Jung Yonghwa
Sudah berapa lama waktu berlalu?
Dua tahun? Tiga tahun? Lebih. Tujuh tahun.
Sudah tujuh tahun berlalu, dan aku masih seperti biasa. Masih melihatnya dari jauh, masih memandangnya dari jauh, masih memperhatikannya dari jauh, dan masih.... melindunginya dari jauh. Ini janjiku. Ya, Janji yang kubuat sendiri atas keputusanku untuk melindunginya. Janji yang awalnya telah merubah semuanya. Semuanya. Kedekatan, tawa, sedih, pertengkaran, dan tangis.. semua hilang. Hilang karena kebodohan yang telah kulakukan untuk membuatnya pergi dariku, dari duniaku.
Aku yang telah membuatnya menciptakan dinding yang sangat kokoh yang tak bisa kuhancurkan dengan tanganku sendiri. Dinding yang sangat kokoh hingga siapapun yang ingin memanjatnya sangat sulit untuk dicapai, bahkan diriku sendiri yang sudah mengenal dirinya hampir separuh, tidak, seluruh hidupku, tidak akan bisa untuk melewati dinding itu.
Entah lapisan apa yang dia beri pada dinding itu hingga dia terlihat kuat, padahal sebenarnya, dia sangat rapuh. Serapuh ranting tua yang jika hanya tertiup angin akan jatuh ketanah, terpisah dari ranting lainnya.
Aku sangat menyesalinya.
Sangat menyesali kebodohanku waktu itu. Kalau saja waktu itu aku tidak berpikir untuk mengikuti perasaan sesaatku dan memenuhi janjiku untuk pertama kali padanya, mungkin semua tidak akan menjadi seperti ini. Tidak akan membuatnya menutup diri, tidak akan membuatnya pergi dariku, dan tidak akan... membuatnya kehilangan siapapun.
Itu semua karenaku. Aku brengsek saat itu.
Bahkan kata 'andai' terlalu menyakitkan untuk kusebut. Terlalu menyakitkan untuk kugunakan sebagai permintaan memutar kembali waktu, bahwa aku tidak akan mengingkari janjiku waktu itu.
Aku ingat kata-katanya untuk terakhir kali pada saat acara kelulusan sekolah dulu sebagai kata sambutan karena dia terpilih sebagai siswa terbaik yang bahkan aku sendiri tidak menyangka dia mendapatkan predikat itu. Memang dia tidak mengatakannya langsung padaku, tapi dari cara dia mengatakannya, itu jelas tertuju padaku. Kata-katanya sangat tepat menusuk hatiku, menembus jantungku hingga tubuhku tidak bisa begerak sedikitpun yang dalam hitungan mundur tubuhku akan jatuh menunggu.... mati.
".....Terima kasih untukmu yang telah membuatku untuk mencapai ini semua. Dan terima kasih karena telah menyadarkanku atas semua sikap manusia yang tak bisa semua kupercayai. Kau menunjukkannya padaku. Aku akan mengingat itu semua, sampai kapanpun....."
Dia mengatakan semuanya dengan satu napas, mengatakannya dengan pandangan tegas dan membunuh tepat ke arahku. Aku seperti tersangka yang di tangkap tanpa di beri ampun. Bahkan elusan tangan ibuku yang tepat berdiri disampingku tidak berarti apa-apa untuk menenangkanku. Ibuku adalah saksi bagaimana semuanya terjadi, dia sangat mengerti dengan perasaanku waktu itu, dan tentu saja dia sangat mengerti dengan perasaan gadis itu. Dia memang tidak memihak siapapun diantara anaknya maupun gadis itu. Tapi satu yang pasti, aku jelas melihat kekecewaan terlukis di mata ibuku waktu itu. Bahkan sampai sekarang walaupun dia selalu mengatakan bahwa semuanya akan kembali dan baik-baik saja, aku masih bisa melihat sekilas rasa kecewanya itu terhadapku. Rasa kecewa karena anaknyalah yang telah membuat gadis kesayangannya itu menjauh dari ibuku juga keluargaku.
Bahkan kata maaf tidak bisa mengembalikan semuanya.
Kata sederhana yang dulu kugunakan untuk membuatnya kembali padaku, kata maaf yang selalu kugunakan untuk membuatnya kembali tersenyum, kini tak berarti apapun untuknya dan hanya menjadi kenangan manis yang selalu kuingat di kepalaku.
