Genesis : Meja Hijau

43 3 2
                                    

Pagi yang cerah mewarnai hari itu. Matahari tersenyum dengan cerianya, awan-awan seolah berdansa merayakan kembalinya Matahari setelah Ia bersembunyi jauh di bilik ufuk timur. Burung-burung juga tidak mau ketinggalan pesta, mereka bernyayi dengan merdu membuat banyak orang menjadi bersemangat dalam beraktivitas kembali, kembali kepada kehidupan sebelumnya. Namun suasana tersebut hilang saat mendekati sebuah gedung yang tak terlalu besar itu.

"Jangan. . . . Jangan. . . .Jangan kau apa-apakan mereka, Jangan kau ambil kepunyaanku itu"

Jerit dan tangis itu membuat hakim meragukan tuntutan jaksa penuntut umum. Ya, hakim merasa kasihan terhadap wanita berkepala dua itu. Melihat raut wajah yang memohon sembari bersedih , menyentuh hati hakim mengenai arti perjuangan seorang ibu.

"Tidak, jangan dengarkan dia. Dia hanya mengerogoti diriku. Dia telah menghina saya, Dia telah mempermalukan saya di depan keluarga saya," ujar seorang laki-laki dengan nada marah.

Mendengar perkataan itu, wanita tersebut langsung mengalirkan air matanya. Terpancar bahwa hatinya hancur mendengar perkataan lelaki yang telah menyiksa dirinya, yang tidak menganggap dirinya ada.

"Yang Mulia, Anda mengerti kan perasaan wanita ini, Ia sedang hancur hati karena Ia ditolak oleh suaminya. Bahkan, saat ini suaminya itu mengata-ngatai dia. Tolonglah dia Yang Mulia," ujar diriku.

Mendengar belaan diriku, Hakim langsung mengabulkan permintaan wanita tersebut agar hak asuh atas kedua anaknya jatuh kepadanya. Sehingga bunyi ketukan palu itu membuat sidang perceraian itu selesai.

"Selamat, Ibu telah memenangkan kedua anak Ibu. Semoga, Ibu dapat melupakan semua kesalahan suami Ibu dan kiranya Tuhan memberkati Ibu dan anak-anak."

"Terimakasih Mas Tommy, saya tidak tahu harus bagaimana mengucapkan terimakasih atas belaan Mas tadi."

Kamipun berjabat tangan, hal itu mengakhiri kesepakatan kami sebelumnya.

Seusai persidangan, diri ini langsung merubuhkan tubuh di atas kasur yang empuk bagaikan jatuh di atas awan-awan. Saat itu juga lamunan menghampiri kepalaku. Aku kembali memikirkan kejadian tadi pagi. Aku tak habis pikir, pria macam apa yang menikahi seorang wanita hanya untuk keperluan hutang pribadinya. Apa Lelaki itu tak punya perasaan dan hati? Apa memang ia masa bodoh dengan masa depan keluarganya, terkhusus kedua anaknya yang masih kecil itu? Mau jadi apa anak-anaknya itu tanpa figur seorang ayah? Apa mereka akan menjadi berandalan di pasar-pasar? Apa mereka akan sukses menjadi profesor dan ilmuwan atau seorang pengusaha sehingga dihormati orang? Pikiran-pikiran itu menghantui diriku sampai keesokan harinya.

Pikiran-pikiran itu langsung saja aku bunuh dengan menelopon wanita itu.

"Bu Lis baik-baik saja tho?"

"Ya Mas, sudah agak baikan."

"Ibu harus segera melupakan dia. Dia saja tidak mikir Ibu saat ini. Jadi Ibu harus tenangkan pikiranmu itu"

"Nggak bisa Mas, aku sudah sakit hati dibuatnya. Aku tak bisa melupakan janji-janjinya saat waktu pacaran dan nikah, bahwa akan hidup setia sampai ajal menjemput."

"Dengar, Ibu harus kuat kalau Ibu seperti ini, maka dia akan merasa senang bahwa ia telah sukses menyakiti hati seorang wanita. Ibu harus segera bersosialisasi dengan orang-orang terutama dengan keluarga."

Pembicaraan kamipun selesai dengan ditandai setujunya dia dengan ideku itu. Peristiwa ini tak akan aku lupakan dan akan saya ingat baik-baik bahwa jangan sekali-kali menyia-nyiakan tulang rusuk yang sudah diberikan Tuhan kepada kita.

***

Di penghujung sore yang menangisi kepergian Matahari, begitu pula dengan wanita tersebut yang menangisi perpisahannya dengan suaminya. Ia tak henti-hentinya menangis mengadu kepada semua orang bahwa ia telah bercerai dengan suaminya kemarin. Sehinggga warga taman itupun mengetahui kisah pahitnya dengan suaminya itu.

"Mau jadi apa aku tanpa suamiku, tanpa pemimpinku, tanpa seorang yang dulunya aku cintai."

Tangisannya itu mengusik seorang warga taman yang sejak tadi memerhatikan dia dan anak-anaknya dari kejauhan. Kedua orang tuanya itu duduk di sebelah mereka bertiga, menenangkan anaknya yang sedang hancur hati itu. Bahkan seorang pedagang asongan itupun menghampiri wanita itu. Namun pedagang itu tak bisa berkata-kata setelah mendengar semua keluhan yang disampaikan oleh wanita itu.

"Semua ini salah Bapak sama Ibu, mengapa aku harus dipaksa kawin sama bajingan itu. Awalnya aku pasrah dan menerima tetapi lihatlah sekarang, betapa menderitanya aku saat ini! Lebih baik aku menikah dengan lelaki sunda itu dari pada sama setan itu. Lelaki yang telah bapak dan ibu sakiti itu."

Kedua orangtuanya langsung berdiam merenung. Di dalam hati mereka, mereka hanya bisa berdoa kepada Tuhan untuk mohon ampun atas perbuatan mereka kepada lelaki pujaan anaknya itu. Mereka menyesali perbuatan mereka sehingga karma diperoleh anak perempuan pertama mereka. Tak lupa mereka meminta agar diberi hidayah dan petunjuk-Nya.

Lalu Lilis, dan anak-anaknya serta kedua orangtuanya, semuanya meninggalkan taman yang suasananya sudah direbut oleh Raja Bulan. Mereka menuju desa tempat kelahiran R.A Kartini. Ya, Mayong, Jepara, tempat tinggal kedua orangtuanya. Dan Lilis menginap di rumah mereka karena rumahnya telah menjadi milik mantan suaminya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 20, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dewi Kartini yang MenangisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang