperti ini," jawabku sedikit bergetar. Walau tidak mengerti apa arti genggaman lelaki ini, namun aku takut bila orang-orang yang melihat kami akan berfikiran aneh akan hubunganku dengannya.

"Justru itu yang kuinginkan." Jawaban singkatnya bagaikan sebuah peluru yang menghujam nafasku. Apa maksudnya berkata seperti itu?

"Maksudmu apa Oppa?" tanyaku

"SARANGHAE JUNG SOOJUNG!" bisiknya tepat ditelinga kananku. Bagaikan disetrum oleh aliran listrik 5000 Megawatt, aku hanya bisa melongo, memperhatikan ekspressi wajahnya, yang kuharap hanyalah sebuah lelucon. Namun raut mukanya menampakkan keseriusan, mata yang sedari tadi menumbuk matakupun, seakan berkata 'ini bukan lelucon'.

Akupun berdiri, melepas tangannya dariku. Aku melangkahkan kakiku, berjalan menjauhinya. Kudengar derap langkahnya mengikutiku, dia sedikit memanggilku, namun tak kuhiraukan panggilannya.

Untung saja, aku bertemu dengan Ayah. Ayah memegang tanganku, mengisyaratkan agar aku ikut dengannya. Aku dan Ayah berjalan beriringan, sebelumnya kucoba untuk menenangkan hatiku karena lelaki itu, Oh Sehun.

"Jungie, kenalkan, namanya Kim Jongin, putra Kim Jung Shin" ujar Ayah sesaat setelah aku dan Ayah menghentikan langkah kami di sini. Di depanku berdiri seorang lelaki tinggi, rambutnya berponi samping. Tuxedo warna putihnya, membuatnya terlihat cukup tampan. Lelaki itu mengulurkan tangannya mengembangkan senyuman yang terkesan dingin.

"Anyeonghaseyo, Jung Soojung imnida." kuterima uluran tangannya, Kunaikan kedua sudur bibirku membentuk sebuah lengkungan manis.

"Soojung, kau mungkin bisa menemani Jongin, Ayah ingin menemui tamu lainnya." Aku mengangguk mengiyakan permintaan Ayahku. Tinggalah aku dengan Jongin berdua disini, walau banyak orang yang lalu lalang, namun seperti tak kupedulikan.

"Jongin-ssi, sudah lama disini?" tanyaku asal. Apa yang baru saja kukatakan tadi? Pertanyaan yang amat bodoh menurutku.

"Tidak, baru saja" jawabnya simple. Lelaki ini ternyata cukup irit bicara rupanya.

"Mau mengambil makanan?" tawarku sambil menunjukkan meja yang terhidang penuh makanan. Tanpa mendengar persetujuannya, kami melangkah menuju meja itu, kucoba bertanya beberapa pertanyaan pada Jongin, namun jawabannya selalu singkat dan dingin. Sangat menyebalkan ternyata. Tapi menemani tuan Jongin ini cukup membuatku melupakan apa yang baru saja Sehun nyatakan.

n == ==

Sapuan langit temarami hari-hari tanpa warna, kegelapan dalam kebisuan membungkus percikan situasi malam tanpa bintang. Di dalam ruangan makan VIP saling berhadapan 2 keluarga dengan hamparan makanan warna- warni khas korea di tengahnya. Di sebelah kanan, Kim Jung Shin, Kim Jongin dan Nyonya Kim tengah menyantap hidangan yang tersedia sembari bercengkrama dengan keluarga Jung yang berada dihadapannya. Jung Seu Long, Nyonya Jung serta aku putri semata wayang keluarga Jung melakukan hal yang sama. Senyuman teriring dari kedua keluarga. Pandanganku terkadang bertumbukan dengan pandangan Kim Jongin, membuat semu merah jambu pada pipiku. Sedangkan laki – laki itu hanya mampu menampilkan ekspressi dingin berkarismanya.

"Soojung-ah, Jongin—ah," panggil sosok Ayah Jongin di sela-sela acara makan bersama ini. Aku mendongak tersenyum menangapi panggilan Ayah Jongin, begitu pula reaksi Jongin yang menyahuti Ayahnya.