Apa yang harus kulakukan?
Haruskah aku menyalahkan takdir yang telah membuatku menjadi seorang brengsek seperti ini? Seorang brengsek yang telah membuat seorang yang berharga pergi dari hidupku juga keluargaku? Seorang brengsek yang telah merubah temannya menjadi orang yang bahkan diriku sendiri tidak mengenalinya.
Aku ingin membuatnya kembali seperti semula.
Aku ingin mengembalikan takdir yang telah di goreskan untukku dan gadis itu seperti semula. Dan aku tidak akan melakukannya sendiri karena aku akan membuatnya melakukannya juga.
Membuat kami seperti dulu lagi. Membuat gadis yang sedang menikmati angin menerpa wajahnya di depan mataku akan tersenyum lagi. Membuat tatapan kebencian di matanya berganti menjadi tatapan teduh dan hangat seperti dulu lagi.
Ini janjiku, Seo Joohyun.
***
Seo Joohyun
Kenapa waktu cepat sekali berlalu. Detik berubah menjadi menit, menit berubah menjadi jam. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan lalu tahun begitu seterusnya. Tetapi kenapa rasa sakit ini tidak hilang secepat waktu berlalu. Kenapa rasa sakit ini masih terus berdiam diri dalam hatiku, seakan-akan dia akan hidup abadi didalam diriku.
Bagaimana menghilangkannya? Apa yang harus kulakukan untuk memusnahkannya? Bisakah kau memberitahuku?
Bahkan dengan membenci lelaki yang telah membuat luka ini pun tidak mengurangi rasa sakit dihatiku. Apalagi pergi jauh darinya juga tak mengurangi rasa sakit sedikitpun. Setiap hari, ketika aku membuka mata untuk menyambut hari baru, aku tidak bisa membedakan bahwa aku berada di dunia mana. Apakah aku hidup di dunia baru? Ataukah dunia lama? Atau bisa kusebut dunia baru penuh kenangan lama seperti neraka juga surga.
Hah!
Betapa miris hidupku yang aku sendiri bahkan tidak tahu dimana aku tinggal. Hidupku penuh bayangannya. Bayangan yang penuh kesenangan dan kesakitan di saat yang sama. Kau-Bisakah kau bayangkan betapa aku menderita disini sendirian. Kau yang telah membuatku menjadi seperti ini. Membuatku tinggal sendiri di dunia manusia yang penuh dengan kemunafikan. Aku hidup dengan ketidakpercayaan orang-orang di sekelilingku.
Seharusnya aku mendengarkan ibuku waktu itu. Seharusnya aku mendengarkannya dan tidak pergi untuk janji bodoh yang lelaki itu selalu mainkan. Aku harusnya tahu itu. Seumur hidup pun lelaki itu tidak akan pernah serius dalam melakukannya hanya untuk mengejar hal lain. Selalu mengingkarinya kemudian datang dengan senyum khasnya dengan kata 'maaf' sebagai tameng rasa bersalahnya yang aku tahu pasti dia tidak tulus mengatakannya dan dengan bodohnya yang selalu aku terima begitu saja. Begitu saja, kami kembali dekat seperti semula. Aku bodoh seperti itu.
Ketika aku pergi untuk meninggalkan semuanya dan meneruskan hidupku dengan beasiswa yang aku terima adalah hal yang terberat dalam hidupku. Meninggalkan semua kenangan yang kubuat di kota tercinta itu. Aku memilih pergi. Aku memilih pergi untuk menata kembali hatiku yang hancur... sendirian. Aku memilih pergi karena aku tak akan bisa tinggal di tempat yang sama dengan orang aku benci sampai aku berani untuk menepakkan kakiku kembali ke sini.
Takdirku sudah ditetapkan seperti ini.
Tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengembalikan semuanya.
Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah... menjalani takdir yang telah ditentukan untukku.
Termasuk menikah dengan lelaki yang membuat luka ini, Jung Yonghwa.
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. AIRPLANE
Romance"Hidup dengan melakukan hal yang kubenci adalah hal yang membuatku bertahan." - Seo Juhyun "Siapa bilang kau selalu sendiri? Kau hanya tidak tahu. Bahwa aku selalu disisimu." - Jung Yonghwa ...