CHAPTER I : Awal Yang Baik

22.9K 786 89
                                    

Setelah memakirkan motor sport biru kesayangannya, Abdi gunawan yang akrab di sapa Dee, menaruh pandangnya ketumpukan manusia yang saling berdesakan untuk mendaftarkan diri ke organisasi yang menjadi favorit mereka. Lucian Art Academy memediasi mahasiswa untuk menyalurkan bakat dan minat mereka kedalam kegiatan tertentu, baik olahraga, seni, kepemudaan maupun komunitas social. Bagi Dee, organisasi sudah menjadi darah dalam nadinya sejak dibangku SMA. Kemampuan mengatur waktu yang luarbiasa, membuat Dee dapat melibatkan diri kedalam beberapa organisasi secara bersamaan tanpa mengurangi nilai dan prestasi akademisnya sedikitpun.

Stan demi stan telah dilalu, tetapi belum ada satupun kegiatan ekstrakulikuler yang menggugah minatnya. Di tengah teriakan para senior yang mencoba mempromosikan organisasi mereka masing-masing, serta suasana kasak-kusuk mahasiswa baru yang mencoba menarik perhatian senior dengan keramahan palsu mereka, sesosok pemuda sedang berdiri membiarkan dirinya djatuhi daun-daun yang gugur. Seakan-akan sengaja menunggu hingga tertimbun dedaunan kering, sembari memandang sebuah monumen dengan penuh kemarahan, monument yang membuat kampus ini begitu tersohor, bukan seperti walk of fame di Hollywood, atau prastasi yang menandakan perjuangan pahlawan, tapi sebuah monument yang bertuliskan sadisnya pembantaian seratus gadis muda, 19 tahun yang lalu tepat dimana mereka berdua berdiri sekarang.

"1996 ? sudah lama sekali ya bro !" sapa Dee yang secara tersirat mencoba menenangkan pemuda tersebut.

"Yaa kau benar, tapi tidak menutup kemungkian hal ini akan terjadi lagi." Jawab pemuda itu dengan penuh ketakutan, rambutnya yang pirang layaknya api yang berkobar ditengah teriknya matahari menutupi sebelah matanya.

Badanya agak membungkuk dengan tangan yang terus disembunyikan didalam saku celana. Stevano, itulah nama yang dibaca Dee tepat di dada kanan jas Julian Academy yang berwarna hitam dengan dasi biru penanda bahwa dia adalah Mahasiswa semester satu. Dee merasakan keanehan dalam diri orang ini, sebelum Dee melanjutkan percakapan yang kemungkinan bergenre misteri, tiba-tiba sosok wanita bertubuh sintal, dengan rambut ikal teruai berjalan berlari ke arahnya,
"Hey Dee dari mana saja kau ?, aku telah mendaftarkan nama kita berdua di PlC." Suara itu amat dikenalnya, suara seorang wanita yang selalu menyita waktu Dee hanya untuk menyaksikan ia berlakon di pentas opera, dialah Gloria, teman seperjuangan Dee sejak mereka masih mengenyam bangku SD.

"Apa itu PLC ?" Tanya Dee penuh keheranan.

"Phoenix Literary Club, sanggar seni yang paling terkenal di kota ini, dan sering memenangkan kejuaran intenasional, ayolaaah dee, aku ingin pentas bareng kamu lagi !".

"iya deeh, terserah kamu aaja, ngomong-ngomong glory aku mau ngenalin kamu ke seseorang" ketika Dee membalikan badan, didapati Vano tidak lagi berada ditempat sebelumnya.

Hanya sebuah monument yang kini tidak lagi diperhatikan orang-orang. Bahkan mahasiswa Lucian Academy pun hanya menggapnya sebagai batu berukir yang tiada makna. Tapi entah berapa tahun yang lalu tragedy berdarah ini, dan apakah arwah parah gadis muda ini sudah tenang disurga atau sedang menangisi panasnya api neraka, yang jelas, hal ini pernah terjadi, di sini, di kampus yang akan menjadi saksi kehidupan Dee empat tahun kedepan. Sembari membatin, Dee menatap wajah sahabatnya itu dengan penuh rasa khawatir, "aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi kepadamu".

Kerumunan mahasiswa pun tak urungnya bergerak kesana kemari mendaftarkan diri mereka kedalam organisasi tertentu. Jalan setapak yang memisahkan tenda barisan kiri dan kanan kini menjadi sesak oleh bau badan mahasiwa yang penuh keringat, hingga tak sengaja seorang mahasiswa baru dengan badan kekar berlari tepat diantara mereka dan memisahkan Dee dan Gloria yang tadinya hanya berjarak beberapa senti saja, "woii kalo jalan hati-hati !" seru Dee dengan penuh emosi, dikagetkan merupakan satu dari daftar singkat hal-hal yang tidak disukai oleh Dee, dan dia tidak menyangka akan mendapati hal tersebut pada hari pertamanya sebagai mahasiswa. "Maaf ! aku terlalu terburu-buru, aku tidak ingin kehilangan kesempatan mendaftar di de lacorda, namaku Dedi."