"Sebenarnya ada yang perlu kalian ketahui, sebelumnya kami minta maaf bila ini mendadak, namun kami mohon pengertian kalian berdua," lanjut Ayah Jongin dengan suara baritonya. Aku tergagap, penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh beliau.

"Lusa, kalian akan mengikat janji suci di altar pernikahan" ucap Ayah Jongin tenang.

"Mwo?" Reaksiku dan Jongin secara bersamaan. Apakah telingaku tak salah mendengar tuturan Ayah Jongin.

"Sebenarnya kalian telah dijodohkan oleh kakek kalian, dan ini adalah wasiat dari mendiang kakek Soojung untuk menikahkan kalian pada tanggal 5 Juli ketika usia Soojung menginjak 19 tahun, kami hanya ingin menjalankan wasiat ini, terlebih dengan kondisi kakek Jongin yang sudah makin memburuk, kami mohon kalian untuk mengerti." Kali ini Ayahku yang bersuara. Sungguh sangat mengejutkan bila kau harus dinikahkan dalam usia muda seperti ini. Dimana aku yang masih menjalani masa kuliah dengan banyak impian yang belum kuraih.

"Tapi, apakah tidak terlalu cepat? Bukankah Soojung masih semester enam?" Sela Jongin tenang, walau tadi terlihat terkejut sama denganku, namun kini ia mampu bersikap begitu tenang seakan tak terjadi suatu hal apapun.

"Nde, kami tahu, kami tidak akan menganggu impian kalian, kami hanya ingin mengikat hubungan kalian berdua, kami juga akan mengawasi kalian." Jawab Ayah Jongin. Keningku mengkerut tak mengerti ucapan dari Ayah Jongin.

"Mianhae, maksudnya apa?" Tanyaku.

"Kalian memang akan terikat dalam sebuah tali pernikahan, namun kalian akan tetap menjalani hidup sebagai diri kalian hingga kalian siap untuk mempublikasikannya dan benar-benar mencintai satu sama lain, kami memberikan waktu untuk kalian saling beradaptasi dan memahami karakter masing-masing, Kalian akan tinggal terpisah," Jawab Ibuku lembut. Ia mengusap rambutku tanda sayang.

"Bukankah bila kami menikah, kami harus hidup bersama? Apapun itu alasannya?" Sela Jongin kembali.

"Ya, itu terserah kalian, tapi kami mohon agar kalian bersiap untuk pernikahan kalian," sahut Ibuku. Kami saling terdiam sejenak, menelaah permintaan kedua orang tua kami.

"Kami menolakpun tak akan menjadi halangan bagi kalian untuk melaksanakan pernikahan ini kan, jadi aku menerima saja, kecuali Soojung menolak," Mataku menyipit, jawaban macam apa yang telah diutarakan oleh Jongin. Seharusnya dia menolak saja, jadi aku tidak susah untuk menolak, sekarang malah aku yang harus memutuskan. Semua matapun menuju kepadaku, seakan menghakimiku untuk menjawab pertanyaan mereka.

"Kami bahkan belum menyiapkan apapun, bagaimana kami akan menikah?" Sergahku mencoba untuk menolak secara halus.

"Kami sudah mempersiapkan segalanya Jungie, kalian tinggal mengucap janji pernikahan, pernikahanpun akan dihadiri oleh kami berempat beserta Kakek Jongin dan Nenekmu, hanya kami yang akan mengetahui hubungan kalian," jawab wanita paruh baya yang merupakan Nyonya Kim, Ibu Jongin sembari tersenyum penuh kemenangan. Akupun menunduk, mengangguk pasrah akan apa yang terjadi selanjutnya.


--- TBC ---

a/n

I am sorry belum rampung, malah tambah baru..

Cerita ini mungkin agak maistream, udah aku bikin sekitar tiga tahun lalu tapi belum dipublish.

Aku sengaja engga mengganti kalimat dan lainnya.

Ya jadinya begini.

Bakal banyak kejutan di cerita ini.

Semoga suka ya teman-teman readers.

Selalu ditunggu Vote dan Komentar.

Dan untuk Kaistal I am Sorry, dengan berat hati belum bisa aku publish lanjutannya karena kurang  dua adegan. Jadi semoga masih bisa menunggu ya..

Terima Kasih


Zeakyu

Pink RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang