"Kamu nonton pertandingan Nova besok?" Tanya Beth sepulang sekolah.
"Tentu saja. Kau juga?"
"Ya, Hans mengajak." Sahut Beth. "Aku menantikan Euphy yang teriak-teriak dan loncat-loncat pakai pom-pom, menyemangati pujaan hati tercintanya."
"Bodoh, kau pikir aku orang gila?" Tukas Euphy. Aku malah berharap dia kalah kok.
Beth tertawa. "Kalau begitu, sampai besok di lapangan ya." Lalu ia berbelok sementara Euphy meneruskan langkahnya.
Hujan gerimis membuat perasaannya makin gelap dari biasanya. Payung yang dipegangnya bergoyang-goyang antara tangan kanan dan kirinya.
Tiba-tiba ia tertegun begitu mendengar senandung orang yang berpapasan dengannya. Bukan lagu atau nada yang membuatnya membeku, tapi suara orang itu.
Perlahan ia menoleh, dan menatap punggung orang di bawah payung merah itu. Rambut pendek dan pakaian yang serba mini orang itu memang tidak dikenalinya, tapi di samping suaranya, cara jalan orang itu meyakinkannya, bahwa orang itu tidak salah lagi adalah ibunya, orang yang meninggalkannya lima tahun lalu.
Tanpa sadar Euphy melangkah mengikuti wanita itu. Namun tak jauh mereka berjalan, wanita itu berbelok ke sebuah bangunan, masuk ke dalam kerumunan ibu-ibu di halaman. Tak lama keluar anak-anak kecil dari pintu depan, berhamburan ke ibu-ibu di halaman.
Mau apa wanita itu di TK? Masa...?
Benar dugaan Euphy, tidak sampai semenit kemudian, wanita itu muncul bersama seorang anak perempuan kecil bergandengan tangan dengan riang.
Melihat pemandangan itu Euphy tak dapat bergerak, apalagi berbalik dan menghindar dari tatapan anak perempuan itu.
"Mama, perempuan itu terus memperhatikan kita. Mama kenal?" Ucap anak itu samar di sela suara hujan yang makin deras.
Wanita itu menoleh dan sama-sama tertegunnya seperti Euphy. Pandangan kecewa Euphy bertemu dengan pandangan terkejut wanita itu.
"Mama?"
Dengan segera wanita itu menarik tangan anaknya, "Bukan, mama tidak kenal." Lalu keduanya meninggalkan Euphy di tengah jalan.
Walau suara hujan memekakkan telinga, Euphy masih dapat mendengar jawaban wanita itu. Ia tersenyum sedih. "Haha...hahahaha, masih banyak suara lain yang bisa kudengar di sini, tapi kenapa malah hal yang paling tidak ingin kudengar sekarang terdengar paling jelas?"
Angin bertiup kencang, merampas payung Euphy terbang dari tangannya. "Oh aku benci hidup ini."
Seiring hujan yang makin derasnya turun, air matanya melebur bersama air hujan yang menerpa wajahnya. Kupikir aku sudah setengah mati membencinya, lalu kenapa aku menangis?
* * *
Dering bel masuk bergema membuat para murid segera duduk di kursi masing-masing. Begitu juga Euphy yang hari itu bangun kesiangan, begitu menaruh tas, ia langsung membanting dirinya ke kursi.
"Hei, mukamu merah. Sakit?" Tanya Nova.
"Hanya kepanasan. Bukan masalah besar." Sahut Euphy.
Nova hanya menatapnya yang mengeluarkan buku dan alat tulisnya. Tiba-tiba ia memasukkan semua barang itu ke dalam tas Euphy dan menariknya ke luar.
"Hei, Nova, apa-apaan?" Seru Euphy kesal.
"Rajin sekolah itu baik tapi kalau sampai memaksakan diri itu buruk." Tukas Nova. "Kau bahkan tidak sadar dirimu demam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Hearts' Resonance
Teen FictionBagai bumi dan langit, seperti Kutub Utara dan Selatan, laksana Merkurius dan Neptunus. Begitulah hubungan Euphonia dan Valent. Hanya karena Valent meminta Euphonia bermain piano dalam pentas kelas, gadis itu jadi membencinya dan bahkan untuk menyeb...