Tampaknya pria itu mencoba memberi alasan terhadap perbuatannya tadi, dengan senyuman yang begitu ramah ia menatap Dee yang lebih pendek beberapa senti darinya. Dee dengan usaha keras, menengadahkan kepala mencoba meneliti sosok pria janggung yang tepat berdiri dihadapnnya dengan janggut dan kumis yang berhamburan menutupi setengah wajahnya, Dee hampir tidak dapat menemukan bagian kecilpun yang tidak tertutupi buluh diwajahnya, tangan kirinya memegang gitar berkilau dengan harga yang relatif mahal, sedangkan tangan kanannya di arahkan kepada Dee, yang lazim disebut sebagai isyarat untuk berkenalan. Lantas Dee membalas jabatan tangannya sembari mengucapkan namanya, "Abdi Gunawan, but Just call me Dee".

"Perhatian !! kepada seluruh mahasiswa baru harap dapat merapat ke panggung" suara maskulin yang penuh kelembutan itu terdengar jelas dari speaker yang terletak di panggung utama. Seakan membawa kehangatan di telinga para gadis yang mendengarnya, sontak membuat mayoritas mahasiswi seakan ingin memberikan jiwa mereka kepadanya, berteriak mengelukan nama dia yang berada dibalik microphone. Sedikit ada harapan dalam diri Dee agar sahabatnya Gloria bukanlah termasuk spesies wanita yang mudah tertarik dengan cowo tinggi, tampan ala artis korea yang bernama Aditya itu, sekretaris dewan mahasiswa yang memperkenalkan dirinya beberepa waktu lalu dalam kegiatan Orientasi pengenalan kampus. Akan tetapi, belum sempat Dee mengucapkan sepatah katapun, terdengar teriakan yang begitu keras dari mulut Gloria, yang seakan-akan memimpin kegiatan penyembahan terhadap Aditya. Entah hanya firasat Dee saja, tapi tidak ada satupun Mahasiwa yang bisa di ajak bicara oleh Dee pada waktu itu, ketika lebih dari setengah mereka memilih untuk mendengarkan ocehan-ocehan yang dilontarkan oleh aditya terkait pentingnya untuk mengikuti kegiatan ekstra kulikuler. Pemandangan ini lebih seperti eforia konser Justin bieber di Madison square, dari pada orasi mahasiswa yang seharusnya membangkitkan semangat kepemudaan dan bukannya kealayan mahasiswi.

Dee mencoba mengistirahatkan tubuhnya sejenak, dilepasnya jas Almamater yang sedari tadi mebuat dirinya kepanasan, menyisahkan kaos oblong berwarna putih yang melapisi tubuhnya yang kurus. Tanpa disengaja, Dee mendapati hal yang membuatnya berdecak kagum, disaat mayoritas Mahasiswi lebih menjadikan pria-pria tampan sebagai motivasi untuk kuliah, seorang mahasiswi sedang asyik membolak-balikan buku di bawah pohon yang berdaun lebat dengan earphone berwarna putih terpasang erat ditelinganya. Wajahnya yang manis bak kotak misteri, menyimpan sejuta alasan mengapa ia semenarik itu. Dee kemudian menyandarkan tubuh disisi pohon yang lain, seakan merasa amat rugi karena kehilangan kesempatan melirik wajahnya untuk yang kesekian kali. Sebelum memulai metode pendekatan berupa basah-basih ala majalah wanita, Dee mengambil terlebih dahulu novel kesayangannya yang selalu ia bawah kemana mana. Kaget bukan main dirasakan oleh Dee ketika ia melihat wajah dan biodata singkat penulis novel tersebut, sosok yang dikagumi Dee sekarang tepat berada disebelahnya, dialah penulis novel terkenal "Iblis Kerah putih" Abygail Wilson.

"Eeeh .. eeh, Perkenalkan Namaku Ab--" belum sempat Dee menyelesaikan kalimatnya, Abby dengan nada yang sangat datar memotong layaknya pisau membelah roti,

"Abdi Gunawan, anak ajaib yang membantu polisi memecahkan kasus korupsi para pejabat beberapa waktu yang lalu, novel yang kau pegang sekarang, aku menulisnya saat terinspirasi oleh kisahmu".

Layaknya roket NASA yang melaju menuju bulan, perasaan Dee kini telah menembus atmosfer. Sosok wanita yang dikagumi Dee, ternyata terinspirasi dari dirinya saat menulis novel bestseller yang kini menjadi bacaan wajib bagi Dee kapanpun ia memiliki waktu senggang. Walaupun tidak terpancar rasa tertarik sedikit pun dari wajah Abby, apalagi ditambah dengan nada yang sangat datar layaknya nada sambung pada telephone, tapi setidaknya hal ini yang membuat hari pertamnya begitu Istimewa, membayangkan wanita yang begitu dikaguminya akan sekelas dengannya, menambah semangat Dee untuk mengarungi dinamika kehidupan yang entah cerah ataupun suram, kehidupan kampus.














Universitas Penyembah SetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang