Senjata Makan Tuan (1)

1K 62 2
                                    

Matahari Rabu itu belum naik segalah tapi halaman auditorium kampus sudah terlihat ramai sekali. Caca tidak menyangka jumlah pengunjung Book Fair akan seramai itu.

Puluhan stand buku tersusun rapi membentuk lingkaran konsentris. Sebuah panggung tampak sudah siap di dekatnya untuk acara yang mungkin baru akan dimulai nanti siang. Caca masih tidak percaya kalau ia menerima ajakan Bila dan pergi kesana bersama perempuan berjilbab besar itu.

Caca tidak hanya cantik tapi juga cerdik. Perempuan lain mungkin punya satu set alat rias dengan harga jutaan tapi Caca mengetahui beberapa teknik rahasia untuk tampil lebih cantik dan lebih menarik. Teknik-teknik itulah yang membedakan ia dengan semua perempuan lain yang hampir sama cantiknya.

"Stand yang itu kayaknya rame Ca. Kesana yuk!" ajak Bila.

Bila tidak menunggu jawaban Caca. Ia langsung melesat dengan semangat menyusuri setiap stand yang ada. Ia singgah di satu stand dan membongkar hampir setiap tumpukan buku yang diobral di sana.

Caca yang mengikuti dari belakang agak lucu melihatnya. Itu membuatnya teringat pada Febi yang juga tak kalah lihai membongkar dan mencari yang terbaik dari tumpukan baju yang diobral. Ia membiarkan Bila asyik dengan perburuannya dan mulai mencari buruannya sendiri. Si coklat itu pasti juga ada disini.

Caca sibuk mencari tapi ia belum melihat batang hidung Farhan sejak mereka terakhir kali bertemu di perpustakaan. Caca tahu dibutuhkan beberapa pertemuan yang terlihat seperti kebetulan untuk menimbulkan benih-benih rasa dalam hati seseorang. Itu sebabnya ia berharap banyak pada Book Fair ini.

***

Sudah lebih dari satu setengah jam mereka berkeliling. Semangat Bila hampir tidak ada bedanya dengan saat pertama kali ini tiba. Ia beda jauh dengan Caca yang sudah kegerahan. Caca yang sudah lelah berkeliling kembali pada Bila tanpa hasil apapun.

"Kak, kayaknya aku harus ke kamar kecil dulu deh." ujarnya dengan wajah berpeluh keringat.

"Oh, kamu kecapean ya dek? Perlu kakak temenin gak?" Bila menghentikan sebentar aktivitasnya untuk Caca.

"Gak usah kak, Caca sendiri aja. Kakak jangan jauh-jauh dari sini ya."

"Yaudah," Bila pun kembali pada penburuannya.

Letak kamar kecil agak jauh dari pusat keramaian. Caca berdesakkan melawan arus pengunjung untuk keluar dari sana. Pada saat berdesakan itu, seseorang yang terlihat seperti Farhan berjalan ke arahnya di kejauhan. Apa itu benar dia?

Caca berlari lebih cepat melewati orang yang berkerumun dan tiba-tiba keduanya sudah berdiri berhadapan. Jarak mereka tak sampai dua puluh sentimeter karena ramainya pengunjung yang berlalu. Caca mengangkat kepala untuk melihat wajah laki-laki yang berdiri di depannya.

Sesaat Caca terdiam tak mengenali laki-laki yang saat itu berdiri di depannya. Tingginya sama tinggi dengan Farhan, Alisnya juga tebal seperti Farhan, tapi kulitnya tidak coklat seperti Farhan.

Caca masih tak mengenali laki-laki yang berdiri di depannya hingga ia bertanya, "Nissa kan?"

Caca terkejut bukan main. Jantungnya berdetak sangat cepat. Lidahnya tiba-tiba menjadi kelu hampir tidak bisa menjawab, "I, Iya."

Sekilas Caca teringat pada masa sekolahnya, masa dimana teman-teman masih memanggilnya Nissa. Banyak nama muncul dalam pikiran Caca tapi ia belum bisa tentukan mana nama laki-laki yang baru saja menegurnya.

"Aku cari buku lagi ya," kata si laki-laki tepat saat sebuah nama muncul dalam pikiran Caca.

"I, iya Rafi," jawab Caca penuh kesan.

Itulah pertama kalinya setelah sekian lama, Caca bertemu lagi dengan satu-satunya laki-laki yang membuatnya begitu penasaran. Tak heran kalau ia mematung di sana untuk beberapa saat.

Cerita CacaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang