day 3

426 37 0
                                    

Aku berjalan menelusuri koridor dengan tatapan kosong. Semalam aku tah henti-hentinya memikirkan tentang Lyric Contest itu. Aku masih bingung dengan apa keputusanku. Di lain sisi, aku sangat ingin ke London bersama Vanya. Namun pemenangnya hanya satu dari tiap benua.

"Hey, kau ini kenapa?" tanya Rey begitu aku menabraknya.

"Tidak." aku melenggang pergi meninggalkan Rey yang masih menatapku bingung.

"FANDRA!!!" aku menedengar seseoarang meneriakkan namaku.

Tentu saja Vanya yang berteriak.

Aku menoleh.

"Jadi, bagaimana?" tanya Vanya.

Aku memikirkannya kembali.

"Baiklah. Aku akan ikut."

"Yeay!" teriak Vanya girang memelukku.

"Heh, anak kembar." ujar seseorang.

"Bisakah kalian menyingkir dari jalanku?" ujar Judith.

Judith. Dia adalah anak terkaya, terpintar, dan tersombong yang pernah aku dan Vanya temui.

Kami sudah biasa jika kami dipanggil kembar. Kami sangatlah jauh berbeda. Tapi karena kami terlihat sering bersama seperti halnya amplop dan perangko, kami dipanggil kembar satu sekolah.

Kami pun menyingkir dari jalan yang menghalangi Judith.

Ini tahun terakhirku di sekolah ini. Dan aku ingin fokus untuk belajar di sekolah. Namun keinginanku untuk pergi ke London membuatku ingin meninggalkan sekolah.

"Apakah ada informasi baru mengenai kontes itu?" tanyaku pada Vanya.

"Kau masih tidak punya kuota internet?"

Aku mengangguk.

"Astaga, Fandra."

"Baik, jadi ketentuan selanjutnya baru bisa kita lihat setelah mengisi biodata di website itu dan mengupload lirik lagu kita di situ."

Aku hanya mengangguk-angguk.

"Ayolah, Fandra! Kenapa kau masih tidak bersemangat? Mereka sudah kembali, Fandra."

"Aku hanya gugup, Vanya." ujarku.

"Tenanglah. Kita masih bisa mempersiapkan diri. Siapapun yang berangkat ke London, kita harus saling mendukung, ok?"

Aku mengangguk mantap.

"Itu baru Fandra yang aku kenal."

Aku tersenyum.

"Sampai bertemu di jam istirahat, Fandra!" ujar Vanya mulai melangkah.

Aku masih terdiam di depan kelasku.

"Ayo, Fandra." ajak seseorang, Rey.

"I-iya." ujarku tergagap.

*****

Nanti sore, aku akan pergi ke rumah Vanya. Ya, kali ini bergantian.

"Aku pulang."

Rumah kosong.

Saat aku naik ke atas, Paman Rezki, yang sekarang menjadi ayahku keluar dari ruangan kerjanya.

"Paman tidak ke kantor?" tanyaku.

"Aku sedang mengambil cuti."

"Apa paman sakit?" tanyaku.

Paman Rezki menggeleng.

Jangan ditanya kenapa aku masih memanggil beliau dengan sebutan paman. Aku belum bisa memanggilnya dengan sebutan ayah. Aku masih terbayang dengan wajah ayahku ketika aku menyebutkan kata ayah.

"Ibu ke mana?" tanyaku.

"Menjemput Nathan."

Aku hanya mengangguk.

Aku mengerti bagaimana perasaan Paman Rezki mengenai aku belum mau memanggilnya ayah.

"Kalau begitu, aku akan keluar rumah. Kau di rumah saja? Ke mana temanmu itu?" tanyanya.

"Oh, aku akan bermain ke rumahnya."

"Baiklah. Jaga dirimu, sayang."

Aku mengangguk sambil tersenyum.

*****

"Jadi, bagaimana? Apakah ayah dan ibumu mengizinkanmu?" tanya Vanya begitu aku sampai di rumahnya.

"Aku belum menanyakannya. Mereka tidak ada di rumah. Bagaimana denganmu?"

"Tentu saja mereka mengizinkanku. Mereka sangat mendukungku. Betapa senangnya aku."

Aku diam meluruskan pandanganku ke jendela kamar Vanya.

"Hey, kau ini kenapa? Kau terlihat murung hari ini."

"Tidak. Aku baik-baik saja." jawabku tersenyum ikhlas.

"Kalau ada masalah, kau bisa bercerita denganku." ucap Vanya bangga.

"Tentu saja. Terima kasih, Vanya." aku memeluk Vanya.

"Mulai hari ini kita bersaing dengan sehat, ok?"

Aku mengangguk.

"Aku tak bisa membayangkan jika aku bisa bertemu dengan mereka." ujarku.

"Apalagi di hadapan Harry. Aku pasti mati di tempat." ujar Vanya dengan mata berbinar.

Aku hanya terkikik melihat tingkah Vanya.

Aku bingung lirik macam apa yang akan aku tulis. Aku membuka catatan kecilku yang berisi coretan puisi atau semacamnya.

"Aku ingin menyerah, Fandra! Ini lebih sulit dari yang kubayangkan." teriak Vanya di atas kasur.

"Hey, kita masih punya waktu dua minggu untuk menulis, Vanya."

"Aku ada ide. Kau membawa kameramu, bukan?"

Aku mengangguk dan mengeluarkannya dari tasku.

"Aku ingin meletakkan kameramu di ujung ruangan dan akan kubuat timelapse mulai dari hari ini dan seterusnya." jelas Vanya.

"Ide bagus."

"Mari kita buat openingnya sebelum gelap."

Aku mengangguk dan melakukan hal seperti biasanya dengan Vanya.

Selama kameraku merekam, aku hanya berpikir tanpa menulis sepatah kata pun di kertas.

Vanya sedang memikirkan tema. Aku yakin itu. Ciri khas yang ia buat biasanya semacam tentang percintaan atau mimpi. Entahlah.

Aku masih belum mendapatkan gagasan yang aku inginkan. Hanya membolak-balik catatan kecilku.

SomedayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang